🥀Bab 4🥀
USTADZ YUSUF tersenyum saat melihat kedatangan sahabatnya dari arah luar kafe, tempat dimana mereka membuat janji. "Kapan pulang?" Tanya nya.
"Semalam," ucap pria itu sembari menduduki kursi kosong di sebelahnya, lebih tepatnya bersebrangan dari tempat duduk Ustadz Yusuf.
Ustadz Yusuf mengangguk. "Gimana hatimu, sudah lebih baik?"
Pria di depannya tersenyum dan mengangguk. "Ya, jauh lebih baik dari sebelumnya."
"Syukurlah, lalu bagaimana ekspresi-nya saat njenengan ngasih Paper bag itu."
"Haruskah saya menjawab, Suf." Ustadz Yusuf terkikik geli mendengar nada bicara pria itu. Sepertinya benar, hatinya mulai menerima.
"Selow Gus, saya nggak terlalu penasaran, sama jawabane njenengan. Tapi tunggu, sepertinya saya lupa belum memberitahu njenengan mengenai jadwal masuk sekolahnya."
"Ya kamu lupa, soal itu." Ustadz Yusuf kembali tertawa melihat ekspresi Gus Zhafi yang sedikit kesal padanya.
"Ojo ngambek Gus, selak tuo. Ko kasian istrinya njenengan. Hehehe,"
Kali ini tatapan Gus Zhafi menajam, membuat Ustadz Yusuf salah tingkah. Eitz salah tingkah dalam artian tidak enak hati, bukan seperti biasanya yang diibaratkan meronanya sebuah pipi.
"Nuwun Sewu, Gus." Zhafi mengangguk, dia tidak pernah marah dengan omongan Ustadz Yusuf, dia hanya sedikit kesal saja. "Ndak pesen minum Gus?" Tanya Ustadz Yusuf kembali.
"Ndak usah, Kamu mau ngomong hal penting apa sama saya. Sampai ngajak ketemu," Ustadz Yusuf hanya menggaruk tengkuknya, memikirkan sesuatu yang sebelumnya ingin ia sampaikan.
"Jadi gini, waktu njenengan ke Pesantren, saya kan sempat mampir ke Pondok. Saya denger langsung dari Umi Aisyah katanya beliau, njenengan mau dijodohin sama Ning Zulfa, anak Kyai Syairozi pemimpin pondok pesantren Al Aziziyah, niku leres nopo mboten."
Zhafi menghela napas berat, rupanya sang Umi benar-benar menginginkan perjodohan itu terjadi. Tapi bagaimanapun, kini Zhafi sudah menikah, ia tidak mungkin menikah lagi tanpa persetujuan dari istrinya, Zeva. Lagipula dalam hidupnya ia hanya ingin menikah hanya sekali seumur hidup.
"Jadi bener Gus,"
Zhafi mengangguk. "Ampun bang jago," ucap Ustadz Yusuf sembari menepuk dahinya. "Kenapa harus njenengan Gus, Gus Zhilan kan bisa juga dijodohin sama Ning Zulfa, atau sama saya aja, saya mah lillahi ta'ala"
"Suf, Suf, ingat kamu udah ada pawangnya."
"Ya nggak papa, nambah satu lagi juga bisa, Gus." Zhafi menggeleng mendengar kejujuran sahabatnya ini, ia sedikit menyunggingkan senyum. Nyatanya persahabatan mereka bukan hanya sekedar sahabat biasa, melainkan jauh dari hubungan itu.
Tak banyak yang tahu jika lelaki berparas tampan, nan menawan itu telah mempersunting salah satu santri di tempatnya menyantri terdahulu. Dan yang parahnya lagi, hanya orang Ndalem saja yang tahu soal pernikahan Ustadz Yusuf.
Selepas Zuhur, Zhafi kembali ke Pesantren. Kendaraan roda dua itu kini terparkir dihalaman rumah Ndalem.
"Dari mana?" Tanya Umi Aisyah, yang saat itu tengah menyiram berbagai macam tumbuhan di halaman rumah Ndalem.
Zhafi yang melepas helm dari kepalanya, kini tersenyum ke arah wanita yang telah melahirkannya itu. Tubuhnya terangkat dari jok kemudian, melangkah mendekat ke tempat Uminya berada, kini tangannya menengadah memberi salam. "Ketemu Yusuf, Mi."
"Oh, iya. Kemarin waktu kamu nggak di rumah. Yusuf sempat mampir ke sini, katanya kangen sama ponakannya."
Zhafi mengangguk, "Tadi Yusuf juga sempat cerita Mi, sama Zhafi." Lanjut Zhafi sembari duduk, dan melihat punggung Uminya yang masih menyirami tanaman.
"Dua hari yang lalu, Arif ke sini ngasih undangan buat kamu. Katanya kamu disuruh datang, jangan sampai enggak."
"Undangan?" Batin Zhafi, "Undangan nopo Mi," lanjut Zhafi sembari meluruskan kedua kakinya, kemudian memijatnya perlahan.
"Undangan nikah, nanti kita sama-sama ke sana. Tapi Umi bakal ajak Ning Zulfa nggak papa kan, soalnya Abi bilang nggak bisa ikut."
Zhafi perlahan bangkit dari tempatnya duduk, "terserah Umi." Ucap Zhafi sebelum pergi. Sementara Umi Aisyah, hanya tersenyum. Kapan lagi beliau bisa mendekatkan mereka berdua jika tidak dimulai dari sekarang.
Sementara ditempat lain, Zeva dan Chandra tengah mengobrol santai, terkadang mereka pun terkikik geli saat salah satu teman mereka membicarakan hal-hal lucu. Namun, perbincangan mereka pun terhenti saat mereka mendengar ucapan salam dari arah luar.
"Waalaikumsalam," balas mereka serempak dengan tatapan mengarah ke pintu.
"Siapa?" Tanya Lina, teman sekamar Zeva. Sementara Atyn dan Nikmah mengedikkan bahu tidak tahu.
"Coba kamu lihat," Tunjuk Atyn. "Siapa tahu Mbak-mbak keamanan." Sambungnya yang meminta Lina untuk melihat siapa yang datang. Zeva dan Chandra saling pandang, Mbak-mbak keamanan? Jam segini, ngapain. Tak lama Lina kembali masuk.
"Va, kamu dicari Ning Zulfa. Kata Mbak Anjar kamu di suruh ke Ndalem,"
Ning Zulfa? Tumben. Setelah kejadian seminggu yang lalu, Zeva sama sekali tidak bertemu dengan gadis seusianya itu. Dan sekarang tiba-tiba dia disuruh menemuinya, kira-kira ada hal serius apa. "Sekarang?" Tanya Zeva kembali. Sementara Chandra hanya diam memperhatikan perbincangan mereka.
Lina mengangguk. Zeva bangkit dari sisi ranjang, "Mau ikut," ajaknya menatap Chandra yang saat itu menatapnya.
"Nggak ah, panas."
"Ya udah, kalau gitu aku ke Ndalem dulu." Pamit Zeva melangkah ke luar, perlahan punggung itu pun menghilang.
"Zeva beruntung banget bisa dipanggil Ning Zulfa, kita aja yang mondok nya udah lama, nggak pernah di panggil ke Ndalem. Menurut kamu gimana Ndra," Tutur Lina.
Chandra yang mendengar hanya mendengus sebal, lagi dan lagi keluarga Ndalem memanggil Zeva sahabatnya, ia sedikit merasa iri dengan keberuntungan Zeva saat ini. "Aku nggak tahu," pungkasnya.
"Temen masa nggak tahu sih,"
"Udah deh, jangan ngomongin Zeva mulu, aku mau tidur." Chandra berdecak tak suka saat teman-temannya membicarakan Zeva.
Mungkin menurut Zeva, Chandra adalah sosok sahabat yang baik, nan ramah. Namun dibalik semua sikap ramah tamahnya, ada rasa ketidaksukaannya. Apa kau tahu, Chandra selama ini bisa dibilang hanya memanfaatkan kepintaran Zeva, karena menurutnya, Zeva terbilang gadis yang polos. Chandra ingat saat pertama kalinya ia kesusahan dalam mengerjakan beberapa soal matematika, ia meminta Zeva untuk membantu mengerjakannya, dan apa kau tahu, 95% jawaban Zeva benar. Dari situlah Chandra sadar, jika Zeva berbeda dengan teman-temannya yang lain.
Perlahan langkah Zeva menuruni tangga, kini kaki itu sampai di lantai satu, akan tetapi sebelum sampai ke Ndalem, ia harus terlebih dulu melewati halaman Pesantren yang tersinari cahaya matahari langsung, tubuh Zeva terasa hangat saat ia memasuki halaman yang cukup luas itu, Zeva sedikit mempercepat langkahnya. Namun saat ia menundukkan kepalanya kebawah, tak sengaja ia menyenggol lengan seseorang.
"Maaf," ucap Zeva tanpa menatap siapa yang ia tabrak.
"Ah, iya."
Zeva terdiam setelah mendengar suara itu. Suara laki-laki, batin-nya. "Sekali lagi saya minta maaf, saya pamit, Assalamualaikum." Zeva kembali meminta maaf, kemudian berpamitan untuk pergi.
"Waalaikumsalam," pria itu menatap punggung Zeva yang mulai menjauh, bibirnya melengkung ke atas. Kemudian ia pun kembali melanjutkan perjalanannya.
Akhirnya Zeva sampai di halaman Ndalem, ia tersenyum dan sangat bersyukur sebab ia tak perlu masuk ke Ndalem untuk menemui Ning Zulfa. "Assalamualaikum Ning," sapanya lembut. Ning Zulfa mengalihkan perhatian, ia pun tersenyum ke arah Zeva.
"Saya pikir kamu ndak bakal ke sini Va, soalnya cuacanya panas banget." Ujar Ning Zulfa.
"Saya ndak berani untuk menolak Ning," Tutur Zeva pelan, ya, dia mana mungkin berani menolak panggilan dari keluarga Ndalem.
Ning Zulfa mengangguk, "Duduk Va, jangan berdiri terus. Saya Ndak enak, nyuruh kamu ke sini. Tapi nggak saya suruh duduk."
"Mboten usah Ning, saya berdiri saja. Takut di lihat santri lain, nanti dikiranya saya yang nggak punya adab."
Ning Zulfa tersenyum, "Besok saya mau ajak kamu pergi bareng Umi sama Gus Zhafi, kamu mau kan?" Jelas Ning Zulfa sembari menatap lekat Zeva.
"Besok?" Ning Zulfa mengangguk, "Tapi Besok waktunya Badongan Ning, saya nggak berani izin. Apalagi yang ngajar Pak Yai langsung,"
Metode bandongan adalah metode pembelajaran dimana guru menjelaskan mengenai suatu materi dan peserta didik memperhatikan atau menyimak dan mencatat penjelasan yang diberikan oleh guru
"Soal itu, nanti saya yang akan urus. Kamu tinggal setuju, jadi kamu mau ya, saya di sini cuma kenal nya sama kamu, iya sih yang lain juga kenal. Tapi nggak tahu gitu, saya pengennya ajak kamu. Kamu mau ya ikut kami pergi,"
Zeva bingung harus menjawab apa, tak lama ia pun mengangguk saja. Meski beralasan lagi, Ning Zulfa akan tetap memaksanya ikut.
"Nah gitu, Bakda subuh nanti kamu ke sini," pinta Ning Zulfa dan mendapat anggukan dari Zeva.
(Bersambung dulu ya🙏)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro