23 🌸 Burhan vs Momiji
B u r h a n v s M o m i j i
🌸🌸🌸
"Oh, kau sudah selesai?" Akiyama Ryou menghampiriku, yang sudah menunggunya sekitar sepuluh menit di tempat ia tadi kutinggalkan.
Selesai salam dan berdzikir, aku sempatkan untuk melihat kondisi anak ini di belakang. Kukira ia akan menguap berulang kali, atau minimal tertidur karena bosan menunggu. Cukup mengejutkan karena Akiyama Ryou malah mengambil sebuah buku dari rak di samping dan tenggelam dalam bahan bacaannya.
Yang membuatku sedikit panik adalah, pemuda itu tiba-tiba menghilang dari tempatnya. Aku sempat berpikir akan jadi mahasiswa Corodoba yang hilang di Jepang. Tapi untungnya, pandanganku cepat menemukan keberadaan sosok laki-laki yang mengantarkan takunya ini berkeliling Osaka.
Ia duduk di sudut lain masjid bersama seorang pria yang menjadi imam salat tadi. Mereka masih serius berdiskusi. Sepertinya menyenangkan karena berulang kali Akiyama Ryou menarik sudut bibirnya dengan mata berbinar.
Kakiku melangkah ke arah tempat Akiyama Ryou tadi duduk. Bergantian menunggu, sembari murajaah hafalan surat-surat Al-Qur'an di juz 29.
Awalnya aku punya keinginan untuk menghampiri mereka. Mungkin saja topik yang mereka diskusikan sangat seru, sampai membuatku juga tidak berkedip. Namun, belum tentu Akiyama Ryou senang dengan kehadiran orang asing yang ikut dalam pembacaraan mereka.
Ia bisa saja merasa tersinggung, malu, atau malah jadi enggan bertanya lagi karena aku mencampuri urusannya. Aku tidak bermaksud untuk memikirkan hal buruk atau suudzon tanpa bukti. Hanya saja, ketika aku, profesor dan Mio mendirikan salat magrib berjamaah di masjid yang sama. Anak itu memilih untuk menunggu di kafe seberang bersama Onohara.
Ini cuma persepsiku saja, jadi bisa saja salah. Tapi dari informasi yang kudapatkan, Akiyama Ryou memang tidak pernah ikut saat keluarganya salat berjamaah di luar. Bahkan di rumah, tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan jika ia tertarik dengan kepercayaan yang dianut keluarga Akiyama. Berkebalikan sekali dengan sosoknya sekarang.
Itu berarti Akiyama Ryou masih enggan untuk memberitahu orang terdekat secara terang-terangan, kalau dirinya tertarik pada islam.
Pendapat pribadi itulah yang membuatku bertahan di sini daripada ikut bergabung. Aku tidak ingin mengacaukan kesempatan yang bisa saja Akiyama Ryou telah rencanakan sejak lama.
Aku mengulas sebuah senyum saat ia sampai di hadapanku. Dengan cekatan, tanganku membereskan barang bawaan dan menyerahkan ponsel yang berisi kalimat balasan untuknya. "Santai saja, kau memberikanku ruang untuk tidak terburu-buru. Lakukanlah hal yang sama untuk kepentingamu."
Akiyama Ryou berdeham singkat. Mata tajamnya, melirik ke arah lain seakan malu karena tertangkap basah. "Bagaimana kalau aku traktir makan?"
Kepalaku menggeleng cepat, sembari melangkah keluar bersamanya.
Makan lagi? Memang itu bukan ide yang buruk. Siapa orang yang rela menolak ajakan makan secara cuma-cuma? Semua orang pasti mengangguk tanpa jeda hingga lehernya putus begitu mendengar kalimat "makanan gratis". Tapi sepertinya tidak untukku sekarang. Bukannya kenyang, aku khawatir perutku akan meledak karena terlalu banyak makan.
Sayangnya, orang yang menemaniku ini tidak menyerah untuk membujukku makan. Semakin besar usahaku menolak ajakannya, semakin gigih pula dia mengajakku memasukkan sesuatu barang sesuap saja ke dalam mulut. Minimal, membeli jajanan untuk dibawa pulang ke rumah.
Baiklah, aku menyerah.
Jujur saja kakiku sebenarnya sudah sangat lelah, aku ingin cepat pulang ke kediaman Akiyama. Kemudian tidur, merebahkan punggung di atas kasur empuk lantas memejamkan mata sampai mendekati waktu salat subuh. Berbeda denganku, kaki pemuda yang sedang membayarkan makanan kami itu nampak tidak lelah sama sekali. Ia masih bisa berjalan tegak, tidak seperti diriku yang mulai terseok-seok karena nyilu.
Apa karena dari lahir sudah terbiasa berjalan jadi ketahanan kaki mereka sudah terlatih dari dulu?
"Kau masih bisa berjalan?" tanyanya dengan membawa dua cup eskrim di tangan. Mungkin orang ini khawatir karena ia tidak mungkin sanggup menopang badanku sampai ke rumah.
Aku mengangguk lemas dengan senyum terpaksa. Melihat raut wajahku yang mungkin nampak tidak meyakinkan untuk menggerakkan kaki-kaki, Akiyama Ryou duduk di samping dan menyerahkan eskrim yang dibelinya barusan.
"Kita di sini saja dulu, bisa gawat kalau sampai kau pingsan di jalanan."
Itu artinya dia tidak mau bersusah payah untuk memapahku hingga ke rumahnya. Mau tidak mau, aku menurut saja. Toh, lumayan juga beristirahat sambil menikmati suasana di dekat sungai kawasan Namba.
Kami bertahan dalam kebisuan hingga eskrim di dalam wadah tersisa setengah. Akiyama Ryou terlihat sibuk dengan pikirannya, sesekali ia tersenyum ketika melihat ke suatu tempat. Beberapa detik kemudian nampak murung tanpa sebab yang jelas.
Yang kutahu, anak ini jarang mengeluarkan suara. Jika tidak terlalu penting, ia memilih diam. Hampir sama seperti kelakuan tetangga sebelah rumahku di Indonesia.
Jemariku mengetik dengan cepat di atas papan ponsel, kemudian menyodorkan secara tiba-tiba ke depan wajahnya. Supaya Akiyama Ryou kembali sadar jika ada orang lain di sini bersamanya, jadi tolong jangan abaikan aku dan berhentilah bersikap seperti orang kehilangan akal.
"Oh, maaf. Aku terlalu sibuk mengenang sesuatu," katanya.
Aku bertanya lagi. "Mengenang apa jika aku boleh tahu?"
Orang ini mengusap tengkuknya seraya tersenyum sedikit malu dan salah tingkah."Tidak terlalu spesial. Hanya mengingat kejadian saat aku bertemu seseorang di sini."
Kalau sampai membuatnya tersenyum dan murung seperti orang gila begitu, bukankah berarti orang yang dipikirkannya punya tempat spesial?
"Perempuan?" tebakku.
Akiyama Ryou menggaruk pelan pipinya. "Yah, begitulah. Hanya teman kampus," katanya.
Apa benar hanya teman kampus? Aku ingin terus bertanya, tapi bisa saja diartikan tidak sopan karena mengganggu privasi seseorang. Teman yang dia maksud, seolah aku tahu siapa.
"Ganeeta Andromeda."
Gerakanku terhenti. Sisa eskrim yang tadinya ingin kumasukkan ke mulut, kini kembali lagi dalam wadah.
Terkejut? Sebenarnya tidak. Aku hanya tidak menyangka, Akiyama Ryou memberitahu nama orang yang susah payah kulupakan demi study. Ia bahkan menyebutkan nama gadis itu dengan fasih dan senyum tulus.
Dari Mio, aku sudah mendengar cerita tentang mereka berdua. Menebak isi hati anak di sampingku jadi sangat mudah, karena kupikir, siapa orang yang tidak akan luluh pada kehangatan senyum Meda? Mengenalnya hari ini, lalu jatuh cinta keesokan harinya, bukanlah hal yang mustahil.
Sudut bibirku ditarik paksa, membentuk sebuah lengkungan yang memang lebih sering kutunjukkan daripada muka masam. Memang sedikit kecewa karena bertambah lagi satu saingan, tapi apa boleh buat? Perasaan suka itu manusiawi bukan?
"Kudengar kau kemari untuk mencari anak itu bukan?"
Eh? Loh? Sebentar, jadi maksudnya dia ingin bertanya orang yang kucari? Bukan menyebutkan nama orang yang disukainya?
"Aku kenal dengan anak itu." Akiyama Ryou melanjutkan ucapannya, sementara aku masih telat merespons pertanyaannya barusan. Anehnya, ekspresi pemuda yang menatap lurus ke arah sungai itu nampak serius, membuat suasana di sekitar kami sedikit lebih tegang.
Meski tidak jelas, ada sedikit aura permusuhan yang menguar dari seluruh tubuh laki-laki ini. Aku tersenyum sinis.
Ohoho, menarik juga. Baru sekarang rasanya aku bertemu orang yang terang-terangan menyatakan perang begini. Apa dia pernah mendengar tentangku dari Meda? Atau hanya menebak dari tindakanku yang sampai mengejar gadis itu hingga kemari?
"Kasar, suka seenaknya, menyebalkan. Tapi di satu waktu juga menjadi sangat perhatian, jadi tempat beristirahat paling menenangkan, dan penggerak yang membuat orang lain mengikutinya. Apa Andromeda yang itu yang kau cari?" Ryou tersenyum sendu. Mata tajamnya tadi berubah sayu. Tanpa perlu mengatakan secara langsung, aku bisa merasakan sedalam apa dia jatuh pada sosok teman masa kecilku.
Ah, menyebalkan.
"Kau menyukainya?"
Bola mata Akiyama Ryou melebar. Mendengar suaraku untuk kali pertama, tentu sangat mengejutkan. Selama tinggal di rumah mereka, aku memperkenalkan diri sebagai orang bisu yang hanya dapat berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat dan tulisan. Kuyakin jika Mio tahu kalau aku bisa berbicara, ia akan menampilkan ekspresi yang sama seperti kakaknya sekarang ini.
Selama Akiyama Ryou masih bertahan dengan keterkejutannya. Aku menunjukkan wajah serius setengah menggertak, seakan berkata. "Jika kau berani mengambilnya, bersainglah dulu denganku yang kau anggap lemah."
***
Note:
Yok lanjut ke bab berikutnya 😂
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro