Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Titik Terendah

Damar melihat ekspresi tanpa duka di wajah Kamila. Ia menceritakan semua hal tentang Tio dengan nada lugas, seakan-akan kehilangan suaminya bukan lagi sumber kesedihan seperti yang diceritakan Maya. Kamila mungkin sudah move on, sudah tidak lagi merasa sendiri. Atau mungkin sesuatu telah terjadi sebelum kepergian suaminya itu.

"I ... itu gimana kejadiannya, Mbak?" Kening Damar mengerut hampir sempurna ketika pertanyaannya digandrungi rasa penasaran yang tinggi.

Kunyahan di mulut Kamila perlahan berhenti. Ia membiarkan sendok setengah tenggelam di dalam mangkuk bersama dengan pandangan yang tampak tidak yakin. Kejadian beruntun yang menimpanya sebelum Tio benar-benar tewas, serta pergolakan batin yang membuatnya sangat tidak nyaman di hari-hari sebelumnya. Kamila ingin bercerita. Ia ingin sekali menceritakan semua itu pada Damar. Akan tetapi, ia punya tujuan tertentu yang tidak akan bisa dipahami oleh siapa pun.

***

Semenjak Kamila menaruh curiga pada Tio yang tampaknya tahu tentang Junaidi, ia tidak bisa tenang. Dengan cara apa pun ia mengelabui sikap serta perasaannya, Kamila tetap tidak mampu membendung rasa penasaran itu.

Kamila tahu, Tio tidak akan pernah bersedia menjawab pertanyaannya. Pria itu selalu marah dan membentak Kamila setiap kali ditanya perihal hubungannya dengan Junaidi. Hari demi hari berlalu, Kamila ingin membuang rasa curiga dan menganggap semuanya itu hanya pikiran kotornya saja. Hingga suatu hari Kamila diminta untuk membantu membereskan rumah mertuanya yang hendak berpindah tangan ke pemilik baru, ia menemukan sebuah gelang rantai putih di bawah lemari pakaian yang baru saja diangkat untuk dimusnahkan.

Gelang itu tidak berkarat karena berbahan rantai stainless steel, tetapi tertutup gumpalan debu yang bila tidak sengaja disapu, maka Kamila tidak akan tahu kalau benda itu penting. Di dalam kamar yang dulunya adalah kamar Tio sewaktu melajang, Kamila memungut gelang berdebu itu lalu membersihkannya. Ia tidak berekspektasi apa-apa dan mengira itu cuma benda yang mungkin penting bagi Tio. Namun ketika ia melihat ukiran huruf di bagian plat gelang tersebut, Kamila terkejut.

'J&L'  Itu gelang yang pernah dimiliki Junaidi. Gelang yang sangat Kamila ketahui karena benda itu merupakan hadiah ulang tahun dari seorang gadis untuk Junaidi. Kamila tahu betul sebab Kamilalah yang menemani gadis berinisial L itu pergi ke tukang aksesoris untuk mengukirkan huruf 'J&L'. Itu adalah gelang yang Kamila cari-cari sewaktu Junaidi meninggal, tetapi terlupakan seiring dengan kesedihan yang berlarut-larut.

Prasangka Kamila terhadap Tio semakin menjadi-jadi. Setibanya mereka di rumah, Kamila tidak dapat menahan amarah yang terpendam. Di meja makan, begitu Tio selesai makan malam, Kamila menaruh gelang tersebut di meja tepat di hadapan Tio.

"Kamu udah nggak bisa bohong lagi sama aku, Mas," katanya tanpa basa-basi. "Aku nemu ini di bawah lemari baju kamu waktu beres-beres kamar. Dan aku yakin kamu tahu ini punya siapa."

Tio menatap benda itu beberapa detik seolah memori di otaknya mulai bekerja. Kemudian, ia pun menggeleng. "Aku nggak tahu itu punya siapa, Mila."

"BOHONG!" bentaknya sambil memukul meja. "Ini punya Mas Jun. Kakak kandung aku! Kenapa gelang ini bisa ada di kamar kamu, Mas?"

 Tidak terima dibentak oleh istrinya, Tio pun bangkit dan menatap Kamila nyalang. "Berani kamu bentak aku cuma gara-gara orang yang udah mati?"

"JUNAIDI. Dia punya nama!"

"Dan kamu pikir aku peduli?"

Kekuatan macam apa yang membuat Kamila berani menantang Tio seperti orang yang ingin membunuh? Kesabaran di dalam dirinya sudah habis. Geranat yang bersarang di dalam dadanya bisa meledak kapan saja. Semakin Tio marah, semakin Kamila yakin pula keterlibatan suaminya atas kasus kematian Junaidi.

Tatapan mata mereka saling terpaut. Bibir Kamila gemetar karena menahan emosi. "Mas Jun itu kakak kandung aku, Mas." Nada suara Kamila lirih. Rasa sakit yang ia alami waktu kejadian beberapa tahun silam seakan datang dan kembali menyakiti dirinya. "Dia orang baik. Tapi kenapa ada orang yang tega membunuhnya?"

"Aku nggak tahu! Aku bilang aku nggak tahu apa-apa." Suara keras Tio memekakan telinga. Ia menendang kursi sampai terjatuh. "Kamu nuduh aku?"

"Aku nggak nuduh, Mas. Aku udah tanya kamu baik-baik dari kemarin apa kamu kenal sama almarhum Mas Jun? Tapi kamu nggak pernah ngaku. Dan sekarang aku punya bukti." Jemarinya memungut kasar gelang tersebut dan menunjukkannya di muka Tio. "Gelang ini ada di kamar kamu, itu artinya kamu tahu sesuatu tentang kejadian itu."

"Arrrgghhh!" Tangan kanan Tio mengudara hendak menampar Kamila, tetapi urung karena Kamila lebih dulu mengacungkan pisau dapur tepat di muka Tio. 

"Jangan macam-macam! Kamu udah janji nggak bakal melukaiku, Mas"

Tio menurunkan tangan, namun emosi belum reda meski ketakutan akan benda tajam itu sedikit membuatnya takluk. "Cukup, Mila! Aku nggak mau bahas masalah ini. Kamu nggak punya hak menuduhku seperti itu. Kematian Junot itu udah takdir. Seandainya aku tahu kamu ini adik kandungnya, aku nggak akan pernah sudi jatuh cinta dan nikah sama kamu!"

Tanpa memedulikan Kamila lagi, Tio pergi keluar rumah dan menutup pintu kasar. Amarah di dalam dada Kamila seketika berubah menjadi pilu. Pisau di tangannya terjatuh ke lantai dan suaranya berdenting nyaring. Tangisan Kamila seketika pecah. Penyesalan tidak ada gunanya lagi. Ia memegangi tepi meja untuk menahan tubuh meski akhirnya terjatuh juga.

Dua puluh lima tahun lalu, gambaran jasad penuh darah itu menyambangi memori Kamila. Suara langkah kaki orang-orang yang lari ketakutan saat meninggalkannya di gudang tua dalam keadaan mata tertutup. Jerit tangisnya ketika menemukan saudara laki-laki berseragam SMA-nya yang telah bersimbah darah, juga lirih kesakitan yang Kamila rasakan, itu semua menyerbunya tanpa ampun.

Bagaimana bisa suami yang selama ini hidup bersamanya ternyata mengetahui semua fakta peristiwa itu? Meski tidak diterangkan secara rinci dan belum berdasarkan bukti-bukti nyata, Kamila tetap harus menanggung kekecewaan terbesar di dalam hidupnya.

***

Tidak ada teman apa lagi saudara yang peduli pada kondisinya. Kamila sudah dua hari tidak keluar rumah dan bekerja. Ia tidak bersosialisasi dengan siapa pun dan hanya mengandalkan bahan makanan yang tersisa di kulkas agar tidak mati kelaparan. Kamila mengurung diri di dalam rumah sejak Tio meninggalkannya malam itu.

Kamila tengah merasakan berada di titik terendah hidupnya. Ia hanya menghabiskan waktu untuk menangis, tidur, menonton televisi yang menyala dua puluh empat jam, dan tidak berniat mandi. Ia tidak tahu harus bercerita pada siapa untuk membantu menyelesaikan permasalahannya. Yang ia inginkan hanyalah kehadiran Tio. Sudah puluhan kali ia mencoba menghubungi ponsel suaminya, tetapi usahanya sia-sia dan malah diblokir.

Kehadiran Tio sangat Kamila harapkan. Mungkin ia bisa merayu suaminya untuk bicara dan saling terbuka dengan cara baik-baik. Dengan begitu, barangkali Tio mau memberitahu yang sebenarnya. Sebagai apa Tio berperan saat kejadian itu, siapa orang-orang yang terlibat, dan apa motif mereka hingga tega berbuat kejam. 

Pertanyaan-pertanyaan itu terus memenuhi isi pikiran Kamila tanpa jeda. Bahkan ketika Tio pulang tiba-tiba  saat Kamila sedang duduk menonton televisi di pagi hari pukul sembilan, Kamila masih dihantui ribuan pertanyaan gila.

Seperti orang yang sedang diburu sesuatu, Tio masuk ke rumah dan menoleh sesaat ke arah Kamila yang berdiri memandanginya. Sikap ketidakpedulian Tio terhadap sosok istrinya membuat Kamila semakin sakit hati. Tio langsung masuk ke dalam kamar sedangkan Kamila diam-diam mengambil pisau di dapur. Hanya untuk berjaga-jaga kalau Tio hendak berbuat kasar sebab caranya yang terakhir cukup ampuh. Ia menyelipkan pisau di bagian belakang celananya dengan mata pisau mengarah ke atas dan menempel di punggung. Kemudian ia pun menyusul Tio masuk ke kamar.

"Akhirnya kamu pulang," sapa Kamila.

Tio mengambil travel bag dari atas lemari lalu memasukan baju-bajunya ke dalam tas dengan gerakan cepat. "Aku lagi gak mau bahas masalah itu, Mila."

"Kamu mau ke mana?" tanya Kamila.

"Keluar kota. Mendadak."

"Tapi urusan kita belum selesai, Mas."

Tio diam tak menjawab. Ia lebih fokus pada kesibukannya mengemas barang-barang ke dalam tas.

"Mau sampai kapan kita kaya gini?"

"Aku nggak tahu!"

Kamila menggeleng dan berkata, "ternyata kamu memang laki-laki pengecut! Kamu mau lari dari masalah dan ninggalin aku, 'kan?"

"Kalau iya kenapa?" bentak Tio yang kini menatap Kamila. "Aku minta maaf sama kamu atas semua yang pernah terjadi. Kita nggak pernah berharap bakal terjadi hal seperti ini."

"Setidaknya kamu bertanggung jawab atas apa yang udah kamu lakukan ke aku dan keluargaku, Mas! Aku nggak nyangka kamu bisa setega ini sama aku."

"Udah, Kamila! Aku udah minta maaf. Aku juga lagi banyak masalah dan aku nggak mau kamu menambah masalah aku!"

"Nggak segampang itu, Anjing!" Tanpa berpikir panjang, Kamila meraih pisau di belakang punggung dan langsung menghunus dada suaminya. Namun ia gagal menikam karena tangan Tio lebih cepat menangkap lengan Kamila. "Kenapa kalian menyakitiku dan membunuh Mas Jun? Kasih tahu aku alasannya!"

"Jangan gila, Mila! Kamu mau bunuh aku? Hah! Mau balas dendam?"

Dengan sekali gerakan, Tio langsung menjatuhkan Kamila ke lantai. Pisau masih berada di genggaman Kamila. Ia hendak bangkit, tetapi kembali tersungkur akibat tamparan keras Tio. Pisau di tangan Kamila akhirnya berhasil dilepas dan dilempar menjauh.

"Kamu mau tahu? HAH?! Ini aku kasih tahu ke kamu yang sebenarnya." Tio berlutut dengan satu tumpuan kaki, satu tangannya mencengkeram bahu Kamila, sedangkan tangan kanannya menekan dagu Kamila seperti hendak mencekik. "Dengar! Aku yang bunuh Junot, aku yang tikam dia. Tapi aku nggak sendirian, ada tiga orang lagi yang ikut menikam kakak kandung kamu." Napas Tio terasa panas di wajah Kamila. Suaminya menyerupai iblis bila dilihat dengan jarak sedekat itu.

"Ka ... kamu." Kamila meringis sakit, tak percaya dengan apa yang dikatakan Tio.

"Tapi bukan aku yang nyakitin kamu, Mila. Aku udah bilang ke mereka supaya jangan nyakitin kamu, tapi mereka brutal. Mereka lebih iblis dibandingkan aku."

Tio melepas cengekeramannya dan berdiri menjulang. Di bawah kakinya, Kamila menangis.

"Mereka siapa? Tolong kasih tahu aku, Mas," pintanya dengan suara gemtar bercampur tangis.

Ponsel Tio berbunyi nyaring. Ia melihat layarnya dan langsung memadamkan ponsel. "Salah satunya adalah orang yang sekarang lagi memburuku." Tio menyimpan ponselnya di saku celana, meraih tas lalu melangkah cepat keluar kamar tanpa memedulikan Kamila.

Tangan Kamila terasa sakit, tetapi ia bersikeras mengejar Tio yang baru saja melajukan motor dua tak keluar pekarangan rumah.

"Mas Tio! Jangan pergi!"

Para warga yang ada di sekitar melihat Kamila berlari mengejar Tio yang sudah melaju keluar gang. Tanpa alas kaki, Kamila terus mengejar Tio yang tidak memedulikan seruannya sama sekali. Ia sudah tertinggal dua puluh meter. Namun ia menaruh curiga ketika dua orang pria berpakaian hitam dan mengenakan helm menyusul menggunakan motor. Kamila sempat berhenti dan melihat kedua pria itu tampak berusaha mengejar Tio. Kamila kembali berlari sedangkan matanya fokus pada Tio yang kini sudah keluar dari jalan kecil dan berbelok ke kanan. Motor yang dikendarai Tio hampir saja mengaspal cepat di jalan raya jika saja truk tanki bermuatan BBM tidak lebih dulu menghantam dan melindas tubuh Tio.

----------------------

DRAFT 06 OKTOBER 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro