5. Witchery
Bel istirahat telah berbunyi sejak tadi dan tinggal tersisa beberapa orang di kelas ini. Bersyukurlah pada pengumuman ujian yang mendadak itu, setidaknya menguntungkanku karena perhatian semua orang menjadi teralihkan. Siapa yang masih bisa tertawa dengan kejadian memalukan tadi setelah bertemu dengan hal sehoror ujian matematika?
OH MY LORD. Kalau ada yang bertanya hal terabsurd apa yang pernah aku alami, aku akan menjawab kejadian tadi. Bagaimana tidak, semuanya terlalu menggelikan dan ada di luar daya nalar. Ah, ya, mungkin tidak bagi penduduk kota Eloise yang lain. Mereka terbiasa dengan hal berbau keanehan-keanehan sihir. Aku mungkin hanyalah satu dari segelintir orang yang menganggap ini semua terlalu tidak masuk akal.
Ada satu hal dasar yang paling membuatku bertanya-tanya. Siapa yang melakukan ini semua?
Okay, Airy, ayolah berpikir. Kau sengaja tidak ikut yang lain ke kantin dan tetap duduk di kelas untuk memikirkan semuanya, bukan?
Siapa pelakunya? Apakah Asher? Aku tidak yakin kalau Asher sengaja melakukan ini semua. Entahlah. Semenjak kejadian diriku yang masuk ke dalam boneka itu, aku merasakan ..., hmm, semacam kepercayaan kalau Asher tidak akan melakukannya. Yah, ini aneh memang. Apakah ... Olivia? Olivia tidak bisa sihir, jelas tercoret dari daftar calon tersangka.
Hmm, mungkinkah ... Nathan?
Masuk akal. Nathan. Tapi ..., sebentar. Nathan tadi tidak ada di kelas. Nathan dan beberapa murid lainnya di kelas ini mengikuti ujian susulan dengan kelas lain yang tadi ujian. Aku dengar Nathan terancam tidak naik kelas kalau tidak lulus karena terlalu banyak nilai pelajaran yang buruk. Tidak mungkin dia sempat-sempatnya mengerjaiku.
Pikiranku terus bekerja. Bola mataku berputar, menyapu pandangan ke sekitar. Berpikir, berpikir, berpikir. Lalu pendanganku tiba-tiba berhenti di satu benda. Itu ... tas kecil buludru lucu milik Olivia yang tertinggal di meja belajarnya.
Hmm, sebentar, sebentar. Ada hal yang aneh. Aku teringat akan hal yang aku takutkan selama ini. Dan kejadian absurd tadi membuatku semakin penasaran dengan hal itu. Aku tidak akan tahu sampai aku bisa membuktikannya sendiri. Hmm, baiklah, aku akan coba buktikan.
Aku akan mencoba untuk mengumpulkan rasa kantukku.
Aku akan mencoba untuk menjaga fokus.
Aku coba, coba, coba, dan ....
Wuuush ... PLOP!
.
.
--
"Olivia!" Masih dalam keadaan terpejam, aku mendengar suara Asher. Perlahan aku membuka mataku dan merasakan dadaku langsung menggebu dengan apa yang aku lihat saat ini--saking tidak percayanya. Oh ... Tuhan, dugaanku benar.
"Iya Ash, aku mengerti. Harus berapa kali kau mengulang lagi perintah yang sama, huh?"
Asher mengacak bagian belakang rambutnya sendiri. "Hmm, ya. Aku hanya memastikan kau melakukannya dengan ... benar."
Olivia menghela napas jengah seraya berkata, "Ya, ya, ya. Aku hanya perlu bilang pada Airy kalau jepit rambut ini untuknya, benar?" Olivia mengangkat jepit rambut bentuk beruang berwarna merah--yang pernah aku lihat sebelumnya itu.
"Jangan lupa kau juga bilang kalau jepit itu dariku," ujar Asher seperti anak kecil yang tidak terima saat namanya tidak ada dalam daftar peserta piknik.
Olivia menganga dengan mata membesar. "Well, aku tak menyangka kau sejatuh cinta ini Ash."
Percakapan itu semakin tak terdengar saat keduanya perlahan berjalan menuju pintu kelas, meninggalkanku sendiran yang masih tergeletak di meja Olivia. Sendirian dengan pikiran yang masih bercabang kemana-mana.
Tubuhku kaku, tidak dapat digerakkan sama sekali. Jelas saja, karena aku sangat yakin kalau aku saat ini sedang berada dalam tubuh benda kecil dengan buludru di sekujur tubuh. Kelinci milik Olivia yang tadi aku lihat sebelum mencoba tertidur.
Sejak dulu aku selalu takut akan satu hal: aku mewarisi darah ayah dan ibuku yang jelas adalah seorang witchery. Kakakku, Ethan, juga seorang witchery. Semua selalu mempertanyakan kenapa hanya aku dalam keluarga itu yang manusia biasa.
Sekarang aku tahu jawabannya. Ternyata kemampuanku hanya belum muncul. Ya. Tidak dapat dipungkiri kalau aku mempunyai kemampuan sihir juga dalam tubuhku. Aku dapat merasuki benda mati dan menuju masa lalu. Kemampuan ini belum sepenuhnya aku mengerti. Tapi setidaknya aku menjadi tahu satu kenyataan bahwa aku ... juga seorang witchery.
.
.
--
Baru kali ini perjalanan dari sekolah ke rumah terasa sangat pendek. Rasanya baru beberapa detik yang lalu aku keluar gerbang sekolah, namun tiba-tiba saja mataku sudah menangkap gapura kompleks perumahan tempat rumahku berada.
Pikiranku penuh. Kutebak, aku tidak akan ingat siapa saja yang berpapasan denganku di perjalanan tadi. Pikiranku yang terlalu sibuk tidak sempat peduli dengan itu semua. Bersyukurlah karena aku bisa tiba ke mari dengan selamat. Mungkin karena tubuhku sudah terbiasa pulang sekolah berjalan kaki setiap hari.
Ini terlalu mendadak--serta tidak terduga. Tentang kemampuanku. Tentang sesuatu yang aku benci namun nyatanya ada dalam tubuhku sendiri.
"Wow! You're terrible awesome, Ethan!"
"Oh yeah!"
"Aku rasa tidak akan ada yang bisa mengalahkan kemampuan gilamu yang satu ini."
Telingaku mendengar percakapan itu di pekarangan rumah Jay--sahabat dekat kakakku, juga tetangga kami. Oh Tuhan. Lihatlah. Ethan kali ini sedang berubah menjadi seorang gadis kecil. Perempuan cantik dengan pipi putih merona. Mau apa mereka dengan perubahan itu?!
Aku mendelik. Berjalan pelan ke arah mereka aku lakukan karena rasa keingin tahuanku yang tinggi.
"Nenek ayo lihat siapa yang ada di pekarangan rumah kita," ujar Jack, kembaran Jay, keluar rumahnya seraya mendorong seorang nenek yang duduk di kursi roda. Yang aku tahu, itu nenek Jay dan Jack yang akhir-akhir ini sering murung karena cucu perempuannya baru saja meninggal. Karena nenek tersebut sudah pikun, setiap hari ia masih selalu mencari keberadaan cucunya itu.
"Neneeek," teriak Ethan, dengan tubuh gadis kecil, menyambar ke pelukan nenek Jay dan Jack.
Nenek itu menyipitkan matanya, seolah kebingunan. Namun beberapa detik kemudian rautnya berubah cerah. Dia tampak senang akan sesuatu yang dilihatnya. "Lily! Cucuku Lily," ujar nenek dengan wajah terharu. Dia memeluk erat Ethan yang kini sedang berpura-pura jadi gadis kecil itu.
Ethan?
Aku terenyuh. Ethan melakukan semua itu untuk kebaikan, membuatku sangat amat tidak percaya. Bagaimana bisa Ethan yang selama ini selalu main-main dengan kemampuannya itu bisa berniat melakukan hal sebaik ini?
"Airy?"
Aku menoleh mendapati suara seseorang di belakang memanggil namaku. "I-ibu?"
Ibu tersenyum. "Sedang apa kau di sini? Kau tidak pulang ke rumah?"
Syuuut
Tiga kantong belanjaan tiba-tiba datang sendiri kemudian mengawang-awang di udara. Kuduga ibu baru saja selesai belanja. Banyak sekali barang bawannya. Mulai dari segala jenis sayuran, segala jenis roti, makanan kaleng, hingga daging dan ikan segar.
Ibu mengerutkan dahi melihatku yang menatap terus belanjaannya itu. "Ah iya, maaf Sayang. Aku menggunakan kemampuanku di depanmu. Maafkan aku yang sering lupa tentangmu yang membenci sihirku ini."
Syuuut
Ibu menangkap belanjaan tersebut dengan kedua tangannya, lalu berusaha mengangkat sendiri barang sebanyak itu. Bahunya tiba-tiba sedikit turun, membungkuk. Terlihat sekali dari kerutan di dahinya, kalau ibu merasa beban itu terlalu berat. Dan itu membuatku tidak tega sama sekali.
"Ibu," ujarku dengan nada rendah. "hmm ..., gunakan saja kemampuanmu. Sihir sudah ada sejak Ibu lahir. Bukan ibu yang ingin ada sihir itu. Aku terlalu egois kalau melarangmu hanya karena aku tidak suka."
Ibu tersenyum. "Oh Sweety, terima kasih telah mengerti." Ibu menerbangkan lagi belanjaannya. "Apa yang membuatmu menjadi lebih dewasa seperti saat ini?" tanyanya seraya mengedipkan sebelah mata.
Aku hanya menjawab pertanyaan ibu dengan senyuman. Sudah saatnya aku mulai membuka mata. Setiap kemampuan itu anugerah. Baik atau buruk akan tergantung pada bagaimana pemilik anugerah itu menggunakannya. Magic is not doing mistake, but people do.
"Ayo kita pulang." Tangan ibu menarikku, namun aku hanya bergeming. "Loh? Airy? Kenapa diam saja? Ayo pulang."
Aku tersenyum seraya berkata. "Hmm, Ibu duluan saja. Aku rasa aku harus melakukan sesuatu terlebih dahulu."
.
.
--
Ting tong
Aku mengetuk-ketuk ujung kakiku sendiri ke belakang. Resah menunggu respon dari bel yang baru saja kutekan. Oh ayolah, menggelikan sekali rasanya aku berdebar hanya karena menunggu pintu dibuka seperti ini. Tapi tidak dapat dipungkiri kalau jantungku memang berpacu cepat sekali.
Pertama, karena ini kali pertama aku datang ke rumahnya untuk berkunjung. Kedua, aku harus manahan malu karena sebelumnya pernah menolak barang yang ia beri. Ketiga, kejadian bangun dari tidur di kelas tadi. Argh! Mengingatnya saja jantungku terasa mau copot. Mau disimpan di mana mukaku nanti kalau ia membuka pintu?
Apa sebaiknya aku pergi? Ah ya, sebaiknya aku pergi saja.
Kreeet
"Airy?" tanya suara laki-laki saat aku baru saja berniat mengangkat kaki.
Terlambat. Lalu aku hanya bisa salah tingkah sendiri. "Ah? Umm. Emm. Halo ... Ash." Aku berusaha tersenyum meski aku yakini senyumanku akan sangat amat terlihat hambar dan dipaksakan.
Asher diam dengan mata yang terus saja menatapku, membuat perasaanku semakin tak menentu.
"Ash?" tanyaku karena Asher terus bertahan dengan posisinya.
"Ah ya," jawabnya seraya mengerjap-ngerjapkan mata. "Ha-halo ..., Airy." Asher tersenyum tipis sambil menggaruk belakang rambutnya sendiri.
"Kau tidak bertanya kenapa aku datang, Ash?" tanyaku pelan.
Mata Asher membulat. "Oh, ya." Lagi-lagi Asher menggaruk belakang kepalanya yang aku yakini tidak gatal sama sekali. "So, ada yang bisa kubantu?" tanyanya lembut.
Aku tersenyum. "Ibuku mengundangmu ke acara makan malam besok. Kau ... mau ikut?"
Asher tercengang. "Mengundangku? Makan malam?"
Aku mengangguk pelan. "Well, besok keluargaku mengadakan acara makan malam untuk merayakan ulang tahunku yang kelima belas. Kau mau makan kue ..., hmm, bersamaku?"
Perlahan senyuman Asher mengembang, dengan kekehan kecil yang mulai keluar.
"Lalu ada satu hal lagi." Sekarang giliran aku yang menggaruk-garuk bagian belakang kepalaku sendiri, yang juga bukan karena gatal. "Boneka beruang kemarin ..., kalau kau masih menyimpannya ..., kalau kau masih mau memberikannya padaku ..., hmm, aku--,"
"Ikut aku masuk, nanti aku bawakan bonekanya untukmu," sela Asher seraya tersenyum lebar.
Mendengar itu aku hanya bisa tertawa kecil.
Yah, akan selalu ada hal berharga dari kejadian paling buruk sekalipun. Kalau aku tidak punya sihir itu, kalau aku tidak mengalami kejadian-kejadian absurd itu, kalau aku tidak membuka lebar mataku, aku tidak akan tahu ada hal baik untukku. Aku tidak akan tahu ada seorang Asher bersama perasaan terpendamnya itu.
***TAMAT***
---------------
anny's note:
ini tamat? serius tamat? udah ceritanya begitu doang?
iya, iya, iya, iya, iya. =))
terima kasih sudah membaca. silakan vote saat suka dan tinggalkan kesan, pesan, serta saran, jika ada, di kolom komentar.
untuk yang mengunggah penggalan dari tulisan-tulisanku(kalau ada) ke instagram, silakan tag akunku: rezzadwiecha.
November 2015, just-anny
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro