10 ❄️ Yuki
Y u k i
❄️❄️❄️
Benda seputih kapas turun dari langit. Kawanannya menutupi kota dengan selimut putih yang terbentang hingga ujung Prefektur Osaka. Pohon-pohon yang meranggas, seolah bertahta mahkota putih di tiap dahannya. Suhu udara yang ikut turun, membuat banyak makhluk hidup lebih memilih untuk bersembunyi di rumah-rumahnya ketimbang berkeliaran di luar.
Kukira begitu.
Namun melihat orang di balik mesin kasir di sana, dengan semangat melayani tamu-tamu yang datang. Kupikir pengecualian untuknya.
Padahal tiga hari yang lalu gadis itu masih meringkuk di atas kasurnya dengan wajah bengkak. Dari mana ia mendapat semangat seperti itu?
"Arigatou gozaimasu! Silakan datang kembali!" ucapnya tiap para pembeli selesai melakukan transaksi. Diakhiri senyum bisnis yang biasa kujumpai di toko-toko atau restoran.
Dasar gadis itu. Sebenarnya apa yang tidak bisa ia lakukan? Aku mendengar cerita dari Mio kemarin, tentang Andromeda yang cekatan membereskan rumah, pintar saat mengajarinya materi sulit di sekolah, jago memasak dan mudah bergaul dengan siapa pun. Sifatnya yang ramah dan pandai berbicara menurutku membuat dia banyak disukai orang.
Selain wajahnya yang ... cantik. Mungkin?
Aku bergidik, mengutuk pikiran yang sempat terlintas.
"Omatase." Andromeda meletakkan sepiring kentang goreng dan segelas teh hangat di mejaku. "Ini, untukmu karena sudah lama menunggu," katanya. Namun dia ikut memakan kentang goreng itu. Jadi sebenarnya ini hadiah atau bukan?
Dari ujung kain yang menutupi kepalanya sampai baju yang gadis itu kenakan, tertutup rapat dan terlihat tebal. Mungkin hanya spekulasiku saja, namun sepertinya ia menggunakan baju berlapis-lapis untuk menangkal hawa dingin yang menusuk hingga tulang. Aku tahu dari Mio jika Andromeda berkerja sebagai penjaga kasir di salah satu minimarket yang menyediakan bahan-bahan dari Indonesia. Pagi tadi aku sempat mampir ke lokasi yang diberitahukan oleh adikku itu.
Namun, begitu sampai di sana. Petugas yang berjaga mengatakan jika seksrang bukan waktu gadis itu bekerja.
Rasanya sedikit mengejutkan ketika aku mendapat tambahan informasi dari pemilik minimarket, kalau gadis itu seksrang sedang bekerja di salah satu restoran muslim di daerah Dotonbori.
Anak ini, padahal dia baru saja sembuh. Kenapa sudah bekerja sekeras itu?
"Hei, kau tidak makan?" katanya sembari terus mencomot kentang goreng.
"Aku tidak selera. Kau saja yang habiskan." Lagi pula yang lapar sepertinya dia, bukan aku.
Andromeda hanya bergumam singkat, dan terlihat tidak peduli lagi. Ia belum bertanya kenapa aku datang mencarinya jauh-jauh, bahkan rela menunggu sampai ia selesai bekerja. Gadis ini hanya diam, dengan tatapan teduh memperhatikan jalan di luar jendela. Kadang aku ingin tahu apa yang dia pikirkan, termasuk saat ia berlari seakan mengejar seseorang waktu itu.
Siapa yang dicarinya?
"Kau mau makan siang di sini?" Andromeda menawariku menu restoran tempatnya bekerja. "Di sini banyak makanan Asia yang patut dicoba loh! Harganya juga tidak terlalu mahal!" ucapnya bersemangat.
Andai dia masuk jurusan bisnis, mungkin tiap harinya banyak pelanggan yang masuk ke toko atau tempat ia berbisnis sudah menyesal memutuskan masuk atau mampir. Karena mau tidak mau, mereka pasti harus mengeluarkan uang sebelum keluar.
Sebelum terjerumus dalam bujuk rayuan marketing Andromeda, aku mendorong balik list menu itu menjauh. Sejauh-jauhnya, karena aku tidak ingin mengeluarkan uang lebih dari seribu yen hari ini. Walaupun harus membuat gadis itu kesal, kurasa lebih baik daripada menghabiskan uang untuk bertahan hidup tiga hari hanya dengan satu porsi makanan di tempatnya ini.
Dotonbori bukan kawasan yang ramah untuk kantongku, karena banyak wisatawan yang datang kemari. Jadi harga pun akan disesuaikan dengan perut-perut lapar para turis.
"Kau mau membuatku cepat mati?"
Andromeda tertawa kecil. "Setidaknya kau tidak membuatku mati kelaparan dengan uangmu."
Basa-basi kami berakhir dengan tawa lebarnya. Gadis Jepang pada umumnya biasanya akan malu dan menjaga image di depan lakk-laki, mereka tidak akan berani membuka mulut terlalu lebar. Apa lagi tertawa selebar yang dilakukannya barusan. Aku tidak terlalu yakin, tapi kurasa perempuan di belahan dunia pun pasti akan menjaga image anggun di depan laki-laki.
Lalu bagaimana dengan orang ini? Dia yang tidak terlalu ambil pusing untuk terlihat anggun, atau mungkin karena Andromeda tidak melihatku sebagai laki-laki? Ah, kenapa juga aku harus memusingkan itu?
"Jadi, ada apa kau mencariku kalau bukan untuk makan di sini?"
Pertanyaannya membuatku sadar pada tujuanku. Berdeham singkat, aku mengangkat cangkir kopi lantas menyesapnya sedikit.
"Aku ingin bertanya tentang Mio," ucapku tanpa basa-basi. Rasanya keputusanku sangat terlambat, untuk mengetahui cerita kehidupan adikku yang tumbuh menjadi remaja. Teriakan Mio di dapur rumah Andromeda seakan membuatku terbangun dari kenyataan jika selama ini yang kulakukan hanyalah membuntutinya, tanpa tahu bagaimana ia bertahan hidup. Aku hanya merasa jika ia baik-baik saja, ketika melihat Mio masih berjalan normal dengan kedua kakinya, tertawa bersama Andromeda, dan menikmati liburannya bersama Otou-san dan gadis itu.
Semua senyum dan tawanya, membuatku lupa jika pasti ada sesuatu yang berusaha ia tutupi di balik keceriaan yang selalu ditunjukkan.
"Mio bilang padaku kalau selama hampir tiga tahun kau tinggal bersamanya di rumah kami."
"Oh?" Andromeda berseru, bola matanya melebar seolah ia sedang terkejut. "Kukira kau sudah tahu tentang aku yang menjadi mahasiswa pilihan ayahmu."
Apa? Tunggu sebentar, pilihan ayah?
"Maksudmu?"
"Jadi kau tidak tahu kalau aku mendapat beasiswa karena ayahmu yang merekomendasikanku? Kukira kau sudah tahu."
"Kau? Rekomendasi beasiswa?"
"Meda-san!" Salah seorang maid memanggil gadis yang duduk di hadapanku. Ia memberitahu rekannya jika waktu istirahat gadis itu sudah habis.
"Gomen, waktuku sudah habis. Kita bicarakan lagi setelah ini. Kau bisa menungguku kan?"
***
Salju turun kembali. Lampu-lampu jalan mulai dihidupkan, seiring tenggelamnya matahari di ufuk barat. Gemerlapnya daerah Dotonbori, mengalahkan kegelapan malam yang amat pekat. Orang-orang bahkan makin ramai memadati jalan, entah mereka yang baru pulang dari aktivitas masing-masing atau sengaja keluar untuk menghirup udara segar dan mencari hiburan.
Aku merapat ke salah satu mini masket. Membelikan sebungkus sandwitch buah untuk dimakan gadis yang berulang kali menggosok-gosok tangannya untuk menghangatkan diri. Hidungnya bahkan sudah memerah akibat dingin, sepertinya ia benar-benar tidak kuat pada suhu rendah Kota Osaka.
"Ocha?" Kusodorkan botol teh kemasan setelah lebih dulu dihangatkan. "Kau masih bisa bertahan?"
Gadis yang lebih mirip buntalan kain itu tersenyum lebar, matanya menyipit serupa garis tipis. Kurasa ia menambah lagi kain di balik mantelnya, apa tidak sesak? Melihatnya menderita kedinginan seperti itu, membuatku sedikit bertanya-tanya bagaimana ia bertahan hidup saat musim dingin.
"Oishii," serunya dengan saus mayonaise di ujung bibir. Aku berusaha menyembunyikan senyum, tapi rasanya cukup susah.
"Makan pelan-pelan, masih ada banyak."
"Kalau makan banyak aku jadi harus berhemat untuk bertahan hidup di hari-hari kemudian. Berapa ini semua?" Ia menunjuk sandwich di tangannya dan ocha.
"Itu gratis. Semuanya. Kau makan saja, aku tidak akan meminta ganti."
Bola mata gadis itu berbinar cerah. "Serius? Oh, tunggu! Apa ini balasan karena aku mentraktirmu kentang goreng tadi? Hoho, kamu tidak perlu membalas budi."
Mentraktir apanya? Kentang itu bahkan kau habiskan sendiri. Jangankan memakan satu potong, menyentuhnya saja aku tidak sempat.
Ia tertawa kecil dalam keadaan mulut yang penuh. Kalau melihat tingkahnya yang seperti anak kecil begini, rasanya jadi ragu kalau ia benar-benar berumur 21 tahun. Dia juga tidak terlihat benar-benar pintar sampai mendapatkan beasiswa yang diperebutkan banyak calon mahasiswa di seluruh dunia. Walaupun begitu, aku juga tidak terlalu setuju pada pendapat jika Andromeda mendapatkannya karena hal kotor di belakang.
Melihat video perjalanannya meraih beasiswa dan nilai-nilai akademik selama belajar, memang benar kalau gadis ini pintar. Apa mungkin, jika aku meminta bantuannya untuk penelitian itu dia akan setuju?
"Kau tidak mau pulang?"
"Tentu aku akan pulang sekarang."
Kepala gadis itu menggeleng. "Bukan. Maksudku pulang ke kediaman Akiyama."
Alisku tertekuk. Pembahasan tentang rumah membuatku kurang nyaman.
"Kenapa aku harus kembali?"
Andromeda mengelap mulutnya menggunakan sapu tangan. Sampah-sampah bungkus makanan dan minuman ia masukkan kembali ke dalam kantong plastik.
"Kau datang mencariku hari ini karena ingin bertanya tentang Mio kan?"
Ah, tujuanku hari ini. Kenapa aku melupakannya?
"Video dan hasil nilai akademik yang kau lihat tadi, untuk membuatmu yakin. Kalau aku mendapatkan beasiswa bukan karena ayahmu. Tapi, yah memang ada bantuan-bantuan seperti latihan soal, latihan bahasa jepang dan lain-lain dari ayahmu. Beliau juga banyak membantuku belajar selama di sini. Meski itu tentu tidak gratis."
Tidak gratis? "Otou-san memintamu membayar semua kebaikannya?"
Ia menggeleng pelan. "Mungkin namanya balas budi. Aku ada di sini, dan ayahmu berbaik hati mengajariku. Karena semua ada hubungannya dengan Mio."
Aku masih diam, mendengarkan kelanjutan.
"Kau tahu kalau Mio dikucilkan?"
"Apa?!"
"H-hei! Tenang dulu!" Tangan Andromeda dinaik turunkan seakan sedang mengipasiku yang terbakar amarah.
"Duh, tolong jangan buat keributan! Biarkan aku menyelesaikan ceritanya dulu. Kau bisa mengambil kesimpulan setelah itu."
Aku menyandarkan punggung secara kasar pada dinding mini market. Meraup wajah, untuk tetap tenang seperti ucapan gadis itu.
"Yang kutau, dia mulai dikucilkan setelah ibumu tiada. Mio tidak ingin bercerita kenapa ia dikucilkan padaku. Saat ia sedang melakukan salat di salah satu ruangan di sekolah. Ada siswa lain yang menguncinya dari luar. Tidak ada yang mendengar teriakannya. Sampai akhirnya aku berlari ke sekolah karena dia tidak bisa dihubungi. Sedangkan waktu jam pulang sudah lewat."
Tidak ada respons. Tempurung kepalaku dipenuhi penyesalan. Aku tertunduk, mengumpat keegoisanku sendiri.
"Sejak kejadian itu, aku memintanya untuk membawa ponsel ke mana pun. Dan selalu menjemputnya ke sekolah. Mio tidak pernah bercerita, tapi aku tahu ada lebam di beberapa tubuhnya. Di satu waktu, aku pernah mendengarnya menangis. Anak itu merasakan kesepian. Sensei jarang berada di rumah, kau pergi dari rumah. Awalnya aku tidak ingin ikut campur terlalu jauh, tapi melihatnya seperti itu. Aku tidak tahan untuk tidak mendekapnya. Semenjak tangisan Mio meledak di pelukanku. Banyak hal yang mulai kucampuri. Mulai dari sekolah, mengajarinya beladiri, memasak dan banyak hal. Ah, dia paling suka bertanya tentang keyakinannya yang sekarang juga padaku. Tentang Al-Qur'an, kerudung dan—"
"Ini semua gara-gara keyakinan itu," gumamku.
"Ya?"
"Ini semua karena Otou-san memaksa Mio menerima keyakinan yang sama dengannya!" Aku meledak. Memuntahkan segala kekesalan yang selama ini terus tertanam. "Okaa-san juga tidak akan pergi kalau saja pria tua itu tidak keras kepala!"
Wajah Andromeda terkejut, meski beberapa detik kemudian ia memasang senyum. "Apa itu yang membuatmu bersikap dingin waktu kita pertama kali bertemu?"
Lidahku terkunci. Entah mengapa, ekspresi terluka di wajah gadis itu membuat sesuatu dalam dadaku ikut teriris.
"Souka," ucapnya singkat. Ia mendongak ke arah langit hitam. Napasnya yang dingin membentuk kepulan asap putih. "Maaf, aku mungkin tidak tahu apa masalah keluarga kalian. Bukan, mungkin tepatnya aku tidak tertarik. Tapi, Ryou apakah kesimpulan dan tindakan yang kau ambil saat ini sudah tepat?"
Aku menekuk kedua alis, memperlihatkan rasa tidak suka ketika ada orang asing yang ikut campur menilai tindakan dan pola pikirku. "Apa maksudmu?"
Andromeda menaikkan baunya sekilas. "Entahlah, kenapa tidak coba kau pikirkan? Apakah yang kau pikirkan dan lakukan memang benar-benar karena itu alasan ibumu meninggal atau ...," Gadis itu menggantung kalimatnya di udara.
Bola matanya tertuju padaku kembali, kali ini senyumamnya sedikit lebar dari sebelumnya. "Atau kah, itu hanya kesimpulan yang kau dapat karena termakan rasa kecewa?"
***
Nb:
*Oishii: enak
*Ocha: teh
*Souka: begitu ya. (Artinya menyesuaikan keadaan saat diucapkan)
*Yeay, updatenya tat banget :')
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro