Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1. Kabar Buruk

"Aku hamil."

"Hubungan kita sudah berakhir."

Dada si wanita terasa semakin sesak oleh berbagai macam emosi. Terutama mendengar ucapan si pria yang seolah menegaskan bahwa tidak ada tanggung jawab yang harus pria itu lakukan atas kehamilannya.

"Aku sedang mengandung anakmu! Kau harus --"

"Kau tuli?" Tatapan si pria tak lagi lembut seperti dulu. "Hubungan kita sudah berakhir sejak satu minggu yang lalu. Kau dan aku sudah tidak terikat apapun lagi, mengerti?"

"Aku sedang meminta pertanggung jawabanmu! Kau yang berjanji akan menikahiku!"

Helaan napas terdengar, wajah tampan pria itu tampak tak ada beban. "Bagaimana bisa aku menikahi wanita yang sudah tidak kucintai?"

Air mata yang semula membendung, kini jatuh berderai membasahi kedua pipi.

"Lalu ... " Si wanita menyentuh perutnya yang masih terlihat datar. " ... bagaimana dengan bayi ini!?" Suaranya terdengar parau menahan isakan. "Ini bukan lagi tentang perasaan kita! Tapi, tentang tanggung jawab yang harus kau lakukan! Kau sudah --"

"Gugurkan saja."

Hening.

Netra si wanita terbelalak tak percaya. Pria yang dulu bersikap lembut penuh cinta dan berjanji akan menikahinya kini mengatakan sesuatu di luar dugaan, bahkan tanpa rasa bersalah sedikitpun.

"Jangan ganggu aku lagi."

Adalah kata terakhir yang si pria lontarkan sebelum berlalu pergi, meninggalkan wanita yang sempat menjadi kekasihnya terpaku sendiri dengan pandangan penuh luka.

_______

Aishiteru
~
Uchiha Itachi × (FEM) Uzumaki Naruto




"Jangan cemas."

Wanita yang diajak berbicara hanya membisu. Tak menatap. Tak menyahut. Wajahnya masih tertunduk cukup dalam dengan netra biru yang tampak kosong seperti tidak ada kehidupan.

"Naru." Suara berat si pria mengalun kembali, memanggil dengan intonasi lembut.

Perlahan, paras cantik yang kini berbalut kesenduan itu menegak, menatap iris obisidan yang selalu terlihat tenang namun juga misterius.

"Tapi, Kak Itachi --"

"Percaya padaku." Untuk ke sekian kali Itachi berusaha meyakinkan, berusaha membuang semua keraguan yang terus mendekap wanita di sisinya.

Dan detik selanjutnya Naruto merasakan kehangatan menjalar salah satu tangannya bersebab genggaman yang Itachi berikan.

Kaki mereka mulai melangkah, memasuki rumah yang menjadi kenangan buruk bagi Naruto.

Sejujurnya Naruto enggan kembali ke rumah ini. Langkahnya terasa berat. Hatinya terasa sesak. Benda mati itu telah menjadi saksi atas kebodohannya di masa lalu.

"Apa kami masih bisa ikut makan?" Dengan penuh ketenangan Itachi bersuara, menatap satu persatu dari ketiga orang yang terduduk di kursi meja makan.

Sontak Naruto menjauhkan tangan, membuat genggaman Itachi terlepas begitu saja.

Kehadiran Naruto yang bagai tamu tak diundang membuat keheningan tercipta di antara mereka. Bahkan belum ada yang menyahut pertanyaan Itachi. Mereka masih membisu dengan ekspresi yang berbeda-beda. Dua dari mereka hanya menatap penuh kebingungan, sedangkan satu lainnya tampak terkejut bercampur takut.

"Ah, Naruto sengaja kuajak ke sini." Itachi kembali berseru saat kebingungan masih saja terkulis jelas di raut orangtuanya.

Mikoto dan Fugaku mengangguk paham kemudian mempersilakan mereka untuk duduk dan bergabung menikmati hidangan di kediaman Uchiha siang itu.

Sebelum mendudukkan diri di kursi, Naruto menatap pemuda yang sejak tadi tak bersuara. Pemuda yang sejak tadi tampak terkejut sekaligus takut melihat kedatangannya.

"Duduklah." Suara Itachi berbisik pelan. Itu bukan sekadar perintah agar Naruto segera mengisi kekosongan kursi dan menikmati makanan, namun lebih seperti meminta Naruto untuk tak lagi memperhatikan adiknya; Uchiha Sasuke.

"Apa aku mengganggu?" Naruto menatap Mikoto dan Fugaku dengan wajah tanpa ekspresi kemudian menunduk sopan. "Maaf sudah tiba-tiba datang."

Fugaku hanya terdiam. Dia memang cukup terkejut akan kehadiran Naruto, terlebih bersama putra sulungnya. Sebab, gadis bermarga Uzumaki itu hanya akan datang ke kediaman Uchiha bila ada keperluan tertentu, dan itu pun selalu dengan Sasuke selaku teman dekatnya.

Sedangkan Mikoto hanya tertawa pelan. "Tidak, Naru. Makanlah, jangan sungkan."

Kendati demikian, Naruto sama sekali tak menikmati segala makanan yang tersedia. Tidak ada satu sendok pun nasi yang masuk ke dalam mulutnya. Dia hanya terdiam, menatap nanar pada Sasuke yang kentara menghindari taut pandang dengannya.

"Kenapa, Naru? Kau tidak suka makanannya?" Jika tadi Mikoto sempat dibuat bingung dengan kehadirannya, kini Mikoto heran karena Naruto yang tak kunjung makan. Terlebih, ekspresi Naruto benar-benar berbeda dari biasanya. Tak ada keceriaan yang selalu Naruto tampakkan.

Naruto bangkit dan menunduk cukup dalam, "Maaf, Bibi. Aku tidak lapar," tuturnya pelan kemudian melirik Itachi, seolah memberi isyarat bahwa dia tak sanggup berlama-lama lagi di sini. Dia ingin pergi.

Sebelum Naruto melangkahkan kaki dan menjauh dari sisinya, Itachi dengan cepat menggenggam satu tangannya kemudian turut berdiri tegap.

"Ayah, Ibu." Itachi melirik Sasuke yang masih sibuk dengan makanannya namun tampak gusar, tidak nyaman. Tatapan Itachi kembali beralih pada Fugaku dan Mikoto, "Setelah makan, tolong temui kami di ruang tamu. Ada yang ingin kami bicarakan dengan kalian."

Baik Fugaku mau pun Mikoto, keduanya sama-sama membisu dalam kebingungan. Terutama melihat genggaman putra sulungnya di salah satu tangan Naruto.

Namun, Itachi tak memedulikan. Dia hanya berbungkuk sopan seraya mengucapkan terima kasih atas makanannya lalu bergegas pergi, membawa Naruto ke dalam ruangan yang telah ditentukan untuk berbincang dengan kedua orangtuanya nanti.

"Sasuke."

Panggilan tiba-tiba dengan suara cukup tegas dari sang ayah membuat Sasuke tersentak dari lamunannya.

"Ada apa?"

"Sejak kapan Itachi dan Naruto sedekat itu?"

Sesaat Sasuke terdiam kemudian mendengkus pelan, "Aku juga tidak tahu, Ayah."

_______


Saat ini rasa keingintahuan mendominasi hati Fugaku dan Mikoto. Penasaran akan apa yang ingin putra sulungnya bicarakan. Dan selesainya makan siang di beberapa menit silam membuat mereka segera bergegas ke ruang tamu, ruang di mana Itachi dan Naruto menunggu.

Derap langkah yang memasuki ruangan pun terdengar. Naruto dan Itachi lantas berdiri. Namun, Naruto tak berani menatap, dia hanya menunduk, menatap marmer yang dipijaknya.

"Apa yang ingin kalian bicarakan?" Fugaku membuka suara seraya melipat kedua lengan di depan dada. Putra sulungnya tidak akan pernah membuat waktu khusus agar mereka berbincang jika bukan untuk sesuatu yang penting. Dan Fugaku yakin, apa yang akan dibicarakan Itachi saat ini bukanlah masalah sepele.

Itachi tak lantas menjawab. Dia hanya melirik Naruto yang masih menyembunyikan wajah kemudian kembali menatap tegas pada kedua orangtuanya.

"Aku dan Naruto akan segera menikah."

Hening kembali tercipta.

Fugaku dan Mikoto masih belum sanggup mengatakan apapun. Bahkan Naruto yang semula menunduk, kini mulai menunjukkan wajahnya yang dipenuhi ekspresi terkejut.

"Kak Itachi." Naruto tak banyak berbicara atau bertanya. Namun, panggilan itu terasa penuh makna. Itachi paham, Naruto butuh penjelasan dari kalimat yang baru saja dia lontarkan.

Tak ada penjelasan yang Itachi berikan untuk wanita yang kini memandangnya penuh tanya, penuh rasa tidak percaya.

Itachi hanya kembali meraih satu tangannya, memberi genggaman kuat yang seolah menegaskan bahwa semua akan baik-baik saja dan Naruto hanya perlu percaya padanya.

Fugaku menghela napas dengan mata yang terpejam sejenak, "Jangan bergurau, Itachi."

Mereka tidak percaya. Pernyataan yang baru saja Itachi katakan terlalu janggal. Karena selama ini yang mereka tahu, Naruto dan Itachi sama sekali tidak pernah terlihat seperti sepasang kekasih, bahkan Naruto selalu tampak segan pada Itachi.

"Pa-paman, aku --" Naruto menghentikan ucapannya saat genggaman tangan Itachi terasa bertambah erat, jauh lebih kuat dari sebelumnya. Lagi-lagi Naruto hanya menatap Itachi dengan pandangan tak mengerti. "Kak, kita --"

"Aku serius." Dengan sengaja Itachi menyela, berucap lebih lantang tanpa mengalihkan pandangan dari kedua orangtuanya dan genggaman yang terus dia pertahankan.

Mikoto dan Fugaku masih tak bisa percaya. Cinta mungkin memang bisa jatuh kepada siapa saja. Namun, bagi mereka Naruto masih terlalu muda, bahkan juga masih berstatus sebagai mahasiswi. Benarkah Itachi ingin menikahi gadis yang umurnya setara dengan adiknya sendiri?

"Ayah, Ibu... aku benar-benar serius. Kami harus menikah secepatnya -- "

Itachi memejamkan mata untuk sesaat kemudian melirik Naruto yang kentara dipenuhi kebingungan, ketakutan serta berbagai perasaan gundah lainnya. Namun, Itachi tak bisa berhenti di sini. Dia harus berani mengatakan segalanya, apapun risikonya.

" -- karena Naruto sedang mengandung anakku."

Suasana di sekitar mereka berubah tidak nyaman dalam sekejap. Semua orang masih bergeming dengan netra yang terbelalak. Terutama Naruto yang sama sekali tak menduga bahwa Itachi akan menyampaikan kabar sedemikian buruk pada orangtuanya.

"Tolong, restui kami."

Tanpa melepas genggaman, Itachi membungkukkan badan penuh kesopanan. Sedang di sisinya, Naruto hanya bergeming dengan mata yang nyaris masih tak berkedip.

"Itachi."

Suara berat Fugaku membuat Itachi lantas kembali berdiri tegak.

Bugh!

Iris biru Naruto membola sempurna melihat tubuh Itachi terhuyung jatuh akibat pukulan keras yang Fugaku berikan di salah satu pipi. Bahkan, dahi Itachi juga turut mendapat luka dan sedikit mengeluarkan darah karena sempat terbentur pada ujung meja.

Mikoto tak melerai karena dia pun cukup terkejut dengan segala pengakuan Itachi. Dan dia merasa wajar bila Fugaku marah besar.

Itachi sendiri tak melawan. Dia hanya bangkit berdiri, menatap sang ayah yang tampak mengeraskan rahang.

"Pernikahan kami akan dilakukan minggu depan."

Naruto tak mengerti, sebenarnya apa yang saat ini dipikirkan oleh Itachi. Segala yang Itachi lakukan sekarang benar-benar di luar dugaan. Dan semua itu membuat kepala Naruto sakit. Sungguh, Naruto ingin Itachi berhenti.

"Kak Itachi... sudah cukup." Naruto berbisik lirih. Netra safirnya yang mulai berbalut air mata tampak memandang kosong ke bawah. "Apa yang sebenarnya sedang Kakak lakukan ...? Berhentilah."

"Apa yang sedang kulakukan? Tentu saja memenuhi tanggung jawabku." Itachi menjawab tenang seraya kembali menggenggam tangan Naruto penuh keyakinan disertai pandangan yang masih terpaku pada Fugaku dan Mikoto. "Aku mohon restu dari Ibu dan Ayah untuk pernikah--"

"Lakukan sesukamu, anak bodoh." Fugaku menggertakkan gigi, menahan kemurkaan yang membuncah ingin keluar lagi. Dia berbalik, membelakangi Itachi disertai kedua tangan yang masih terkepal kuat. "Kau mempermalukan keluarga Uchiha. Aku kecewa padamu, Itachi."

Fugaku telah beranjak. Sementara Mikoto masih di tempatnya berpijak, menatap kedua insan muda dengan pandangan terluka.

Jika Fugaku merasa kecewa, maka sama halnya dengan Mikoto. Dia tak pernah menduga anak sulung yang selama ini mereka banggakan bisa bersikap tak berakal layaknya hewan. Sungguh, kabar ini adalah aib yang memalukan.

"Itachi, kau... benar-benar mengecewakan kami."

Hati Itachi cukup teriris melihat ekspresi sendu yang melingkupi wajah sang ibunda. Namun, Itachi tak mampu jika harus membisu. Karena bagaimanapun orangtuanya harus tahu perihal kandungan Naruto, perihal janin yang kini tengah hidup di dalam perut wanita berusia delapan belas tahun ini.

Saat Mikoto telah menyusul langkah suaminya, pandangan Itachi beralih pada Naruto yang masih terpaku dengan tatapan kosong disertai linangan air mata.

"Naru." Itachi merendahkan tubuh demi bisa mensejajarkan pandangan mereka. "Kita akan segera pulang. Tapi sebelum itu, aku harus --"

Ucapan Itachi terhenti saat kelopak mata Naruto tertutup rapat dan tubuh wanita itu lunglai ke depan seiring dengan kesadaran yang terkikis habis. Tidak, Itachi tidak terkejut. Sebab, sejak awal kondisi Naruto memang tak baik dan apa yang terjadi baru saja pasti semakin menekan mentalnya.

Dengan sigap, Itachi membaringkan tubuh Naruto di atas sofa kemudian menyeka sisa-sisa embun hangat di setiap ujung mata wanita itu.

Itachi paham, Naruto pasti sangat syok atas apa yang sudah dia katakan pada orangtuanya. Namun, memang hanya ini yang bisa Itachi lakukan. Hanya ini jalan terbaik untuk mereka.

"Maaf, Naru."

Di sudut ruangan lain, satu-satunya orang yang tak terlibat dalam perbincangan tadi namun mendengar semuanya tanpa sedikitpun terlewati, hanya bisa menggeram murka disertai jemari tangan yang mengepal erat. Emosinya memuncak. "Sialan," lirihnya seraya berlalu pergi sebelum keberadaannya disadari oleh sang kakak; Uchiha Itachi.

_______


Kelopak mata yang semula tertutup, perlahan mulai terbuka saat kesadaran kembali dia dapatkan, menunjukkan sepasang netra biru safir yang terlihat redup.

Naruto mengerjap beberapa kali demi memfokuskan pandangan sebelum bangkit terduduk, menatap sekelilingnya. Dan rupanya masih sama. Dia masih berada di kediaman Uchiha.

Teringat akan apa yang sudah terjadi di beberapa menit silam, membuat Naruto lantas bergegas dari ruangan itu, berusaha mencari sepasang suami-isteri yang telah dibuat kecewa oleh pengakuan Itachi.

Aku harus bicara pada Bibi dan Paman.

Naruto tidak ragu dengan keputusannya. Terlebih, Itachi sedang tidak ada di sisinya. Tidak akan ada orang yang menghalangi dia untuk berbicara pada Fugaku atau Mikoto.

"Apa yang sebenarnya kalian pikirkan sampai berbuat sejauh itu?"

Langkah Naruto terhenti mendengar suara Mikoto. Seharusnya dia berbicara pada wanita itu. Namun, semuanya terurungkan karena Itachi juga ada di sana, tengah berlutut di hadapan sang ibu.

Naruto tak mendekat, tak pula menunjukkan keberadaannya pada mereka. Dia hanya terdiam di balik dinding, mendengarkan ungkapan penuh kekecewaan yang Mikoto tumpahkan pada Itachi.

"Kenapa, Itachi? Kenapa kau melakukan hal sehina ini!"

"Maaf, Ibu."

Kali ini Naruto dapat mendengar sahutan Itachi. Suara pria itu tetap terdengar tenang dan santun.

"Apa kau sadar bahwa kau sudah merusak nama baik keluarga kita? Kau bukan hanya merusak harga dirimu, tapi juga harga diri kami sebagai orangtuamu!"

"Maafkan aku."

"Kau seorang kakak, Itachi! Seharusnya kau bisa menjadi panutan yang baik untuk Sasuke! Untuk adikmu!"

Mendengar nama Sasuke diseru begitu lantang, tubuh Naruto pun menegang disertai jemari tangan yang terkepal.

Dan tepat saat Naruto berbalik, hendak memasuki ruangan untuk menyela pembicaraan Itachi berserta ibundanya, wajah Naruto justru menabrak dada bidang seseorang.

Naruto menoleh ke atas, menatap paras Itachi yang masih tampak tenang, seolah tak ada sedikitpun masalah yang perlu Itachi cemaskan.

Walau Itachi sudah ada di hadapannya, Naruto tak peduli. Dia akan tetap menemui Fugaku dan Mikoto.

"Apa yang kau bicarakan nanti tidak akan merubah keadaan."

Itachi tidak menahan pergerakannya. Namun, ucapan Itachi sanggup membuat langkah Naruto terhenti begitu saja.

"Kau pikir, orangtuaku akan percaya begitu saja pada ucapanmu setelah apa yang tadi kukatakan? Setelah apa yang tadi terjadi?"

"Tapi --"

"Keadaan hanya akan bertambah rumit."

Perlahan, Itachi meraih satu tangan Naruto, menggenggamnya kuat sebelum menarik tubuh wanita itu agar berhadapan dengannya.

"Berapa kali harus kukatakan kalau kau hanya perlu percaya padaku? -- "

Naruto tertegun ketika Itachi merendahkan tubuh, mensejajarkan tinggi mereka lalu melempar seulas senyum tipis tanpa beban.

" -- Ayo, pergi. Kita memulai hidup baru bersamaku."

_______

TBC
21 Juli 23

Beberapa chapter ke depan akan penuh dengan flashback yang mungkin tidak terasa asing bagi sebagian pembaca karena ini memang di-remake dari cerita lama ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro