Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sulutan Api Dendam

----Satu bulan sebelumnya-----

"Sebenernya apa sih yang Mbak lihat dari Mas Tio? Dia itu udah selingkuhin Mbak! Nggak ngasih nafkah lagi! Dan sekarang aku lihat pakai mata kepalaku sendiri. Si bangsat ini mukulin Mbak kaya orang kesetanan!"

Masih teringat jelas seperti apa ekspresi kemarahan Damar dan kata-kata kasarnya saat ia melihat Tio memukuli Kamila waktu itu. Kamila tahu Damar akan bereaksi demikian. Bahkan lebih parah jika saja ia tidak menahan lengan Damar saat hendak mengayunkan kursi makan yang terbuat dari kayu jati peninggalan VOC ke tubuh Tio.

Benar apa yang dikatakan Damar. Tio selingkuh. Dan malam itu adalah kali kedua Kamila memergoki Tio jalan bergandengan dengan wanita lain. Kamila yang terlalu frontal langsung bertanya pada Tio saat dia pulang, tapi belum apa-apa Kamila sudah dipukuli sampai hidungnya berdarah. Tepat di saat itulah Damar datang dan balas memukuli Tio. Kamila berusaha melerai mereka. Damar memaki dan terus-terusan ingin menonjok Tio lebih keras. Namun, entah mengapa Kamila merasa Damar terlalu ikut campur urusan rumah tangganya. Meskipun Tio sudah berbuat di luar batas, dia tetaplah suaminya dan bagaimana pun situasinya, Kamila ingin mengendalikan semuanya sendiri. Ia terlalu berharap pada keajaiban bahwa suatu hari Tio bisa berubah lebih baik dan menjadi Tio yang Kamila kenal sebelum mereka menikah.

Sayangnya kejadian itu malah membuat Damar kecewa. Ia tidak pernah lagi menghubungi Kamila, sekadar menanyakan kabar apalagi datang menjenguk. Sementara Kamila, masih dengan kebodohan yang terus saja dipermainkan Tio.

"Aku udah dapat kerjaan. Syukurnya ada teman lama yang mau bantu," kata Tio saat sarapan di hari pertama dia bekerja.

Senyum Kamila seneringah seketika mendengar kabar baik itu. Setidaknya Tio punya pekerjaan dan keuangan mereka tidak terlalu bergantung dari penghasilannya sebagai tukang potong ayam di kios Bang Mamat dan sampingannya sebagai kreator konten media sosial UMKM.

"Oh ya? Alhamdulillah ... akhirnya kamu dapat kerjaan juga. Memangnya siapa yang kasih kamu kerjaan?" tanyanya ingin tahu.

Tio meneguk kopi hitamnya sesaat sebelum menjawab, "Kamu nggak perlu taulah siapa, Pokoknya orang kaya raya dan lumayan terkenal."

"Terkenal? Siapa? Artis?"

"Semacam itu," jawab Tio singkat.

Kamila memungut piring bekas sarapan Tio dan menaruhnya di bak cuci piring. "Jadi penasaran aku tuh ..."

"Udah, nggak perlu tahu kamu," potong Tio sambil berdiri. Ia menyulutkan api ke rokok di mulutnya. Asap mengepul ketika Tio menghembuskannya tepat di depan Kamila. "Karena sekarang aku udah kerja, tolong jangan kamu curigai aku lagi. Aku udah janji sama kamu nggak bakal selingkuh, kan? Semisal aku pulang kemalaman, tolong jangan tanya yang macam-macam."

Tatapan mata Tio tidak setajam biasanya. Kali ini lebih sendu. Kamila merasakan ketulusan terpancar dari dalam diri suaminya meski hanya beberapa detik. Senyum Tio membuatnya percaya akan kalimatnya yang pernah berjanji untuk tidak lagi bermain dengan wanita lain.

Kamila mengangguk. Cukup menjadi istri yang penurut saja selama apa yang Tio katakan tidak menyurutkan semangatnya mencari nafkah.

Satu minggu berlalu sejak Tio bekerja sebagai supir pribadi. Setiap hari dia berangkat jam setengah tujuh pagi sedangkan Kamila pergi bekerja membantu Bang Mamat di kios potong ayam setengah jam setelahnya. Malamnya, Tio pulang setiap jam delapan sementara Kamila menunggu di rumah sambil mengerjakan beberapa materi konten klien. Kamila merasakan kehidupan kembali normal. Tidak ada perdebatan kecuali cerita-cerita seru yang saling bertukar.

***

Terhitung sudah hampir satu tahun Kamila bekerja sebagai tukang potong ayam yang letaknya hanya lima ratus meter dari rumah. Ia sangat berterima kasih pada Mamat, seorang pria dengan tiga orang anak yang giat menjalankan usahanya sejak muda. Terus terang ini bukanlah pekerjaan yang pernah ada di dalam daftar cita-cita Kamila. Siapa juga yang pernah memimpikan bekerja dengan cipratan darah dan tahi hewan, bau amis, penyakit kulit, dan sama sekali tidak ada cantiknya. Namun nyatanya, kebutuhan ekonomi mampu mengubah seseorang yang hidupnya sok elit jadi jempalit.

Kamila hanya sedikit mengadu tidak lagi bekerja sebagai karyawan di perusahaan importir karena mengalami sakit serius yang menguras mental. Tabungan hampir habis. Damar, adiknya satu-satunya tidak bisa diandalkan karena ia tidak ingin mebebani hidup Damar yang sudah tenang. Mendengar cerita hidup Kamila, Mamat merasa iba dan menawarinya bekerja karena kebetulan orang yang selama ini membantunya sudah buka usaha potong ayam mandiri.

Waktu itu Kamila belum berjumpa dengan Tio. Ia menjalani kehidupan yang sulit dengan kesendirian sembari belajar untuk mensyukuri keadaan. Selain mengajari Kamila cara berjualan dan melayani pelanggan, Mamat juga mengajarinya banyak hal tentang bertahan hidup. Terkadang, Mamat menyelipkan cerita tentang kenangan persahabatannya dengan almarhum Junaidi, kakak laki-laki Kamila yang sudah lama meninggal.

"Saya ingat betul, kamu tuh sering diajak ke mana-mana sama si Jun kalau lagi main sama temen-temennya," cerita Mamat sambil membuka album lamanya di siang hari yang santai.

Kamila baru saja membersihkan meja pemotongan ketika mendengarnya. Tengah hari begini pelanggan tidak seramai pagi, jadi mereka bisa sedikit bersantai sambil mengobrol.

Pria itu duduk di kursi plastik tempat biasa ia beristirahat. Kamila pun ikut duduk di depannya melihat album foto yang sama. Tampak tiga pria sekawan yang sedang berpose di bawah pohon bougenvile besar. Bunga-bunga merah keunguan terlihat seperti hiasan di kepala mereka. Junaidi berdiri di tengah-tengah sedangkan Mamat di sebelah kiri, Pria yang di sebelah kanan bernama Andre, juga salah satu sahabat mereka yang kini tidak pernah Kamila dengar kabarnya.

"Kayanya ini foto Mas Jun yang terakhir, Bang," ucap Kamila.

Mamat mengeluarkan foto itu dari dalam kantung album lalu melihat tulisan di balik foto. 19 Juni 2002. "Ini, satu minggu sebelum dia meninggal, Mila."

"Serius?"

Tanpa permisi, Kamila langsung merebut kertas itu dari tangan Mamat. Kenangan menyedihkan langsung menerpa ketika ia fokus pada wajah Junaidi yang tengah tersenyum manis di depan kamera. Saat itu usia Junaidi sekitar tujuh belas tahun. Sosok lelaki penyayang yang selalu melindungi Kamila kapan pun dan di mana pun. Ia tidak akan pernah bisa melupakan bagaimana rasa sedih akan kehilangan sosok Junaidi saat menyadari bahwa kakak laki-lakinya pulang dalam keadaan tak bernyawa.

Air mata tanpa sadar jatuh dengan sendirinya.

"Kamila, maaf saya jadi bikin kamu sedih," ucap Mamat.

"Nggak apa-apa, Bang," balas Kamila sambil mengusap pipi. "Aku ... cuma sedih mengingat nasibku yang selalu ditinggal sama orang-orang yang ku sayang. Setelah Bang Jun, Ayah, Ibu, dan sekarang ... aku nggak punya siapa-siapa lagi kecuali Damar. Itu juga .... " Kamila berhenti bicara, memutuskan untuk tidak melibatkan Damar dalam kondisi hidupnya yang menyedihkan.

"Tio? Suami kamu? Masih suka jahat sama kamu?"

Kamila menggeleng. "Enggak, Bang. Alhamdulillah sekarang Tio udah nggak pernah main kasar. Tapi nggak tahu kalau di luar dia masih suka selingkuh atau enggak. Saya udah nggak mau ambil pusing, Bang. Capek banget."

"Syukurlah kalau gitu, Mudah-mudahan Tio bisa berubah jadi lebih baik."

Mereka serentak menoleh ke arah depan ketika seorang pembeli memanggil. Mungkin karena Mamat tahu Kamila butuh waktu untuk menenangkan diri, dia berdiri dan melayani pembeli. Kamila kembali melihat foto bergambar tiga pria berpose itu. Lagi-lagi ia tertegun melihat paras Junaidi yang tidak seperti foto-foto di album lama keluarga. Lebih ceria dan tampan. Jadi, ia putuskan untuk meminta izin Mamat membawa pulang foto tersebut.

Malamnya ketika Kamila dan Tio hendak istirahat, ia mengambil bingkai berisikan foto tunggalnya di rak buku dalam kamar. Kamila menggunting kertas dan hanya mengambil foto Junaidi agar bisa disandingkan dengan foto tunggalnya di dalam kaca bingkai. Pintu kamar terbuka, Tio masuk ke dalam kamar bersama aroma wangi sabun mandi.

"Hei," sapa Tio sambil mengenakan kaos oblong. "Lagi ngapain?"

Kamila menoleh ke kanan saat Tio duduk di tepi kasur bersamanya. "Ini foto lama Mas Junaidi mau aku tempel di samping fotoku. Kangen banget aku sama dia."

"Oh, ini Mas Junaidi yang pernah kamu ceritain ke aku?"

Kamila mengangguk. "Masih inget ternyata."

"Walaupun cuma sesekali, tapi aku masih inget cerita-cerita kamu tentang orang tua dan kakak laki-laki kamu." Tio menyentuh tepi bingkai bersama dengan wajah keingintahuan. "Coba lihat, kamu 'kan nggak pernah nunjukin fotonya ke aku."

Sembari Tio fokus melihat foto Junaidi, Kamila bercerita tentang bangganya ia semasa memiliki kakak laki-laki seperti Junaidi. Bagi Kamila cukup memberi tahu Tio tentang kenangan indah tanpa memberi tahunya peristiwa tragis apa yang membuat nyawa Junaidi melayang.

Ekspresi keseriusan Tio saat memandangi foto itu membuat Kamila berpikir bahwa Tio sedang mengingat sesuatu. Bahkan ketika Kamila menggugahnya, Tio seperti terkejut.

"I ... ini beneran saudara kandung kamu?" tanya Tio tak percaya.

"Iya beneran ini Junaidi. Memangnya kenapa? Ada yang aneh?"

Wajah Tio berubah seketika. Ia tampak seperti orang gugup yang tak tahu harus bereaksi bagaimana. "Anu ... kok kayanya nggak mirip sama kamu."

"Oh .... " Kamila meringis tawa kecil. "Kita emang nggak mirip, wajahku lebih mirip sama ayah, sedangkan Mas Jun mirip ibu. Waktu kecil juga banyak orang nggak percaya kalau kita kakak adik."

Tio mengembalikan foto itu ke tangan Kamila dan kembali bertanya, "Kamu belum cerita dia meninggal di usia muda karena apa? Sakit atau kecelakaan?"

Kamila langsung menatap Tio. Ia memang belum pernah cerita soal penyebab kematian Junaidi karena menurutnya tak perlu mengungkap cerita menyedihkan itu pada siapa pun. "Maaf, Mas. Tapi aku belum mau cerita ke siapa pun soal penyebab kematian Mas Jun."

"Kenapa?" tanya Tio lagi. "Aku cuma pengen tahu semua tentang masa lalu istriku. Apa nggak boleh? Atau mungkin bagi kamu aku bukan siapa-siapa?"

"Bukan gitu, Mas."

"Apa kamu lebih senang kalau aku cari tahu tentang masa lalu kamu dari orang lain? Aku tanya ke Bang Mamat aja barangkali, dia pasti mau jawab."

"Nggak usah!" sela Kamila cepat hingga membuat wajah Tio mundur ke belakang.

Hal-hal sepele seperti ini yang terkadang mampu menyulut pertengkaran di antara mereka. Memang tidak ada salahnya Tio tahu soal keluarga Kamila karena bagaimana pun juga suami istri harus saling mengetahui sejarah hidup masing-masing pasangan. Akan tetapi, tidak ada urgensinya Tio tahu tentang bagaimana Junaidi meninggal. Biarlah rasa kehilangan dan dendam selama bertahun-tahun itu Kamila simpan sendiri. Ia tidak ingin menambah bumbu-bumbu kebencian masa lalu di dalam rumah tangganya.

Selama beberapa detik Kamila terdiam tak bisa menjawab. Tio menunggunya mengatakan sesuatu hingga akhirnya Tio beranjak dengan wajah kecewa.

"Nggak apa-apa kalau nggak mau cerita." Tio membaringkan tubuh di atas kasur dan menutupi sebagian tubuh dengan selimut. "Wajar kalau kamu sangat kehilangan dia. Junot memang selalu jadi idola cewek-cewek di mana pun."

Mendengar kalimat Tio, mata Kamila langsung terbelalak dan teringat sesuatu. Ia tidak pernah cerita banyak tentang Junaidi, lalu bagaimana Tio bisa tahu panggilan akrab kakak laki-lakinya itu? Ditambah dengan ucapannya tentang Junaidi yang selalu jadi idola cewek remaja di lingkungan sekolah dan desa. Itu artinya Tio pernah kenal, atau malah berteman dengan Junaidi.

Tanpa pikir, Kamila pun langsung bertanya, "Mas Tio? Kamu pernah kenal sama Junaidi?"

Seketika ekspresi Tio terkejut seperti orang yang kelepasang omong. Ia membuang muka sesaat dan malah menanggapi Kamila kasar. "Itu cuma tebakanku aja. Lagian ngapain kamu tanya-tanya toh juga kamu nggak mau cerita ke aku."

"Mas!" Kamila menarik bahu Tio agar pria itu mau berbaring menghadapnya meski ditolak. "Oke, aku bakal ceritain semuanya ke kamu. Tapi kasih tahu aku hubungan kamu sama Mas Jun waktu dia masih hidup sekenal apa?"

Tio tidak menanggapi Kamila. Dia bersikeras memalingkan wajah. Rasa penasaran Kamila tentang hubungan almarhum dengan Tio membuat hari-harinya dirundung kegelisahan. Setiap kali Kamila bertanya lebih lanjut, Tio justru meemarahinya.

Tio juga tidak pernah lagi memaksanya untuk cerita tentang masa lalu. Dari sanalah Kamila menyimpulkan bahwa memang ada sesuatu yang disembunyikan Tio tentang peristiwa dua puluh tiga tahun silam. Peristiwa tragis yang mampu mengubah hidup Kamila menjadi malapetaka. Secara tidak langsung, suaminya telah menyulutkan api dendam yang dulu sempat meredup.

----------------------

DRAFT : 16 September 2024

VOTE jangan lupa diklik, Wankawan ... sampai bab ini, semoga kalian suka dan penasaran ama kelanjutannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro