Chapter 34- Tahap pertama
Tidak mudah untuk menyiapkan semuanya dalam satu hari. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan dengan matang. Harus ada plot twist di dalam plot twist.
Laura dan Sergio sepakat bekerja sama untuk melengserkan Abrian. Mereka memiliki konsep tersendiri dan inilah enam bulan kemudian, pertemuan pertama mereka bersama Andara dan Arjuna.
Arjuna berusaha menahan perubahan emosinya melihat Laura dan Sergio tiba di cafe tempat janjian mereka. Tangan Laura dan Sergio saling menggenggam. Namun, ada Akuwu yang digendong oleh Sergio. Balita itu tampak anteng berada dalam dekapan dada ayahnya. Tampaknya, Sergio tidak ingin meninggalkan balita tersebut dalam pertemuan ini.
"Lau." Andara telah berdiri dari kursinya. Dia tampak senang melihat Laura setelah sekian lama. Laura mengulurkan tangan lebih dulu untuk berjabat tangan. Lalu beralih pada Arjuna yang duduk di dekat Andara.
"Senang melihat kalian berdua," ucap Laura setelah Sergio membantunya menarik kursi dari bawah meja.
"Kami juga. Kau tampak berbeda, Lau." Andara memuji. "Aku senang, melihatmu bahagia."
Laura hanya tersenyum, ia membantu Sergio untuk mendudukkan Akuwu di meja bayi yang sebelumnya telah mereka pesan.
"Wajahnya mirip Laura," komentar Arjuna. "Hanya saja, tatapan matanya mirip ayahnya."
"Kuanggap itu pujian," balas Sergio datar. "Tapi Akuwu akan selalu ikut dalam pertemuan ini. Kurasa, ini pendidikan dini seorang penerus."
Arjuna hampir tersedak oleh ludahnya sendiri. Dia buru-buru menyesap milkshake cokelat dari atas meja. "Kau benar-benar gila. Kau mendidik anakmu untuk jadi Morriaty?"
Morriaty di kenal sebagai penjahat dalam serial Sherlock Holmes, sekaligus rival dari Detektif London tersebut.
"Itu bukan urusanmu." Sergio berkomentar ketus. "Sekarang kita langsung ke inti pembahasan. Tidak perlu berbasa-basi."
Arjuna memutar bola mata malas. Tidak heran, kalau Sergio punya perencanaan seperti itu. Akuwu akan menjadi ahli waris semua yang dimiliki ayahnya. Mendadak, Arjuna merasa bersimpati pada bocah itu. Beruntung dan mengenaskan di saat yang bersamaan.
"Tugasku adalah menjaga pekerjaan kalian dalam bayangan. Membantu proses eksekusi tanpa terlihat secara langsung."
Sergio menyerahkan sebuah tablet ke arah Andara dan Arjuna. Di sana, ada sebuah bagan dan skema operasi ganda yang telah Sergio susun bersama Laura.
Andara dan Arjuna membaca dokumen tersebut sebentar, sementara Laura mencoba mengalihkan perhatian Akuwu untuk tertawa dan bermain.
"Sangat detail. Kalian bahkan menyiapkan sniper." Arjuna tersenyum sinis sambil kembali menyesap milkshake cokelat. "Aku setuju, keamanan kalian sungguh hebat. Pantas saja, sulit untuk menangkap tikus sepertimu."
Sergio tertawa hambar. Ia melirik Andara sekilas. Lalu beralih memandang Arjuna. "Abrian bukan lawan yang enteng. Dia memang punya koneksi di mana-mana. Tetapi dia tidak akan sanggup menggaji seorang sniper profesional tiap bulan. Paling-paling ajudannya yang disuruh tembak. Jelas sekali, perbedaan kami bukan?"
Sergio tersenyum tipis dengan raut penuh kesombongan. Ia meraih telapak tangan Akuwu yang duduk di antaranya dan Laura. Lalu mengecup penuh cinta tangan mungil tersebut.
"Oke, masalah keamanan aku juga setuju." Andara menyelesaikan bacaanya. "Operasi yang kami kirimkan lewat email. Tetap seperti itu. Tidak ada perubahan. Sekarang yang jadi masalah adalah talent yang menjadi umpan. Aku cemas, jika dia bisa terbunuh dalam misi ini."
Di rencana awal, sebelumnya Laura telah mengajukan diri. Namun dengan tegas, Sergio menolak usulan tersebut. Dia tidak akan membiarkan tubuh Laura dijamah oleh orang lain, terlebih pria seperti Abrian.
"Dia akan melakukannya." Arjuna menyela. "Dia siap dengan konsekuensi yang terjadi."
Pandangan Arjuna terlihat kosong. Ekspresi wajahnya terlihat lebih serius. Poin keberhasilan dari operasi ganda adalah pada talent yang bermain peran sebagai umpan. Jika dia gagal, maka semuanya akan terbongkar dan perang antar mafia akan terjadi.
"Apa aku bisa mempercayaimu?" tanya Sergio. "Aku tidak ingin Abrian mencium bau keterlibatanku. Kepala kalian berdua akan kupenggal, jika Laura dan Akuwu terseret."
"Jangan khawatir, Sergio." Andara tersenyum penuh keyakinan. "Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi."
"Kupegang kata-katamu." Sergio mengancam dengan gerakan memotong lehernya sendiri. Andara mengganguk dengan sedikit tawa.
"Aku harap misi ini akan berhasil." Laura pun turut berkomentar. "Setidaknya, aku bisa membuat nama ayahku bersih kembali."
"Akan kulakukan itu, Lau." Sergio menggenggam tangan Laura dengan erat. "Balas dendam ini akan berhasil."
...
Ruangan VVIP itu penuh oleh beberapa pejabat penting. Lampu disko berputar di atas kepala dengan warna-warni yang menyilaukan mata.
Setiap orang disuguhi wanita penghibur dengan tubuh tanpa pakaian atasan. Sesekali, para pria hidung belang tersebut menuangkan alkohol ke tubuh para gadis penghibur dan mulai menjilati tubuh mereka sampai area gunung kembar yang terpampang nyata.
Abrian ada di sana. Tampak sangat menikmati dua gadis yang sedang menghibur. Satu duduk di antara selangkangan sambil menyesap. Satunya lagi sedang bermain lidah bersama Abrian. Bahkan tangan pria itu sesekali meremas dada si wanita dengan begitu kuat dan kasar.
Tidak ada yang memedulikan seorang gadis berambut pendek dengan setelah kemeja putih dan blazer hitam yang berdiri di pojok ruangan sebagai asisten pribadi Abrian.
Abrian tahu, sejak enam bulan terakhir. Wanita itu menjadi anjing yang paling setia. Ia mematuhi seluruh perintah Abrian. Merasa sudah waktunya memanen. Abrian beranjak dan mendekati Arum.
"Ayo ikut."
Arum mengganguk patuh. Mengikuti Abrian keluar dari ruang karaoke dan berjalan melewati lorong hotel yang tampak remang dengan cahaya yang minim. Abrian menuntun Arum ke dalam sebuah kamar.
Pria itu menyalakan lampu dan berjalan menghampiri tirai jendela. Lalu menyibak kain yang menutupi dinding kaca tersebut.
"Buka bajumu, Arum."
Sekali lagi, Arum menurut. Dia membuka pakaian luarnya satu persatu. Menyisakan dalaman yang masih menempel membukus tubuh.
"Bapak," lirih Arum dengan nada suara bergetar. Abrian berbalik, dia menyeringai pada wajah ketakutan Arum.
"Kemari. Anjing manis. Aku ingin melihat tubuhmu."
Arum melangkah dengan kepala tertunduk lesu. Di luar, lampu-lampu perkotaan terlihat berkelap-kelip dan indah.
Dia lalu mulai tersentak saat Abrian menurunkan celana dalam yang ia gunakan dan menggunakan lidahnya bermain di area intim milik Arum. Tubuh itu bergetar dan merinding secara bersamaan.
Arum berusaha meredam suara dengan menutup mulutnya sendiri. Air mata itu tumpah oleh reaksi yang ditahan dan dirasakan tubuhnya.
Tidak puas oleh organ intim milik Arum. Abrian menarik dan mendorong kasar tubuh Arum untuk menempel di jendela. Dia akan menggunakan style doggy dalam permainan panas malam ini.
"Ayolah, Arum. Tubuhmu sudah berkeringat. Aku tahu, kau sangat menikmati ini."
Arum menutup mata. Dia siap mati, jika rencana ini gagal. Arum adalah talent yang dipersiapkan oleh Arjuna dan dia adalah salah satu dari sekian orang yang menjadi korban dari kekejaman si Gurbenur. Kakak perempuannya pernah dilecehkan oleh Abrian saat mereka masih SMA. Perkara masalah tersebut, Kakaknya melakukan bunuh diri karena malu menanggung aib.
Abrian semakin tidak sabar untuk mencicipi kenikmatan dan sensasi yang sudah mulai mencapai ubun-ubun. Resleting celana mulai dibuka. Tepat ketika ia menanggalkan celananya. Sesuatu tiba-tiba melesat menembus kaca dan mengenai bahu kiri Abrian. Bukan hanya satu, peluru lain juga menembus di bahu kanan.
Arum berteriak panik dan mulai berlari meninggalkan Abrian. Dia mengenakan pakaian dengan cepat. Abrian pikir dia akan ditinggal. Namun, alih-alih pergi. Wanita itu malah meraih ponsel dan menghubungi bala bantuan.
Abrian tersenyum lirih. "Apa ... ada seseorang yang berkhianat?"
Arum menggeleng lalu kembali menghampiri Abrian. "Bapak harus bertahan."
Abrian mengganguk. Darah makin keluar banyak dari bahunya. Dia sama sekali tidak bisa mengangkat tangan. "Arum, ambil ponselku. Aku harus menghubungi seseorang. Tembakan ini ... pasti dilakukan oleh sniper."
Arum pun meraba-raba di saku celana Abrian. Setelah mendapatkan ponsel tersebut. Ia membantu Abrian membuka kata sandi dengan sidik jari.
Sebuah panggilan telah tersambung. Tetap saat itu, paramedis tiba dari pintu kamar. Abrian tersenyum lega. Namun, senyum itu mendadak lenyap dalam seperkian detik.
"Halo, Abrian Lewas," sapa Arjuna dengan ramah. "Lama tidak berjumpa."
___/_/_/____
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro