Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 28 { Cruel Destiny }

"Putriku," Panggilan lembut itu menyentak lamunan sang gadis musim semi yang tengah berjalan memasuki gerbang rumahnya.

Manik emeraldnya seketika menjadi berkaca-kaca saat melihat kedua orang tuanya berjalan mendekat dengan tergesa ke arahnya, "Kaasan ... Tousan ..." Gumamnya sembari langsung memeluk mereka.

"Putriku, kami tak menyangka kau akan pulang kemari. Kami kira kau telah melakukan tradisi itu," Isak Mebuki yang membuat Sakura kembali tak bisa membendung air matanya.

"Tradisi itu tidak bisa di lakukan oleh Sakura karena ia tengah mengandung dua pewaris sah klan Uchiha," Ucap Kakashi membuat mereka kini melepas pelukannya dan menatap pada sang pria perak, "Klan Uchiha merupakan klan terkuat sepanjang sejarah dan sudah berada di ambang kepunahan. Kami tidak bisa membiarkan klan ini lenyap begitu saja. Maka dari itu Sakura harus menguatkan diri demi menghidupkan kembali klan Uchiha,"

"Bukankah ada putra pertamanya Itachi?" Tanya Kizashi membuat Sakura tersadar jika ia lupa mengenalkan anak itu pada mereka.

"Kita bicarakan itu nanti. Oh ya, aku harus kembali bekerja dan Sakura, tolong suruh Chio memperkenalkan diri,"

"Nee, Chio keluarlah," ucap sang gadis musim semi membuat anak itu perlahan bergeser, mengintip dari balik punggung Sakura.

Kizashi maupun Mebuki nampak terperanga melihat raut polos, penuh tanya Chio yang menggemaskan. Kizashi pun mendekat, sembari merogoh sakunya lalu berjongkok di hadapannya.

"Hey, anak tampan. Apa kau mau permen?" Tanya Kizashi sembari  mengulurkan tangannya yang tengah menggenggam sebuah permen.

Namun, Chio semakin merapatkan diri pada Sakura dan membuat pria paruh baya itu terlihat sedikit kecewa, "Tidak apa, ini hanya permen," ucapnya lagi namun itu tak mempengaruhinya.

"Chio, ia adalah kakekmu. Terimalah,"

"Anata, Sakura sudahlah. Dia sepertinya memang tidak menyukainya," Ucap Mebuki sembari menarik berdiri pria paruh baya itu.

"Ah itu sangat aneh, biasanya anak seusianya menyukai sesuatu yang manis. Tapi tidak apa, jika kau nanti menginginkannya. Katakan saja ya,"

"Kaasan, tousan gomen-nee, Chio sangat pemalu. Ia tidak mudah berbaur dengan orang baru jadi aku mohon berikan dia waktu,"

"Nee, kami mengerti. Kalau begitu ayo kita masuk, kaasan sudah memasak makanan kesukaanmu," ucap Mebuki sembari menarik tangan mereka.

Dalam diamnya, manik sehitam malam Chio nampak berbinar begitu memasuki sebuah rumah sederhana, milik orang tua Sakura. Ia terus memandang kesana-kemari hingga tak menyadari ada lipatan karpet di hadapannya yang membuat ia tersandung dan hampir terjatuh jika Kizashi tak buru-buru menahan bahunya.

Chio yang merasa begitu malu, kembali bersembunyi di belakang punggung Sakura dan sesekali mengintip, memperhatikan Kizashi. Gelak tawa juga candaan garing dari pria paruh baya itu, membuat Chio mulai merasa sedikit nyaman.

Saat ia tengah memperhatikan foto pernikahan Sakura dan Itachi yang tergantung tak jauh dari tempatnya duduk. Chio di kejutkan dengan sebuah tepukan pada pundaknya. Begitu ia mendongak Mebuki langsung menyodorkan teh padanya yang langsung di terima olehnya.

"A ... Arigatou," ucapnya dengan ragu membuat Kizashi semakin gemas saat pertama kali mendengar suara manisnya.

"Apa kau menyukainya nak?" Tanya Kizashi yang langsung di jawab anggukan pelan.

"Selera makan juga kesukaannya hampir mirip dengan Itachi-kun. Kaasan, tousan. Jadi kalian tidak perlu bingung saat membuat makanan,"

"Benarkah? Kalau begitu biar tousan yang akan terus memasak. Itachi atau ayahmu itu sangat menyukai masakan kakek,"

"Anata, sudahlah ayo kita makan sebelum dingin," Sela Mebuki sembari kembali pergi ke meja makan.

"Kaasan, aku akan makan nanti. Karena aku harus menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tersisa sebelum lupa," Ucap Sakura sembari perlahan berdiri dan mengambil tasnya.

"Sakura, kau harus makan dulu. Kaasan yakin kau belum makan selama perjalanan tadi,"

"Tidak, kaasan. Nanti saja, Oh ya, Chio tunggulah di sini. Kakek dan nenekmu akan menunjukan kamarmu. Ibu akan kembali sebelum senja,"

Setelah mengecup singkat kening anak itu, Sakura pun segera pergi bersama Zinan. Ucapan duka terus terdengar dari setiap warga yang berpapasan dengannya. Ia tak menyangka seluruh warga Konoha begitu merasa kehilangan juga sangat bersedih setelah mendengar berita kematian Itachi.

Beberapa anbu bahkan tak segan menangis di hadapan Sakura, saat mendengar cerita tentang kematiannya yang di jelaskan oleh Zinan. Sakura yang sudah benar-benar merasa hancur juga tak bisa meneteskan air mata lagi, terlihat tak mengucapkan sepatah kata apapun. Ia terus menundukan pandangannya untuk menutupi kesedihannya dan sesekali tersenyum getir untuk meyakinkan mereka, bahwa ia sudah baik-baik saja kini.

Tak lama mereka pun tiba di kediaman klan Hyuga. Tempat itu seketika menjadi ramai karena kedatangan Sakura yang begitu tiba-tiba. Hiashi yang merasa kebingungan juga masih merasa bersalah akan kelakuan putrinya itu juga nampak begitu gugup saat Sakura memasuki ruang tamunya dan duduk berhadapan dengannya.

Hiashi semakin gugup juga tak bisa mengontrol ekspresi wajahnya yang terlihat cemas juga takut, saat Sakura menatapnya dengan datar.

"Hiashi-sama dimana Hinata?"

"Dia ada di kamarnya. Kenapa anda menanyakan hal itu Sakura-Hime? Apakah anda akan menghukumnya sekarang?" Tanyanya dengan sedikit gemetar.

"Suamiku telah tiada. Panggil saja namaku seperti dulu," ucapnya membuat pria tua itu mengangguk pelan, "Bisa anda panggilkan dia?"

"Nee, Hanabi panggil kakakmu kemari,"

Gadis yang berada di belakang Hiashi itu segera mengangguk lalu pergi dari sana dengan cepat. Tak butuh waktu lama, Hinata pun datang. Sakura begitu terkejut melihat keadaannya yang memprihatinkan. Wajahnya nampak lebih tirus, bibirnya juga terlihat pucat dan tubuhnya lebih kurus dari sebelumnya.

Naruto yang mengantar Hinata masuk, nampak segera menghentikan langkahnya dan lebih memilih berdiri di ambang pintu sembari memalingkan wajahnya ke arah lain, seolah tak ingin melihat gadis itu.

"Kemarilah," panggil Sakura.

Gadis Hyuga itu pun dengan ragu melepas tangan Hanabi lalu mendekat secara perlahan. Akan tetapi tiba-tiba Naruto menyelanya dan langsung berdiri di hadapan Sakura, "Jangan terlalu dekat dengannya, Dattebayo. Kau akan terluka," ucap Jinchuriki itu membuat Hinata mundur selangkah sembari menyeka pipinya.

"Naruto, jangan seperti itu. Dia calon istrimu, kau harus memperlakukannya dengan baik,"

"Tapi ..."

"Sudah," Selanya sembari perlahan berdiri di bantu oleh Naruto juga Zinan. Ia pun segera berjalan mendekat pada sang gadis Hyuga yang nampak gemetar, "Bagaimana kabarmu?" Tanyanya sembari menyentuh lembut pipinya.

Hinata pun mendongak, menatap penuh tanya pada Sakura yang masih saja memberikan tatapan kehangatan juga kasih sayang walau ia sudah melukainya dengan sangat parah. Sayatan rasa sakit kini terasa semakin menusuk lebih dalam pada hatinya begitu melihat senyuman getir dari sang gadis musim semi.

"Sakura .... Gomen-nee," Tangisnya sembari memeluk gadis musim semi itu.

Sakura nampak mengangguk sembari menghela pelan lalu mengelus punggungnya, agar gadis itu tenang. Setelah puas menangis, menyesali perbuatannya. Sakura segera melepas pelukannya lalu menyeka pipinya sebelum membawanya duduk di sisinya.

Perlahan ia merogoh saku jaketnya, mengambil sebuah kunci emas dengan dua lambang sayap pada ujungnya juga sebuah cincin stempel desa yang langsung ia letakan pada telapak tangan sang gadis Hyuga, "Ambilah,"

Semua orang termasuk Hinata seketika terbelalak mendengarnya. Gadis Hyuga itu pun dengan cepat mencoba mengembalikannya. Namun, Sakura segera menyembunyikan kedua tangannya pada saku jaket, "Kau bilang desa Miragatana milikmu kan? Maka dari itu aku akan mengembalikannya. Terimakasih telah membiarkan aku dan suamiku tinggal sebentar di sana,"

"Tidak, desa itu milikmu Sakura. Aku telah di butakan oleh bualan Nagato, tolong maafkan aku. Ambilah dan tinggallah di sana lagi. Aku tidak akan mengusikmu,"

"Dia benar Sakura-chan, itu adalah tempatmu jadi tetaplah di sana, dattebayo!"

"Saya telah memberikan wilayah itu pada kalian sebagai tanda terimakasih, Sakura. Tolong jangan kembalikan lagi pada kami atau kami akan merasa berhutang budi seumur hidup," ucap Hiashi sembari membungkukan badannya. Namun, Sakura segera kembali membantunya duduk.

"Pilar utama Miragatana sudah hancur, Hiashi-sama dan pilar lain yang lebih kokoh sudah ada. Anda tidak perlu khawatir," ucapnya sembari melirik pada Naruto, "Miragatana juga akan semakin maju karena bunga aslinya telah kembali,"

"Aku tidak mau memimpin desa itu. Tidak, dattebayo. Itachi-nii sudah membangunnya mati-matian. Aku tidak bisa berleha-leha di atas kerja kerasnya. Apalagi desa itu adalah bukti cintanya padamu Sakura-chan. Pokoknya aku tidak mau dattebayo. Shisui-san tolong katakan sesuatu jangan terus bersembunyi!" Teriak Naruto sembari menatap pada jendela di sisi kanan mereka.

Sosok Shisui pun perlahan keluar lalu duduk di ambang jendela, "Gomen-nee, aku tidak memiliki pendapat apapun saat ini,"

"Shisui-san? Sejak kapan kau ada di sini?"

"Sejak kau berangkat kemari. Aku tidak bisa tenang jika membiarkanmu pergi begitu saja jadi aku diam-diam mengikutimu," Jelasnya membuat gadis musim semi itu terdiam, malas menjawabnya.

"Kau bisa memimpin desa itu sampai Sasuke keluar dari penjara. Tolonglah Shisui-san hanya kau yang bisa membuat Sakura tinggal di sana,"

"Aku tidak bisa Naruto. Sekalipun aku mengambil posisi ini, maka untuk mempertahankan Sakura agar tetap di posisinya aku harus menikahinya. Aku tidak mau melakukan itu karena Sakura sudah seperti adikku sendiri,"

"Shisui-san, aku mohon dattebayo," Rengek jinchuriki itu, akan tetapi Shisui tetap pada pendiriannya.

"Sakura tolong fikirkan lagi," Bujuk Hiashi namun wanita itu juga hanya tersenyum tipis sembari menundukan pandangannya.

"Aku bisa tinggal di sana dan mendapatkan semua hak itu karena Itachi. Alasanku ada di sana juga karena Itachi. Tapi sekarang pria itu sudah tidak ada. Semua hak juga kewajibanku sudah sirna. Aku bukan siapa-siapa lagi sekarang," Ucapnya membuat semua orang semakin merasa bersedih juga bersalah.

Dengan lembut Shisui kini menggenggam tangannya sembari menatap dengan sendu, "Kau benar, tapi para putramu masih memiliki hak di sana,"

"Mereka akan mendapatkan haknya saat dewasa. Itu sudah tertera dalam peraturan juga undang-undang desa kita dan sekarang mereka hanya bisa menyandang nama Uchiha tanpa mendapatkan hak penuh,"

"Lalu bagaimana denganmu Sakura? Kau kini berada di bawah tanggung jawabku," Ucap Hiashi dengan begitu berat.

"Aku akan tinggal di sini bersama orang tuaku,"

Pria tua itu pun hanya bisa mengangguk, karena mengerti dalam situasi ini emosi juga fikiran Sakura sedang tidak stabil. Ia tidak punya pilihan lain selain menyetujuinya agar wanita itu tak marah dan menghukum klan Hyuga.

"Aku tetap tidak ingin menjadi pemimpin, dattebayo. Hinata jika kau memang benar-benar ingin menikah denganku maka tinggalkan semua yang kau miliki dan ikuti langkahku yang akan mengembara jauh dari Konoha," ucap jinchuriki itu sembari berjalan pergi dari sana, tanpa menunggu jawaban siapapun.

Sakura yang tahu sifat Naruto tidak sekeras kepala itu pun menyuruh Zinan juga Shisui menyusul dan membujuknya. Ia yakin tak butuh lama untuk mengubah pemikiran jinchuriki itu.

******

Bulan demi bulan, terasa berlalu begitu cepat setelah Sakura kembali beraktifitas seperti biasa di rumah sakit. Dengan bantuan rekan-rekannya yang senantiasa mendapingi dan menghiburnya, rasa sakit pada hatinya pun mulai perlahan sembuh, air mata juga tak lagi menetes sesering dulu.

Kebahagiaan mulai kembali ia genggam saat merasakan tendangan kecil dari kedua putranya. Setiap kali rasa rindu datang menghampiri, Sakura selalu pergi ke monumen peringatan kematian Itachi yang berada tak jauh dari gedung hokage, seperti hari ini.

Ia nampak terduduk di depan monumen itu bersama Chio, sembari menceritakan semua yang mereka lakukan juga rasakan setiap harinya pada foto Itachi yang masih terpampang jelas di sana. Tiba-tiba Sakura berhenti berbicara saat merasakan sebuah chakra tak asing di belakangnya.

Begitu ia menoleh, gadis musim semi itu seketika tersenyum begitu melihat Kurenai ada di sana sembari memegang sebuket bunga berwarna kuning.

"Aku tak menyangka kau ada di sini Sakura," ucapnya sembari berjalan mendekat dan langsung duduk di sisinya.

"Nee, pekerjaanku selesai lebih awal,"

"Hmm, Chio bisa kau mengantarkan ini pada Mirai? Anak itu selalu saja melupakan sesuatu seperti ayahnya," ucapnya lagi sembari menyodorkan sebuah buku.

"Nee, dimana Mirai-Neechan berada?"

"Dia masih di kedai ramen kalau tidak salah. Kau cari saja,"

Chio pun segera pergi dari sana setelah mengambil buku itu, sementara Sakura menyimpan bunga pemberian Kurenai pada monumen kematian itu.

"Aku tak menyangka kau sekuat ini Sakura," ucap wanita itu membuat Sakura seketika menoleh penuh tanya, "Dulu saat Asuma pergi meninggalkanku selamanya, aku benar-benar tak bisa menahan emosiku. Sekalipun semua orang berada di pihakku, aku tetap seperti orang yang kehilangan akal, aku memarahi semua orang, menangis tanpa henti hingga mencoba mengakhiri hidupku hingga Mirai lahir barulah aku menyadari segala tindakanku itu salah. Tapi kenapa kau tidak sepertiku Sakura? Apa kau tidak mencintai Itachi?"

Sakura perlahan menundukan pandangannya sembari tersenyum tipis, "Aku mencintainya .... Sangat .... Kurenai-sensei. Tapi belum aku mengatakannya pria itu sudah pergi dariku. Aku bisa sampai di titik ini juga karena aku merasa Itachi masih memperhatikanku di sisi lain dimensi dunia kita,"

"Aku juga pernah merasakan hal itu Sakura, bahkan sampai saat ini," ucapnya sembari mendongak ke langit, "Oh ya, apa kau sudah tahu jenis kelamin si kembar?" Alihnya sembari diam-diam menyeka pipinya.

"Itu ...."

Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba angin berhembus kencang menerbangkan beberapa kertas ujian Chio yang di letakan di sisinya. Dengan panik Sakura segera bangkit dan mengejarnya dengan susah payah karena perutnya sudah mulai membesar.

Kurenai yang sedang mengejarnya seketika semakin panik mendengar teriakan Sakura yang tak sengaja menyandung sebuah batu dan seketika terlihat jatuh dari tebing itu. Sakura yang melihat ujung tebing yang ia pijak makin menjauh, seketika memejamkan matanya. Ia sudah pasrah dengan apa yang terjadi.

Hingga tiba-tiba angin kencang berhembus kencang di sekitarnya. Sebuah tangan terasa menggenggam pergelangannya dan menariknya dalam pelukannya. Begitu Sakura membuka matanya, ia seketika terbelalak melihat siapa sosok yang menyelamatkannya itu.

*****

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro