3. Dusta (FLASHBACK)
"Kau tidak memakai baju?" Itachi mengerutkan dahi ketika pintu rumah terbuka dan menampilkan sang adik yang hanya mengenakan celana tidur tanpa atasan. Dia sedikit heran, karena tidak biasanya Sasuke bertelanjang dada di malam hari. Adiknya itu hanya akan menanggalkan pakaian atas bila hendak berolahraga. Namun, Itachi rasa tidak mungkin Sasuke berolahraga di malam hari dan di dalam rumah, terlebih lagi celana yang dikenakannya pun bukan semacam bokser, melainkan potongan piama.
Sasuke berusaha menyembunyikan kegugupan dengan menampilkan raut wajah datar seperti biasa. "Tadi terasa sedikit gerah."
Tanpa berkata apapun lagi Itachi segera melangkah masuk, sedangkan Sasuke mengikutinya dari belakang.
"Bukankah kau akan menginap di rumah temanmu?" Sasuke bertanya penuh kehati-hatian, berusaha agar suara mau pun makna dari pertanyaannya tidak membuat Itachi curiga.
Itachi menghentikan langkah di dekat pintu dapur dan hal itu membuat seluruh tubuh Sasuke berkeringat dingin.
"Ya, aku pulang hanya ingin membawa baju untuk besok." Itachi bergegas memasuki dapur. Padahal mulanya dia berniat untuk segera membawa baju dengan cepat, tapi aroma lezat dari arah ruangan itu benar-benar mengalihkan atensi Itachi. "Siapa yang memasak omelet ini?"
Tubuh Sasuke menegang, terutama ketika Itachi semakin mendekat ke arah meja makan. Namun, dia berusaha kembali berekspresi normal saat Itachi menatapnya dengan tiba-tiba.
Sasuke mendengus disertai senyuman percaya diri. "Tentu saja aku. Kau pikir, siapa lagi?"
Alih-alih diam dan segera keluar dari dapur, Itachi justru mulai menatap sang adik dengan pandangan curiga. "Sejak kapan kau bisa memasak?"
Tubuh Sasuke terpaku di tempat, begitu pula dengan tatapannya pada sepasang oniks sang kakak. Ah, mengapa dia begitu bodoh dan ceroboh dengan mengatakan bahwa dialah yang memasak. Itachi jelas tahu bahwa dirinya sama sekali tak pandai membuat makanan apapun, bahkan berkutat di dapur saja sangat jarang jika bukan untuk mengambil minuman yang sudah tersedia di dalam kulkas.
"Aku memang tidak bisa memasak. Ini hanya sedang coba-coba saja." Sasuke bersandar pada dinding. Dia terus berusaha bersikap tenang. "Aku juga tidak tahu apakah rasanya enak atau tidak."
Itachi tak lagi menatap sang adik. Kini dia mulai memandang omelet yang masih berada di atas teflon kemudian melirik dua piring serta dua gelas di atas meja makan. "Siapa yang sedang bertamu?"
Untuk ke sekian kalinya Sasuke dibuat tegang. Begitu pula dengan Naruto yang bersembunyi di bawah kolong meja makan. Wanita itu terduduk di ujung seraya memeluk kedua lututnya, sejak tadi dia berusaha untuk tidak bersuara sedikit pun. Peluh terus membasahi wajah serta tubuh, terutama sejak Itachi berdiri di sekitar sana. Dia harap, tak ada hal yang akan membuat Itachi menilik kolong meja makan.
"Jelas sekali kau menyiapkan piring dan gelas ini bukan untukmu seorang." Salah satu lengan Itachi bertumpu di sisi meja makan, sedangkan pandangannya tak sedikit pun lepas dari sang adik. "Jadi, siapa yang bertamu?" tanyanya lagi.
Sasuke menghela napas. "Ketika mendengar suara mobilmu aku langsung menyiapkan lagi piring serta gelas lain."
Mengerti apa yang adiknya ucapkan, sontak saja Itachi terdiam dengan pandangan penuh arti. Cukup lama dia seperti itu sampai akhirnya dia menipiskan bibir kemudian tersenyum tipis, sangat tipis hingga nyaris tak terlihat jika tak dipandang dengan jeli.
"Tak kukira kau bisa berbaik hati seperti ini." Itachi meraih segelas air mineral, menghabiskannya dengan tiga kali tegakan. "Terima kasih sebelumnya, walau aku sangat penasaran dengan rasa omelet buatanmu ini, tapi perutku sudah cukup kenyang."
Dalam hati, Sasuke sangat bersyukur jika memang Itachi tidak akan memakan omelet tersebut. Tentu saja karena omelet itu bukan untuk sang kakak, melainkan untuk dirinya serta Naruto yang masih memeluk lutut penuh ketakutan di bawah kolong meja makan, berharap Itachi segera pergi dari sana.
Tak ada lagi yang Itachi bicarakan. Pria itu segera beranjak keluar dapur dan berjalan menuju ruangan di mana kamarnya berada. Namun, sebelum memasuki ruang tidurnya, Itachi menghentikan langkah di hadapan kamar sang adik, mendorong pintunya perlahan. Akan tetapi belum sempat Itachi melirik ke dalam sana, atensinya sudah lebih dahulu teralihkan oleh getaran kuat ponsel dari saku kemeja.
"Ada apa, Yahiko?" sahut Itachi setelah menerima panggilan masuk tersebut. "Tidak bisa, besok aku masih harus bekerja." Itachi kembali menutup pintu kamar Sasuke tanpa sempat melihat keadaan di dalamnya. Dia juga segera bergegas memasuki ruang tidurnya sendiri, mengambil sepasang pakaian formal untuk besok.
_______
Di tempatnya, Sasuke masih berdiri penuh ketegangan. Walau Itachi sudah tidak ada di ruang makan bersamanya, tapi dia masih belum bisa tenang apalagi mengizinkan Naruto keluar dari kolong meja. Tidak. Naruto hanya boleh keluar dari sana bila sang kakak sudah benar-benar pergi.
"Sasu, aku akan pergi lagi." Itachi terlihat berdiri di ambang pintu dapur dengan satu tangan yang menggenggam sepasang pakaian. "Ini sudah hampir larut malam, jangan menerima tamu siapapun jika bukan karena ada kepentingan."
Sasuke mengangguk paham kemudian mengantar sang kakak keluar rumah hingga menaiki mobil, bergegas pergi lagi.
Dan saat itulah Sasuke bisa bernapas lega. Dia dengan cepat menutup pintu rumah serta menguncinya dua kali sebelum berjalan cepat menghampiri sang kekasih yang masih bersembunyi di bawah meja.
"Itachi sudah pulang," bisik Sasuke seraya membantu Naruto keluar.
"Kak Itachi tidak akan tiba-tiba datang lagi, 'kan?"
Sasuke menipiskan bibir kemudian mengangguk tegas. "Aku yakin, kali ini dia tidak akan pulang lagi. Dia sudah membawa barang yang dibutuhkannya."
_______
Mungkin Sasuke dan Naruto bisa menghela napas lega kali ini karena Itachi yang sudah pergi lagi. Namun, mereka tak tahu saja bahwa saat tadi ketika hendak keluar dari rumah, tanpa sengaja Itachi melihat ada sepasang sepatu wanita yang tersimpan di dalam rak bagian paling pojok.
Itachi tak bisa mengabaikan apa yang sudah dilihatnya. Karena sepasang sepatu tersebut bukanlah milik sang ibunda, melainkan sepasang sepatu milik wanita muda yang Itachi ketahui sebagai teman dekat Sasuke.
Meski demikian, tadi Itachi tak bisa bertanya pada Sasuke mengenainya bersebab waktu yang semakin larut, kondisi mereka tidak kondusif untuk banyak berbincang lagi.
Aku yakin, itu memang sepatu milik Naru. Tapi, sejak kapan Naru meninggalkan barangnya di rumah kami?
_______
Jika bukan karena Sasuke yang memaksa serta menyuapinya, Naruto benar-benar tak mau menghabiskan omelet yang semula dia buat sendiri untuk dirinya serta sang kekasih. Sungguh, kehadiran Itachi yang tiba-tiba hingga membuat suasana menjadi tegang telah sanggup mengusir nafsu makan Naruto.
"Sas, sebelumnya kau sudah menyembunyikan barang-barangku 'kan?"
Sebelum membuka pintu dan membiarkan Itachi masuk, Sasuke memang sudah berkata pada Naruto bahwa dia akan menyembunyikan barang-barang Naruto terlebih dahulu, termasuk pakaiannya yang berserakkan di dalam kamar. Dan sekarang, Naruto kembali bertanya hanya untuk memastikan. Dia sungguh khawatir ada salah satu barangnya yang dilihat oleh Itachi.
Sasuke mengangguk. "Aku sudah menyembunyikan pakaian dan tasmu di kolong ranjang." Sepertinya Sasuke lupa pada salah satu barang yang terdapat di rak sepatu, dia tak sempat menyembunyikan sepasang sepatu milik sang kekasih hingga benda tersebut masih tetap di tempatnya semula sejak Naruto datang dan menyimpannya.
"Jangan terlalu dipikirkan." Sasuke meraih sendok berisi omelet yang menjadi suapan terakhir Naruto. "Setelah ini kita tidur saja, oke?"
Naruto menghela napas pelan kemudian menegak segelas teh hangat yang sudah disiapkan Sasuke dan beranjak dari sana. Namun, sebelum kembali memasuki kamar, keduanya menyempatkan diri untuk menggosok gigi terlebih dahulu.
"Terima kasih untuk malam ini." Sasuke menopang kepala menggunakan salah satu tangan. Sedangkan Naruto berbaring terlentang di sampingnya sembari menyamankan posisi selimut yang membalut tubuh mereka.
Usai membersihkan mulut dari sisa-sisa makanan, keduanya memang segera kembali ke dalam kamar dan merebahkan tubuh di atas ranjang yang menjadi saksi bisu atas percintaan mereka sejak tadi sore hingga malam beberapa jam sebelum Itachi datang.
Naruto hanya balas tersenyum seraya memberi kecupan ringan pada leher Sasuke.
"Lihat, kau seksi." Tiba-tiba Sasuke menyibak bagian selimut yang menutupi tubuh sang kekasih kemudian menarik ujung kaosnya ke atas hingga perut serta bagian intim Naruto terlihat.
"Apa yang kau lakukan!?" Naruto berusaha menarik kembali ujung kaosnya disertai wajah bersemu. Walau dia sudah mengenakan celana dalam, tapi tetap saja dia malu jika bagian sana harus diperhatikan seperti itu.
Sasuke tertawa pelan melihat ekspresi malu sang kekasih. Dia kembali menutupi tubuh Naruto dengan selimut sebelum membelai lehernya dan memberi ciuman singkat pada sebelah pipi.
"Kau tidak keberatan 'kan jika kita melakukannya lagi, nanti?" Seiring dengan bisikkan sensual itu, Sasuke mengecup daun telinganya, membuat Naruto sedikit melenguh geli.
"Melakukannya lagi ...?" Naruto mengubah posisi menjadi berbaring menyamping dan menatap lekat pada iris obisidan Sasuke. "Jadi, tadi saja tidak cukup?"
"Kau tidak mau?"
Rsut wajah Naruto dipenuhi kegelisahan seperti ketika Sasuke pertama kali mengutarakan keinginannya. "Bukan begitu. Hanya saja, jika kita melakukannya terus menerus aku khawatir terjadi sesuatu." Sebuah cengkeraman hinggap di salah satu lengan Sasuke. "Aku... takut hamil."
Sasuke mendengus seraya menyusupkan satu tangannya ke dalam kaos, mengelus perut wanita itu dengan gerakkan pelan namun menggoda.
"Tidak akan." Sasuke menunduk, mengecup leher Naruto hingga nyaris membuat tanda jika Naruto tak segera menahannya. "Kita akan melakukannya seperti tadi," tuturnya lagi setelah kembali melirik sepasang safir yang selalu menatapnya penuh damba.
Naruto terdiam. Tadi Sasuke memang mengeluarkannya di luar. Namun, jika mereka terus melakukannya dengan cara seperti itu, apakah hal itu benar-benar menjamin bahwa dia tak akan hamil? Bagaimana bila suatu saat dirinya dan Sasuke ceroboh?
"Naru, kau mencintaiku, bukan?"
Tanpa Naruto sadari, pertanyaan semacam itu selalu digunakan Sasuke untuk menjadi senjata yang mendesaknya agar bersedia menuruti apapun yang pria itu inginkan.
"Aku takut, Sas."
"Apalagi yang kau takutkan?" Sasuke membelai punggung wanita itu dari dalam kaos. "Aku bisa melakukannya dengan hati-hati seperti tadi. Kau jangan cemas. Terlebih, aku juga sudah berjanji akan bertanggung jawab apapun yang terjadi nanti."
Cukup lama Naruto terdiam, merenungkan permintaan sang kekasih dan keputusan yang harus dia ambil sebelum akhirnya dia mengangguk pelan seraya melingkarkan kedua lengan pada tubuh Sasuke.
Bagaimanapun Naruto memang tak pernah sanggup menolak permintaan Sasuke. Dia akan selalu berusaha memenuhi keinginan Sasuke semampunya.
Hati Sasuke senang bukan main. Dia sudah menduga bahwa Naruto memang pasti akan selalu menuruti apapun keinginannya. Ya, Sasuke sadar, besarnya rasa cinta Naruto membuat wanita itu selalu rela melakukan apapun.
Naruto yang sudah memejamkan mata dan bersiap terlelap harus terpaksa membuka kelopak matanya kembali ketika tangan Sasuke yang semula mengelus punggungnya mulai beralih kegiatan: membuka pengait bra kemudian dilanjutkan dengan menarik pelan celana dalam Naruto agar terlepas dari tempatnya.
"Sas." Naruto menatapnya disertai alis menekuk. "Jangan menjahiliku. Aku ingin tidur."
Sasuke tak lantas menyahut, dia hanya segera terduduk di hadapan kaki sang kekasih sebelum kembali menarik celana dalamnya agar benar-benar terlepas.
"Sasuke!" Wajah Naruto tampak dipenuhi oleh rona merah ketika Sasuke melebarkan kedua kakinya setelah berhasil melepas celana dalam yang kini teronggok di atas lantai. "Ja-jangan menatapnya, aku malu!"
Sasuke mengulum senyum melihat ekspresi Naruto. Namun, hal itu tak membuatnya puas karena dia segera melepas paksa seluruh pakaian yang tersisa di tubuh sang kekasih. Dia juga menanggalkan celananya sendiri hingga kini tubuh mereka di balik selimut tersebut benar-benar polos.
"Malam masih panjang. Sangat sayang jika kita hanya menghabiskannya dengan terlelap." Sasuke memposisikan diri di atas tubuh Naruto, mengunci setiap sisi tubuh wanita itu menggunakan kedua tangannya sebelum menunduk untuk mengecup leher sang kekasih dan berbisik di salah satu telinganya. "Aku ingin kita bersenang-senang."
"Tapi, Sas, besok kita masih harus pergi kuliah. Bisa terlambat jika kita tak segera tidur sekarang."
"Sebentar saja." Sasuke menyelipkan jemari tangannya pada helaian rambut Naruto, merematnya pelan. "Aku mohon, Naru. Coba kau pikirkan, kapan lagi kita memiliki waktu berdua seperti ini?"
_______
Sasuke mendengus pelan disertai senyuman tipis ketika melihat Naruto yang benar-benar kelelahan. Bahkan wanita itu sudah tak ada tenaga untuk sekadar memakai pakaian dalamnya, membuat tubuhnya kini masih bertelanjang bulat dibalut selimut tebal.
"Selamat tidur," bisik Sasuke seraya memberi ciuman ringan pada dahi sang kekasih.
Jujur saja, Sasuke juga cukup lelah. Namun, dia masih belum mengantuk. Dia belum bisa untuk tertidur hingga akhirnya dia pun memutuskan keluar kamar setelah mengenakan kembali celananya dan membuang sampah tisu bekas dirinya serta Naruto.
Karena tak ada kegiatan lain, setelah kembali ke dalam kamar Sasuke hanya bermain game yang terdapat di dalam ponselnya demi mengusir rasa bosan. Sesekali dia melirik Naruto yang sudah sangat lelap kemudian merapikan surai pirangnya.
Tak lama kemudian atensi Sasuke mulai teralihkan ketika sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya.
Dahi Sasuke mulai berkerut bingung. Dia heran, mengapa Hinata meminta tolong pada dirinya untuk memesan taksi, bukan meminta jemput saja pada Neji selaku kakaknya?
Sasuke tidak berbohong. Dia memang tak punya aplikasi untuk memesan taksi secara online.
Mengetahui Hinata yang berada di luar dan tak ada yang menjemput, tentu Sasuke tak bisa diam saja. Dia segera mengenakan kaos, celana jeans serta jaket.
Setelah Hinata mengirimkan alamat di mana wanita itu berada, Sasuke lantas melirik sang kekasih yang masih terlelap damai.
"Naru ..." bisik Sasuke, mengguncang pelan bahunya. "Naruto."
Lenguhan samar terdengar. Naruto mengerejapkan matanya beberapa kali sebelum pandangannya bisa terfokus pada Sasuke yang penampilannya jauh berbeda dengan tadi.
"Kau mau ke mana?"
"Aku akan menjemput Neji." Sasuke membantu Naruto untuk terduduk dan bersandar pada kepala ranjang. "Kau tunggu di sini, ya. Aku tidak akan lama."
Naruto menggeleng. "Aku takut."
"Di sini tidak ada hantu, Nar."
"Bukan itu yang aku takutkan. Aku takut tiba-tiba salah satu keluargamu pulang."
"Tidak akan. Aku yakin."
"Memangnya Neji sedang di mana?"
"Dia sedang menungguku di halte dekat pusat kota. Mobil dia tiba-tiba mogok, jadi dia memintaku untuk menjemputnya." Kalimat penuh dusta itu Sasuke ucapkan penuh keyakinan, berharap sang kekasih segera percaya dan membiarkannya pergi. "Tidak apa-apa, 'kan? Kasihan Neji. Terlalu jauh jika dia harus pulang dengan berjalan kaki."
Termakan oleh kebohongan Sasuke, akhirnya Naruto pun mengizinkan pria itu pergi seraya mengenakan kembali pakaiannya dan mengantar Sasuke hingga ke ambang pintu utama rumah.
"Jangan terlalu lama."
"Hm." Sasuke tersenyum tipis seraya melandaskan sebuah ciuman pada pipinya. "Jangan lupa untuk mengunci pintu dari dalam."
_______
Sekitar dua belas menit berlalu, akhirnya kedatangan sebuah motor yang dikendarai oleh seorang pria yang amat dikenali Hinata membuat seulas senyum wanita itu terbit.
"Terima kasih sebelumnya, Sasuke-kun."
Sasuke hanya membalas ucapannya dengan senyuman tipis kemudian melepas jaket yang dikenakannya.
"Eh?" Hinata terkesiap bingung ketika Sasuke tiba-tiba saja memberikan jaket tersebut kepada dirinya.
"Pakailah. Udaranya sangat dingin."
Tak cukup dengan itu, Sasuke juga memberikan helm yang sengaja dia bawa untuk Hinata. Akan tetapi, kali ini Sasuke tak membiarkan Hinata memakainya sendiri, dengan penuh kelembutan dia membantu Hinata untuk mengenakan helm tersebut.
Sasuke-kun sangat romantis.
"Terima kasih, Sasuke-kun. A-aku sangat merepotkanmu," ujar Hinata lagi setelah menaiki motor.
"Tidak masalah. Aku senang bisa membantumu."
Di belakangnya, Hinata hanya mengulum senyum. Ah, sebenarnya dia bisa saja mendownload terlebih dahulu aplikasi untuk memesan taksi. Namun, dia sengaja tidak melakukannya dan memilih menghubungi Sasuke karena dia memang ingin menarik perhatian pria itu. Dan hasilnya tepat seperti yang Hinata harapkan: Sasuke menjemputnya.
Tiba-tiba saja keceriaan di raut wajah Hinata menghilang kala dia teringat akan sesuatu yang mengganggu pikirannya selama ini. "Sasuke-kun, boleh aku bertanya sesuatu?"
"Hm, apa itu?"
Karena mereka masih mengendarai motor, maka keduanya harus saling meninggikan suara agar bisa terdengar oleh lawan bicara masing-masing. Sungguh, angin malam yang mengiringi perjalanan pulang mereka sangatlah menyamarkan suara lain yang lebih rendah darinya.
Hinata tampak ragu untuk bertanya. Namun, rasa penasaran ini benar-benar mengganggu pikirannya. Dia ingin segera mendapat jawaban dari apa yang dia duga selama ini. Dan dia harap, jawaban yang akan Sasuke beri nanti sesuai dengan harapannya.
"Kau dan Naruto ..." Hinata terdiam sebentar. "Apakah kalian memiliki hubungan spesial?"
Sasuke tertegun mendapat pertanyaan seperti itu. Akan tetapi, dia tak berlama-lama terdiam. "Hubungan spesial seperti apa maksudmu?"
"Seperti ... sepasang kekasih, misalnya."
Sasuke mulai mengurangi kecepatan laju motornya ketika sudah memasuki kompleks perumahan di mana rumah Hinata berada. "Tidak. Aku dan Naru hanya sebatas teman, tak lebih," jawabnya penuh kebohongan.
"Tapi, kalian terlihat begitu dekat untuk sebatas teman. Saat di kampus, dia lebih sering berada di sampingmu melebihi temanmu yang lain."
"Hm, benarkah? Aku tak terlalu memperhatikan hal itu. Tapi, aku dan Naru memang tak memiliki hubungan lain." Tanpa mempedulikan segala pengorbanan Naruto untuk dirinya, Sasuke dengan tega menyangkal hubungan mereka yang sebenarnya. "Sejak dulu kami hanya berteman."
_______
TBC
27 Juli 23
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro