Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 18 - Perkelahian

Andara dan Arjuna bertindak cepat berdiri merapat ke arah Alka. Mereka membagi posisi setengah melingkar.

"Kami butuh tiga siswa yang bersembunyi di dalam." Alka memberitahu sambil menunjuk ke arah pintu tempat tiga bocah tersebut menghilang.

"Oh, adik-adik kami?" Prata berujar. "Mereka bikin ulah apa?"

"Mencuri dan membulli," ujar Arjuna tegas. "Kami datang baik-baik ke sini."

"Waw, baik-baik? Serius? Seperti orang kesetanan kayak tadi? Oh, ayolah. Jangan bersandiwara."

Prata tertawa meremehkan. Ia menepuk pundak Alka. Lalu kembali duduk di tempat semula.

"Kami malas cari ribut. Pergilah, namanya juga remaja labil. Biar nanti kami bereskan."

Alka tidak bergerak. Andara antara ragu-ragu untuk bertindak. Dia melirik Arjuna, tampaknya mereka sepemikiran agar tetap menangkap para pelaku.

"Izinkan kami menangkap mereka, Prata. Selagi aku masih bersikap baik." Alka mengepalkan kedua tangannya. Urat-urat di leher mulai mencuat.

"Kau tidak dengar tukang rusuh?" omel Prata yang mengupas kacang dan melahapnya sekaligus. "Pergilah baik-baik. Bos kami akan segera datang, sebaiknya kalian pergi."

Alka tidak mempedulikan seruan Prata. Dia memilih bertindak dan berjalan ke arah pintu belakang. Sekonyong-konyong, semua orang dalam warung kembali berdiri dan menghadang tubuh Alka.

"Lepaskan! Ini namanya kriminal. Kalian menghalang-halangi penyelidikan."

Tidak ada jawaban. Wajah Alka malah dihujani bogem mentah dari antek-antek Prata. Situasi berubah, Andara dan Arjuna terpaksa ikut adu jontos.

Tidak terima dipukul secara sepihak. Alka pun membalas pukulan tersebut hingga si pemukul terjatuh. Sebuah pemukul bisbol dilayangkan hampir mengenai wajah Arjuna.

Pria itu bergerak cepat dengan menangkis menggunakan kursi. Tiga lawan dua belas orang. Tentu, tim satu kalah jumlah. Beberapa pukulan mengenai tubuh mereka.

Andara terpojok di sudut warung, sedangkan Alka dengan luka dibibir menonjok semua anggota Prata dengan beringas. Ketika bagiannya selesai, dia menoleh dan pergi menyelamatkan Andara.

Arjuna yang sedang berusaha memukul Prata. Malah didorong jatuh hingga tersungkur di depan pintu. Tepat di dekat sepasang sepatu kets berwarna biru tua.

"Apa-apaan ini?" Suara bariton yang berat menghentikan adegan perkelahian.

Andara yang keningnya terpukul, terbelalak melihat keberadaan si pria. Alka bahkan tidak berkedip melihat sosok yang ada di depan mereka. Ditambah, semua preman bahkan Prata bersujud dengan kedua lutut menyentuh lantai.

"Arjuna? Kamu baik-baik saja?"

Tangan Laura terulur untuk membantu Arjuna berdiri. Pria itu mengerjab, tersentak akan keberadaan Laura dan Sergio. Menyadari Arjuna sudah bisa berdiri sendiri. Sergio pun menarik paksa pinggul Laura kembali mendekat.

"Apa yang tim satu lakukan di sini?" Laura kembali bertanya pada Alka dan Andara. Tidak ada yang menjawab, semua masih tercengang.

"Prata," tegur Sergio. "Jelaskan!"

Alka semakin dibuat terkejut. Bos yang sebelumnya diceritakan oleh Prata adalah Sergio Alatas. Ditambah, kehadiran Laura sebagai istri sah Sergio.

"Kami ingin menangkap bocah SMA yang melakukan pencurian dan bulli. Tapi anak buahmu menahan kami." Andara menjawab mewakili semua orang.

Laura merasa tidak enak hati melihat teman-temannya. Dia ingin membantu. Tetapi, situasinya tidak mendukung.

"Serahkan anak-anak itu. Bereskan semua ini sebelum aku kembali."

Sergio memutar badan sembari membawa Laura keluar dari warung. Arjuna terpana, dia ingin menahan Laura. Ada sesuatu yang ingin terucap. Tetapi urung untuk dilakukan.

...

"Sergio," tukas Laura saat mereka kembali masuk ke dalam mobil.

"Apa?"

"Kau berteman dengan para preman itu?"

"Memangnya ada yang salah? Aku berteman dengan siapa saja. Kecuali anggota divisimu. Mereka berempat membenciku dari dulu."

"Izinkan aku pergi menemui Andara."

"Tidak. Istriku sedang cuti. Biarkan para berandal itu. Tujuan kita menemui Prata adalah menjalankan misimu membantu Mika. Jika kamu ke sana. Apa yang akan terjadi? Bukankah ini rahasia kita berdua?"

Laura mengigit bibir bawahnya. Dia harap, masa cuti bisa segera berakhir. 14 hari itu terlalu lama.

"Sudahlah. Lebih baik kita pergi ke tempat lain."

Sergio pun menyalakan mesin mobil. Laura hanya bisa pasrah dengan duduk di samping pengemudi. Sambil melemparkan pandangan ke arah trotoar.

Dia termenung memikirkan bantuan Arjuna. Seharusnya dia ada di sana.

"Lau, berikan tanganmu."

Laura berpaling pada Sergio dengan alis bertaut bingung.

"Tanganku?" Laura menunjukkan tangannya.

Sergio mengangguk. Lalu meraih tangan Laura dan menggemgamnya kuat. Pria itu seolah takut, Laura meninggalkannya.

"Ada apa?" tanya Laura.

"Menyakinkan diri bahwa istriku ada di sisiku."

"Tapi status kita bohongan."

"Kamu tahu, bahwa aku tulus mencintaimu," ujar Sergio dengan tatapan tetap di depan. "Kasus Mika melibatkan pimpinan tertinggi kepolisian. Rencanamu akan mengucangkan semua pihak. Membawamu menjadi istriku, memudahkan aku melindungimu dan mencegah siapa pun menyentuhmu."

"Sergio." Laura merasa ada yang janggal. "Sejak awal mengenalmu. Aku merasakan sesuatu yang aneh. Di laboratorium forensik. Ada beberapa hal yang mengganjal dan membuatku penasaran."

Mobil ditepikan Sergio ke trotoar jalan. Mereka akan berbicara lebih serius dari seharusnya.

"Katakan," pinta Sergio sambil memalingkan wajah menatap wajah Laura lekat-lekat.

"Apa kamu, menjadi salah satu Player?"

Dalam dunia mafia politik. Orang-orang dengan sebutan Player memiliki peran melakukan kejahatan terorganisir demi melindungi pihak-pihak tertentu dan kepentingan mereka.

"Dari dulu, kamu selalu mengatakan hal-hal yang bahkan tidak diketahui media. Prediksimu dalam cadaan selalu berakhir menjadi wacana headline berita. Apa selama ini ... kasus-kasus kejahatan dan penyelidikan forensik yang disembunyikan. Semuanya karena campur tanganmu?"

Sergio tidak menjawab. Tidak ada perubahan ekspresi yang berarti. Hal yang membuat Laura tersentak adalah, Sergio tiba-tiba mendekatkan wajahnya kepada Laura dengan sisa jarak yang amat sangat dekat.

"Laura," bisik Sergio. "Manusia tidak boleh mengetahui kotak pandora."

"Tamu undangan tempo hari." Laura berujar hati-hati. "Beberapa dari mereka adalah tamu-tamu VIP yang pernah kamu temui secara pribadi di forensik. Aku masih ingat beberapa dari mereka. Katakan sejujurnya ... apa kau—"

Bibir Laura dibukam oleh bibir Sergio yang bergerak cepat. Ada satu kata yang tidak ingin Sergio dengar keluar dari bibir sang istri.

Laura mendorong dada Sergio begitu kuat. Namun, kedua tangan si istri berhasil dikunci. Tangan Sergio yang lain malah menurunkan sandaran kursi. Dia membuat Laura terkunci untuk bergerak. Bahkan, kaki Laura yang berniat untuk menendang ditahan oleh Sergio.

"Jangan pernah mengucapkan kata tuduhan itu, Laura," bisik Sergio.

"Kamu Maf—"

Sergio kembali mengecup bibir Laura. Menekan dan mengulumnya dengan sikap posesif. Lidahnya bahkan memaksa bibir Laura untuk terbuka.

"Ser—"

Tidak ada ruang yang Sergio berikan. Laura merasa hampir gila dengan permainan Sergio. Dia bahkan mulai merasakan tangan sang suami merayap di perutnya.

Kejadian yang hampir klimaks, mendadak terhenti. Laura terbelalak, melihat cairan bening jatuh dari pelupuk mata Sergio. Pria itu menangis.

Dia bahkan menjauhkan diri dari Laura. Merasa bersalah secara tiba-tiba. "Maaf, Lau. Emosi menguasaiku."

Laura terpana. Dia tidak pernah melihat Sergio menangis. Mendadak dia juga teringat pernah melihat air mata Sergio di altar pernikahan mereka.

Laura mengenal Sergio dengan baik. Begitu pula sebaliknya. Selama ini, dia tidak pernah melihat pria itu menitihkan air mata. Bagai memori film yang diputar. Benak, Laura menampilkan sikap-sikap dan perhatian Sergio selama ini. Kata-kata cinta yang selama ini Laura anggap hanya bualan, berubah menjadi lebih berarti.

"Kamu menangis?" Laura berusaha menggapai wajah Sergio demi menyeka pelupuk matanya yang basah.

"Tentu saja, fungsi mataku masih normal, Lau." Sergio memaksa tersenyum. "Bukan maksudku untuk berbuat seperti tadi. Aku benar-benar minta ma—"

Sekarang, malah Laura yang menyentuhkan bibirnya di bibir Sergio. Ia menghapus jejak air mata pria yang menjadi suaminya.

"Maaf. Harusnya aku yang minta maaf."

Alis Sergio bertaut bingung. Ia tidak mengerti, mengapa Laura bisa tiba-tiba seperti ini.

"Aku tidak pernah menyadari perasaanmu setulus ini, Gio. Kamu menangis saat melihatku berjalan di altar dan sekarang kamu menangis karena menciumku secara paksa. Aku ... tidak tahu kenapa, tapi ... semua itu membuatku—"

Kecupan demi kecupan saling berbalas. Air mata Sergio kembali tumpah. Tidak, dia bukan menangis karena merasa bersalah pada Laura. Ini lebih ke tangis bahagia.

"Lau," bisik Sergio dengan kening masih menempel di kening Laura. "Ayo cari hotel terdekat."

____///____/___
Tbc

Ekhem... Asyik chapter 18 up lagi. Hari ini bisa up 2 chapter.

Cie... Laura yang akhirnya luluh pada Sergio. Kesempatan Airlangga berakhir nestapa dah...

Hampir mengejar target 20 chapter. Horeee...


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro