Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 32- Rival

"Aku tidak ada hubungannya dengan kasus yang sudah lama usang. Tapi maaf saja, Bapak Hakim yang terhormat. Aku tidak terlibat apa-apa."

Abrian Lewas memenuhi panggilan pengadilan. Statusnya masih saksi dari hasil persidangan sebelumnya. Hanya Airlangga dan Andara yang menghadiri sidang, sedangkan Alka dan Arjuna ditugaskan untuk mengurus sesuatu.

Hakim masih berunding dengan anggota lain. Tampak memeriksa dokumen penunjang yang diberikan jaksa penuntut umum dan pengacara.

Abrian Lewas tampak santai menikmati semuanya. Bibirnya sekali-kali menyunggingkan senyum tipis tak terlihat. Merasa sangat lucu melihat betapa polosnya orang-orang untuk dibodohi.

"Yang Mulia." Jaksa penuntut umum mengangkat tangan ke udara. "Mohon instruksi."

"Silakan." Hakim mempersilakan dengan ramah. Dia ingin melihat, apa yang akan dilakukan jaksa penuntut umum. Toh, semua bukti persidangan sudah dihapuskan. Dia tidak punya pilihan lain, setelah diberi suap 200 juta tunai. Bila berhasil, Abrian Lewas  akan memberikan bonus 150 juta.

Jaksa penuntut umum mengarahkan ponselnya untuk tersambung dengan operator yang bekerja menampilkan power point. Setelah ponsel dan laptop tersebut saling terkoneksi. Jaksa penuntut umum berjalan ke hadapan Abrian Lewas. "Anda yakin? Bukan Anda yang mengendarai mobil tersebut?"

"Ya. Kecelakaan tersebut bukannya tanpa saksi mata? Di malam saat hujan mengguyur kota. Ah ya. Aku ingat." Abrian Lewat tersenyum penuh arti. "Ada seorang polisi yang melapor sebagai saksi. Kudengar, dia berada tidak jauh dari TKP. Apa aku salah?"

"Benar." Jaksa penuntut umum membenarkan argumen Abrian. "Sayangnya, pria itu tewas bunuh diri setelah kesaksiannya. Bukankah itu aneh?"

"Akun tidak tahu." Abrian tampak tidak peduli atau sebenarnya pura-pura tidak mengetahuinya.

"Ya, mungkin Anda tidak tahu."

Abrian merasa kesal dengannya. Benaknya memunculkan sebuah ide yang mendadak terlintas, jika pria di hadapannya ini terus mendesaknya ini dan itu. Dia ingin nama pria itu besok siang sudah ada di batu nisan.

"Silakan lihat ini."

Jaksa penuntut umum memberikan kode untuk operator membuka video. Awalnya, video tersebut menampilkan pengendara yang sedang melintas di jalanan dengan kondisi hujan yang mengguyur deras.

Cahaya lampu sorot hanya bisa menyinari area yang dilewatinya. Mata Abrian terbelalak, dia menatap heran pada jaksa penuntut umum. Berpikir, bagaimana bisa rekaman tersebut bocor? Namun, beberapa detik sebelum insiden tersebut terjadi. Listrik di dalam persidangan mendadak mati.

"Oh, sial!" Andara mengerutu kesal. Seharusnya momen epik tengah berlangsung sekarang.

Airlangga bangkit dari kursi. Ia merogoh ponsel untuk memeriksa sesuatu. Sialnya, signal turut menghilang dari tampilan layar.

Keriuhan mulai tercipta. Orang-orang mengeluh dan mempertanyakan mengapa semuanya bisa terjadi. Arjuna dan Alka yang berjaga di generator listrik persidangan juga merasa heran.

Airlangga mempersiapkan mereka untuk rencana cadangan, yaitu melakukan hack pada sistem komunikasi di gedung tersebut. Rencana ini akan dijalankan bila, misi pertama gagal menampilkan fakta bahwa Abrian Lewas itu bersalah.

...

Sergio yang menerima kabar dari salah satu suruhannya di lokasi kejadian hanya mengerutkan kening dan meminta untuk segera melapor perkembangan yang terjadi.

"Ada apa, Gio?" tanya Laura yang sedang sibuk mengupas apel. "Persidangannya lancar?"

"Buruk. Aku sudah menebak ini akan terjadi. Radius 3 km dari gedung pengadilan mengalami mati listrik dan hilang sinyal. Salah satu anak buahku harus pergi menjauh sampai radius 5 km untuk menelepon. Lihat? Aku kan sudah bilang. Squad Noir itu jauh lebih berbahaya dari yang dibayangkan dan Airlangga yang bodoh malah sedang menantangnya."

Sergio meletakkan ponsel di atas meja dan mengambil ali mengupaskan apel dari tangan Laura.

"Gio," seru Laura, "kenapa kau tidak memperingatkan Airlangga tentang ini?"

"Aku sudah memperingatkannya. Dia saja yang terlalu bodoh."

"Kenapa kalian bisa saling benci seperti ini? Aku penasaran tentang hubungan kalian berdua."

Sergio menghentikan gerakan tangannya mengupas. Sebagai gantinya, ia memasukkan potongan apel ke dalam mulut Laura.

"Aku takut kau cemburu."

Laura tersedak begitu mendengar seruan Sergio. Panik melihat istrinya batuk-batuk. Sergio dengan cepat mengambil minum dan membantu Laura untuk meneguknya.

"Kau bilang apa?" Rona cemburu terpancar jelas di wajah Laura. Seharusnya, Sergio tidak perlu mengucapkan hal seperti itu. "Apa kalian mencintai wanita yang sama sebelumnya?"

"Tidak!" Sergio membantah cepat. Tetapi yang itu benar untuk sekarang. Sergio membantin dengan senyum yang dipaksakan. "Bukan gara-gara itu. Dahulu, kami sahabat baik."

Laura cukup tertengun dengan fakta yang baru ia ketahui. Tetapi ia memilih untuk tidak menyela pengakuan Sergio.

"Setidaknya sampai SMA kita berteman baik. Masalah terjadi, saat aku menolak perasaan dari Kirana. Dia kakak perempuan Airlangga yang setahun lebih tua dari kami."

Sergio menghela napas berat, harus mengingat momen seperti itu. Jenis kenangan yang tidak ingin dikenang.

"Kirana mengikutiku sampai rumah. Aku sudah menyuruhnya pergi. Tapi dia keras kepala. Akhirnya kutinggalkan saja dia di teras rumah tanpa membuatnya masuk. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Tetapi Kirana menyelip masuk ke dalam dan melihat aku mengarahkan pistol ke arah seseorang. Dia yang panik, otomatis berteriak kencang. Anggota organisasi mengira kalau dia mata-mata. Kirana hampir dibunuh saat itu, aku tidak memiliki tanggung jawab untuk menjelaskan semuanya. Toh, ngapain. Dia tetap membuka mulut pada Airlangga. Airlangga yang mengetahui semuanya, diam-diam mencari tahu kehidupanku. Dia mulai menjaga jarak saat mengetahui keluargaku adalah seorang mafia. Dia juga tahu, bagaimana kami membantu kejahatan orang lain."

Sergio hanya tersenyum tipis memandang wajah Laura yang tampak muram. Lalu bergerak menggenggam tangan istrinya.

"Sejak saa itu, hubungan kami berdua buruk. Airlangga kadang-kadang menyindirku terang-terangan tentang kejahatan dan keadilan. Aku masa bodoh, tidak peduli dia mau apa. Kami mulai menjadi rival dan bermusuhan. Pada kasus-kasus besar, dia tahu kalau aku terlibat dan semakin gencar untuk menangkapku."

Laura hanya bisa tersenyum samar pada pengakuan Sergio. Dia tidak akan berkomentar apa pun, yang bisa dilakukan Laura adalah menguatkan suaminya. Tidak heran, bagaimana Airlangga sangat membenci sahabatnya sendiri. Orang terdekat yang paling ia percayai.

"Jika Abrian saja adalah tokoh utama yang memainkan peran di kepolisian. Bagaimana cara kita menangkapnya?"

Sergio hanya tertawa kecil. Jenis tawa yang mengandung beberapa makna tersembunyi.

"Tidak ada yang bisa, Lau."

"Bahkan kau pun tidak bisa?"

Lagi, Sergio terkekeh lalu menepuk pucuk kepala Laura dengan gemas. "Akan kulakukan, jika kau meminta."

"Itu perang antar organisasi." Laura tahu ini pilihan yang gila. Jika dia memaksa menangkap Abrian. Kehidupannya dan Sergio tidak akan baik-baik saja. Dia akan kehilangan lebih banyak.

Sergio mungkin akan mengorbankan semuanya. Tetapi Laura tidak punya apa-apa untuk mendukung suaminya. Tekad tidak akan mampu membawa mereka melawan mafia politik. Baru juga bergerak, nyawa sudah melayang.

Laura tahu ini akan sulit. Orang-orang itu tersebar lebih banyak di beberapa aspek pemerintahan. Jika ingin menangkap ikan besar. Dia harus berhati-hati pada gerombolan ikan yang mengawasi dari kejauhan.

Hari itu, Laura memilih untuk jauh lebih fokus mengurus kehamilannya. Kematian ayahnya akan menjadi prioritas kedua. Setidaknya dia tahu siapa pelaku utama dari masalah tersebut. Laura hanya perlu mengawasi untuk mendapatkan moment terbaik di waktu yang tepat.

__/_/___/___/___
Tbc

Holla, welcome back...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro