Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 9 { Last Day in Konoha }

Manik onyx Itachi seketika terbelalak melihat tanah di atas patung hokage retak di segala arah. Pepohonan juga nampak terbelah, hancur bahkan sebagian masih terbakar. Ia terus menahan kesabarannya sampai gemeretak kepalan tangannya terdengar.

Matanya kini semakin menajam mencari sosok yang merusak tanah itu. Hingga tiba-tiba ia berlari saat mendengar sebuah suara teriakan tak jauh darinya.

"Katon: Goukak ...."

Buagh!

Tendangan kencang Itachi pada pipi sang bungsu Uchiha mebuatnya seketika terpental beberapa meter. Sharingannya seketika terbelalak melihat sang kakak berdiri tak jauh darinya, dengan tatapan yang begitu tajam ke arahnya.

Saat akan berbicara Sasuke seketika terbatuk hingga mengeluarkan darah dari mulutnya. Sakura yang melihatnya memegang tenggorokan dengan raut begitu kesakitan segera berlari mendekat.

Dengan cepat ia mengalirkan ninjutsu medisnya hingga pria itu bisa mulai bernapas sedikit lega, "Naruto, jelaskan semua kekacauan ini," ucap Itachi membuat Jinchuriki itu menyembulkan kepalanya dari balik salah satu pohon sembari perlahan berdiri dan menundukan kepalanya.

"Gomen-nee, Itachi-nii. Semua berawal dari ini," ucapnya sembari mengulurkan sebuah kalung emas dengan batu mulia berwarna safir yang indah.

Itachi pun mengambil kalung itu dan menimang-nimangnya dengan jari, "Jelaskan lagi dengan lebih detail kenapa benda ini kalian perebutkan hingga merusak aset utama desa?"

"Aku ingin memberikannya sebagai hadiah untuk Tenten. Tapi si dobe ini merebutnya dariku," bela Sasuke yang perlahan berdiri di bantu Sakura.

"Aku yang melihatnya dulu dan Sudah siap membayarnya. Dattebayo!"

"Sudah ku bilang aku yang pertamakali melihat. Dobe!"

"Aku!"

"Aku!"

"A ..."

"Hentikan!"

Keduanya seketika terdiam mendengar suara Itachi yang terasa menakutkan. Sakura pun segera mendekat dan memegang tangannya agar ia bisa tetap tenang.

"Sasuke, apa kau lupa kalau kita memiliki pandai perhiasan sendiri? Kau bisa memintanya membuat puluhan bahkan ratusan perhiasan sesuai keinginanmu. Apa kau tidak puas dengan semua itu atau kau memang ingin mencari masalah?" Tanyanya sembari memegang bahunya, membuat bungsu Uchiha itu tertunduk, tak berani menjawab.

"Dan kau juga Naruto," ucapnya sembari menepuk dan menggenggam pundaknya juga, "Kau yang paling dewasa di sini, itulah kenapa Hiashi-sama mempercayakan putrinya padamu. Lalu kenapa kau masih meladeninya hanya karena hal kecil? Apakah Hinata begitu mengingingkannya?"

Naruto perlahan menggeleng sembari menyeka darah yang kini mengucur dari hidungnya. Api hitam seketika menguar di tangan Itachi saat ia melepaskan mereka dan langsung membakar kalung itu hingga tak bersisa, "Itachi-nii. Gomen-nee," ucap mereka berbarengan dengan nada yang sedikit rendah dan cukup menggambarkan seberapa takutnya mereka pada Itachi.

"Desa ini milik godaime, minta maaflah padanya dan Sasuke ..." ucapnya membuat bungsu Uchiha itu mendongak dengan tatapan penuh tanya, "Aku membebaskanmu dalam segala tugas maupun hak. Pergilah kemanapun kau pergi dan lakukan apapun yang ingin kau lakukan. Mulai detik ini aku tidak akan melarang atau bertanggung jawab lagi atas semua yang berkaitan denganmu,"

Ketiganya seketika terbelalak mendengar ucapan sulung Uchiha itu. Saat Sakura akan membujuknya agar ia menarik kata-katanya, Itachi langsung merangkul pinggang Sakura, "Ayo, masih banyak yang harus kita kemasi,"

"Itachi-nii. Chotto," ucap Sasuke berusaha mengejarnya namun sulung Uchiha itu langsung menghilang bersama Sakura.

Tak lama mereka sudah kembali ke kamar, Itachi seketika mendudukan diri dengan kencang di ranjang sembari tertunduk, memijat keningngnya. Gadis musim semi itu pun segera keluar dari kamar, membawakannya sebuah minuman dingin agar ia bisa sedikit tenang.

"Itachi-kun," panggilnya membuat sulung Uchiha itu menoleh lalu mengambil minuman yang di sodorkannya.

"Arigatou-nee,"

Perlahan ia naik ke ranjang lalu duduk di sisinya, "Itachi-kun. Apa itu tidak terlalu berlebihan?" Tanyanya dengan begitu hati-hati, karena takut memantik emosinya.

"Aku sudah terlalu sering mentolelir setiap kesalahannya, Sakura. Tapi kini tidak, ia harus belajar bertanggung jawab dan menangani segalanya sendiri,"

"Bagaimana jika ia menempuh jalan yang salah. Seperti dahulu?"

Tok ... Tok ...

"Sakura, katakan pada Itachi. Jika Sasuke datang berkunjung," ucap suara ayahnya.

"Tousan, tolong suruh dia kemari," ucap sulung Uchiha itu sembari membenarkan posisi duduknya dan bersandar pada dinding sembari membaca salah satu kertas dokumen.

Tak butuh waktu lama suara ketukan kembali terdengar. Ketika pintu tergeser nampak Sasuke berdiri dengan ragu di sana. Saat gadis musim semi itu akan beranjak pergi, Itachi tiba-tiba menahan pergelangannya.

"Niisan," panggilnya dengan begitu gugup.

Saat Sakura mengangguk pelan, Mengisyaratkannya untuk masuk. Sasuke langsung mengambil salah satu kursi dan duduk di hadapan kakaknya itu.

"Niisan, tolong maafkan aku. Aku berjanji tidak akan seperti ini lagi,"

Itachi nampak diam, seolah tak mendengarnya dan malah berfokus pada catatan yang ternyata terbalik itu. Saat Sakura meremas tangannya barulah ia mengangkat pandangannya dan menatap bungsu Uchiha itu, "Apa yang harus ku maafkan, Sasuke? Kau tidak memiliki kesalahan apapun padaku,"

"Aku telah merusak citra klan Uchiha yang sudah susah payah niisan bangun. Tolong maafkan aku, aku akan mendengar dan mengikuti apa yang niisan katakan,"

Itachi pun menghela napas mendengarnya dan mengetuk keningnya dengan jemari seperti biasa, "Kau sudah dewasa, Sasuke. Aku tidak bisa selamanya membimbingmu. Kau harus memiliki arah sendiri untuk di tuju. Itulah alasan kenapa aku melepas seluruh tanggung jawabku padamu," ucapnya membuat Sasuke seketika tertunduk.

"Sekarang lihat aku dan katakan apa keinginanmu? Bebas berkeliaran sebagai pengelana atau menjadi seorang pemimpin? Atau kau memiliki rencana lain hingga terus berulah membuat masalah?" Sambungnya.

Keraguan besar seketika tergurat pada wajahnya. Sedikit demi sedikit akhirnya ia bisa menatap Itachi dengan benar, "Aku tidak tahu," ucapnya membuat Itachi mengernyit, "Tujuan hidupku .... arah hidupku .... Kini semuanya telah hilang,"

"Kenapa?"

Manik onyxnya kini melirik pada Sakura lalu kembali pada sang kakak sebelum tertunduk. Tangannya yang terkepal, meremas ujung pakaian membuat Sakura semakin yakin ada yang ia sembunyikan, "Katakan saja, Itachi-kun tidak akan marah," ucapnya.

"Karena kebodohan dan keegoisanku di masa lalu, aku kehilangan segalanya termasuk arah juga tujuan hidupku,"

"Kebodohan dan keegoisan apa yang kau maksud?"

"Mengabaikan dan menyia-nyiakan seseorang," ucapnya sembari melirik Sakura diam-diam, "Tapi kini aku akan memikirkan lagi apa yang ku inginkan, niisan. Berikan aku waktu untuk berfikir," sambungnya.

"Sudah ku bilang terserah padamu,"

"Nee," Sasuke pun perlahan berdiri lalu pamit pergi dari sana.

Sakura yang ingin bertanya banyak hal pun mengurungkan niatnya dan mengambil salah gulungan berkas yang ternyata berisi peta aneh juga asing, "Itu peta ruang bawah tanah rumah kita, Sakura. Jika terjadi masalah kita bisa kabur melewati jalan itu," ucapnya sebelum gadis musim semi itu bertanya.

"Apa lima ujung ini mengarah ke lima desa?"

Itachi seketika tersenyum sembari mengelus pucuk kepalanya, "Kau pintar. Semua jalan ini berakhir ke belakang kantor para kage. Lalu untuk nama klan, apa kau sudah memikirkannya?"

Sakura seketika menggulirkan manik emeraldnya ke langit-langit, "Uchiha Ichi?"

"Pfft apa maksudmu hmm? Generasi pertama telah berakhir,"

"Ni?"

"Itu milik Sasuke, kita bagian ketiga,"

"San?"

"Nyaa?"

"Arigatou? Hahahah. Ku kira kau tak menyadarinya,"

Itachi pun mengetukan kertas yang di pegangnya pada pucuk kepala Sakura sembari ikut tertawa, "Dari raut wajahmu yang cengengesan begitu. Bagaimana bisa aku tak mengerti rencanamu. Cancala,"

Sakura seketika mengernyit bingung, "Cancala? Siapa itu hah! Apa ada wanita lain lagi shannaro!" Teriaknya sembari melempar bantal pada sulung Uchiha itu.

"Chotto, itu panggilan bagi istri dari Klan Uchiha," jelasnya membuat Sakura berhenti melemparinya beberapa saat sebelum melakukannya lagi.

"Kau tidak bisa menipuku, shannaro! Katakan siapa dia atau aku akan menghajarmu tanpa ampun,"

Itachi seketika menggenggam bantal yang baru saja di lemparnya dan menarik Sakura yang terus berontak pada pelukannya, "Tanyakan pada Zinan dia juga tahu kalau kau tidak percaya,"

"Zinan belum menikah, bagaimana bisa dia tahu. Kau mencoba berbohong lagi sha ...."

Sebuah ciuman yang begitu lembut seketika menghentikan ocehannya. Emeraldnya seketika terbelalak saat Itachi memperdalam ciumannya. Sakura pun segera mendorong bahunya dan menutup bibirnya, "Apa yang kau lakukan shannaro!"

"Aku tidak melakukan apa-apa," ucapnya sembari tersenyum dengan begitu polos, seolah tak melakukan apapun yang salah dan kembali mendekatkan wajahnya yang segera di tahan oleh gadis musim semi itu.

"Aku harus mengemasi barangku,"

"Biar Zinan yang melakukannya," bisiknya dengan nada yang menggoda dan mencoba menciumnya lagi, namun Sakura dengan cepat menutup mulutnya sembari menggeleng.

"Ada barang pribadiku di sana. Bagaimana bisa kau menyuruh Zinan?"

Itachi pun menghela napas pelan mendengar celotehannya lagi. Ia tiba-tiba menidurkan Sakura sembari menggenggam kedua pergelangannya, "Kita bisa bicarakan ini nanti," bisiknya sembari mengecup daun telinga gadis musim semi itu.

"Itachi, hentikan. Kau sudah melakukannya berulangkali pagi tadi, apa kau tidak lelah?"

"Seorang Uchiha tidak pernah merasa lelah. Apalagi dalam hal ini," ucapnya sembari menggigit kecil lehernya membuat Sakura seketika menggeliat.

"Itachi, chotto. Ini masih siang, jendela dan pintu juga ..." Elaknya namun Itachi tak mendengar dan malah terus melakukan aksinya.

"Zinaaannn! Jauhkan tuanmu dariku!"

*****

Mentari senja itu terlihat lebih indah saat di pandang di atas patung para kage. Pemandangan desa juga jauh lebih menarik dari atas. Pantas saja Itachi sangat suka memantau dari sini. Di desa barunya, entah ia bisa melihat mentari seperti atau tidak.

"Sakura-chan? Kau ada di sini?" Panggil sebuah suara yang membuat gadis musim semi itu seketika menoleh.

"Kurenai-sensei, tumben anda ada di sini,"

Wanita itu perlahan mendekat lalu duduk di sisinya, "Aku sedang merindukan Asuma. Jadi aku datang kemari,"

Sakura seketika mengangguk mendengarnya. Tempat ini adalah tempat yang penuh kenangan bagi pasangan itu. Asuma mengatakan cintanya pertama kali di atas patung kage ini dan Kurenai pun mengatakan berita bahagia kehamilannya pada Asuma di sini.

Ia seketika merasa bersalah melihat tempat bersejarah mereka kini sudah setengah hancur karena ulah dua sahabatnya. Saat ia tengah terhanyut dalam lamunannya, Kurenai tiba-tiba menggenggam tangannya, "Bagaimana rasanya menikah Sakura?"

Gadis musim semi itu seketika menjadi kikuk dan tak mampu menjawab apa-apa karena lidahnya terasa kelu.

"Apa semuanya baik-baik saja?" Sambungnya membuat Sakura terkejut.

"Nee, Kurenai-sensei. Semuanya baik-baik saja, dimana Mirai?"

"Shikamaru membawanya. Sakura, apa kau sudah melihat desa yang akan kau tempati?"

"Nee, tempatnya begitu indah Kurenai-sensei. Kau pasti akan betah jika tempat itu sudah selesai di bangun,"

"Apa kau bisa menceritakan detailnya? Aku begitu penasaran dengan keindahannya,"

Sakura seketika tersenyum sembari menatap mentari di hadapannya, "Setiap jembatan di desa itu terbuat dari kristal bening yang menampilkan aliran sungai di bawahnya. Di kiri kanan jalan terjajar pohon merah besar yang menggambarkan keindahan mata Itachi. Setiap malam semua tanaman di sana akan tersinari oleh kerlip kunang-kunang,"

Kurenai seketika tersenyum membayangkannya, "Apa Itachi juga menanam bunga Sakura di sana?"

"Nee, ada pohon Sakura yang sangat besar di tengah alun-alun desa," ucapnya sembari merentangkan kedua tangan sembari tersenyum dengan begitu bahagia.

"Desa itu terdengar memiliki kesan menenangkan. Aku ingin tinggal di sana, apa boleh?" Tanyanya membuat Sakura seketika mengangguk.

"Arigatou-nee. Ayo kita berkeliling, aku akan memberikanmu beberapa hal sebagai bentuk terimakasihku,"

Saat Sakura akan menjawab, tiba-tiba Zinan muncul di sisinya, "Sakura-sama. Sudah waktunya pulang,"

"Aku akan pulang nanti," ucapnya sembari perlahan berdiri dan menarik tangan Kurenai pergi. Zinan nampak tak menyerah dan kembali berteleportasi ke hadapannya.

"Itachi-sama menunggu anda di rumah karena pekerjaannya begitu banyak,"

"Kalau begitu Sakura, pulanglah. Lain kali saja kita berkelilingnya. Lagi pula kita akan hidup bersama nanti,"

Sakura pun mengeratkan genggamannya pada pergelangan wanita itu, "Tidak, besok aku harus pergi sensei. Bagaimana bisa ku tunda? Kau juga akan ke desaku nanti bukan sekarang,"

"Itachi-sama tidak akan melakukannya lagi, Sakura-sama. Hari ini sudah cukup," Sela Zinan yang seketika membuat emeraldnya terbelalak dan pipinya merona merah.

"Melakukan apa?" Ulang Kurenai sembari meliriknya, "Oh aku mengerti. Memangnya berapakali dia melakukan itu hingga Sakura tak mau pulang?" Tanyanya kini sembari terkekeh kecil.

"Itu tidak penting sensei. Ayo kita pergi,"

"Saya mendengar empat teriakan meminta berhenti tadi pagi dan tadi siang Sakura-sama meneriakan nama saya sekali begitu kencang," ucap pria itu membuat Kurenai melongo.

"Zinaaan! Pulang sana!"

"Nah, begitu beliau memanggil saya. Tapi tadi beliau meneriakan agar menghentikan tuan bukannya menyuruh pulang," ucapnya sembari tersenyum dan membuat Sakura tepuk jidat.

"Jangan di dengar sensei, dia kembarannya Sai,"

Sakura pun segera menarik Kurenai pergi dari sana. Namun, wanita itu tak berhenti cekikikan sembari meminta maaf karena tak bisa menghentikan tawanya.

Saat mereka tiba di alun-alun Kurenai langsung membawanya ke berbagai macam toko dan membeli beberapa hadiah untuknya. Chouji juga terlihat langsung menghampiri mereka dan membawanya ke kedai makanan.

Bersama rekan-rekannya yang ia di temui di kedai. Sakura menghabiskan malam terakhirnya di Konoha dengan bahagia sekalipun tanpa kehadiran Sasuke.

******

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro