Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 1 - Kasus Pertama

"Lapor! Saya, Laura Pitaloka! Mulai hari ini ditugaskan di Divisi Investigasi Kriminal! Laporan selesai!"

Mata empat pria yang ada di ruangan Divisi Investigasi Kriminal Provinsi Malaka tertengun satu sama lain. Andara yang sedang mengunyah roti tawar menganga lebar hingga mulut yang berisi setengah roti terjatuh di lantai.

Arjuna yang baru saja merogoh kunci dari saku celana, spontan melepaskan benda itu hingga jatuh ke lantai. Tidak ketinggalan, pria dengan potongan rambut seperti short undercut, sisi samping rambut dicukur pendek bernama Alka hanya berdiri mematung bagai dikutuk Medusa, sedangkan kepala Divisi Investigasi Kriminal mereka  Airlangga Dirgantara menatap wajah Laura dengan sorot sedang menilai barang di etalase toko dengan wajah datar.

"Selamat pagi," sapa Laura dengan tersenyum lebar. Jauh di dalam hati Laura, ia agak risih melihat raut wajah yang seolah tidak menyukai kehadirannya.

"Ayo pergi."

Hanya sebaris perintah singkat. Airlangga berjalan melewati Laura yang ia anggap sebuah pajangan baru di sudut ruangan, bagai pot bunga Janda Bolong yang dibelikan oleh Divisi Humas.

Alka memilih mengikuti langkah Airlangga dengan melirik Laura dengan sebuah senyum kikuk. Arjuna berlari mengekor, sedangkan Andara masih sibuk meneguk susu kemasan hingga tandas.

"Apa ada kasus?" tanya Laura pada Andara. Dia merasa kesal diabaikan oleh rekan kerjanya di hari pertama.

"Kasus pembunuhan," ujar Andara selagi meraih jaket parasut abu-abu miliknya. "Ayo ikut!"

Laura mengganguk. Kemudian mengikuti Andara dengan berlari dari belakang. Pintu mobil Hyundai Tucson terbuka di pintu belakang. Andara masuk disusul Laura yang duduk di dekat jendela.

Alka yang hendak mengendarai mobil dari kursi pengemudi. Sekonyong-konyong menoleh ke arah belakang diikuti Airlangga dari bangku samping pengemudi.

"Serius?" seru Alka tak percaya. Laura mengerjab.

"Tancap gas!" titah Laura, "ada korban yang menunggu."

Alka melirik ke arah Airlangga. Meminta pendapat pria berkacamata itu.

"Jalan," lirih Airlangga sembari kembali duduk dengan tenang di kursi depan.

...

Garis kuning polisi melintas mengelilingi sebuah rumah. Orang-orang di lingkungan tersebut berkerumun untuk melihat apa yang sedang terjadi. Ibu-ibu rempong, berlomba-lomba merekam dengan kamera video mereka. Para bapak-bapak sibuk berbisik-bisik. Muda-mudi yang sedang asyik bermain live streaming di tiktok pun dihalau oleh para polisi dari pos jaga terdekat.

Laura dan anggota tim investigasi Malakai pun masuk ke dalam sebuah rumah yang menjadi TKP. Begitu memasuki ruang tamu. Ada beberapa anggota forensik yang sibuk mengumpulkan bukti dengan melakukan pengambilan gambar dan menebar bubuk putih di beberapa sudut. Lalu menggunakan kuas untuk menyebarkan luas area permukaan guna mengumpulkan bukti seperti sidik jari atau jejak alas kaki pelaku.

Airlangga, seperti biasa mulai mengeluarkan sarung tangan karet dari saku celananya, kemudian menggunakan sarung alas kaki khusus. Cara ini dilakukan dengan memasukkan ujung celana ke dalam kaos kaki. Tidak lupa pula ia menggunakan masker untuk mencegah TKP terkontaminasi petugas.

Ia lalu berjalan dari pintu masuk menuju lebih dalam ke sebuah ruang tamu tempat korban ditemukan.

Airlangga mulai menyentuh tubuh korban dan memeriksa setiap sudut dan lekuk untuk mencari-cari tanda livor mortis. Yaitu salah satu tanda kematian pada korban yang diakibatkan mengendapnya darah ke anggota bawah tubuh, sehingga menyebabkan warna merah atau keunguan di kulit akibat jantung tidak lagi memompa darah, sel darah merah yang berat mengendap di bawah serum karena gravitasi bumi.

Liver mortis pun ditemukan di beberapa bagian tubuh. Masalahnya, walau ditemukan liver mortis.

Tidak ditemukan tanda-tanda perlawanan yang tercipta, saat seseorang berusaha memberontak.

Aneh, Airlangga membatin. Pada tubuh korban, terdapat dua luka tusuk di bawah perut dan terlihat cukup dalam. Sehingga sebagian besar darah yang tergenang di lantai sudah setengah mengering.

Airlangga pun mendongak dan mulai memandang ruang tamu. Diperbaikinya letak kacamata dengan jari tengah. Mendadak, kacamata bulat tersebut menampilkan program scanning identifikasi tempat kejadian perkara.

Di sampingnya, ada Andara yang sibuk memotret TKP sebagai fotografer forensik.

"Apa uji luminol sudah di lakukan pada TKP?" tanya Laura pada salah satu petugas laboratorium forensik.

Uji luminol sendiri telah digunakan untuk pemeriksaan sains. Darah dan semacamnya akan menjadi katalisator yang menyebabkan luminol berpendar dengan warna biru gelap.

"Kami akan melakukannyan setelah mayat di bawah ke rumah sakit."

Laura mengganguk kecil. Ia pun turut berjongkok di dekat Airlangga mengamati telapak tangan korban.

"Apa bunuh diri?" gumam Laura.

"Belum pasti." Alka mendadak muncul dibalik punggung Laura.

"Istri korban ada di luar. Ia bersaksi suaminya dibunuh. Aku juga memeriksa seisi rumah. Tidak ada satu pun barang berharga yang hilang. Tidak ada tanda-tanda perampokan. Namun anehnya, sang istri tidak bisa menemukan ponsel korban."

"Siapa saksi pertama?" tanya Airlangga tanpa mempedulikan Laura yang sedang memberenggut kesal akibat dicuekin.

"Putra korban yang berusia 8 tahun. Saat ini sedang dirawat bersama salah satu warga sekitar. Anak itu masih syok melihat ayahnya meninggal di depan matanya sendiri."

Laura mengepalkan tangan dengan kuat. Alka menyadari perubahan ekspresi tersebut.

"Jelas pembunuhan berencana, TKP terlalu rapi. Kita akan menetapkan kasus ini sebagai pembunuhan," jelas Airlangga pada semua orang.

Saat tim medis rumah sakit tiba bersama ambulance dan membawa jasad korban. Tidak henti-hentinya sang istri menangisi kepergian suaminya. Laura pun mencoba memeriksa ulang TKP.

Tanpa ia duga, Airlangga masih ada di dalam rumah dan tengah mengamati sebuah pigura yang tergantung di dinding. Foto itu memperlihatkan potret sebuah keluarga yang berlatar langit biru dan ombak yang bergulung-gulung di belakang mereka.

"Kapten," panggil Laura, "apa Anda juga merasakannya? Bahwa pembunuhan ini dilakukan oleh seseorang yang profesional? Tempat ini terlalu rapi, seolah-olah seseorang membereskannya sebelum pergi."

Airlangga menoleh sekilas pada Laura. Sorot mata tajam bagai elang dibalik bingkai kacamata membuat nyali Laura menjadi ciut.

"Pembunuhan," ujar Airlangga seolah membenarkan argumen Laura. "Dan pembunuhnya adalah majikan sang Korban."

"Hah? Maksud Kapten?" tukas Laura dengan alis bertaut bingung. "Hasil forensik saja belum keluar. Butuh waktu beberapa jam sampai sidik jari atau DNA pelaku ditemukan."

Airlangga terdiam. Dia tidak menyahuti perkataan Laura. Wanita itu memilih mengikuti langkah Airlangga untuk pergi ke area dapur.

Sebuah scaning hologram menampilkan sesuatu pada layar kacamata Airlangga tanpa di sadari oleh Laura.

Ada jejak bekas seseorang mencuci piring.

Terdengar suara seseorang di earphone telinga kanan Airlangga. Itu adalah Naomi, salah satu kecerdasan buatan milik Airlangga. Berkat Naomi, Airlangga langsung mendapatkan informasi latar belakang korban sekaligus tempat di mana korban bekerja dalam seperkian detik.

"Kapten?" panggil Laura kembali, "apa Anda baik-baik saja?"

Airlangga pun mematikan tampilan kacamata menggunakan tombol yang di desain pada cincin tembaga di jari tangan telujuk kirinya.

"Kau berisik sekali," omel Airlangga.

Dia pun kembali berjalan ke luar dari rumah. Di sana, ada Arjuna dan Alka yang baru saja selesai melakukan wawancarai pada para tetangga sekitar, sedangkan Andara sibuk memperhatikan hasil jepretan bidikan kameranya di samping mobil Hyundai Tucson mereka.

"Kapten," panggil Arjuna, "seluruh warga bersaksi bahwa korban adalah orang yang baik dan ramah. Mereka sendiri juga tidak menyangka korban yang bekerja sebagai sopir tewas di rumahnya sendiri."

"Apa kita perlu menyelidiki tempat korban bekerja?" timpal Alka, "dia bekerja sebagai sopir seorang Putra Anggota Parlemen. Aku mencium bau-bau busuk di sini."

"Bau busuk?" komentar Laura heran, "maksudmu?"

"Anak baru harus banyak belajar." Alka menyahuti lebih dulu pertanyaan Laura. "Lebih baik kau mengajukan surat pindah divisi. Ini bukan tempat untuk seorang wanita."

Alka lantas berjalan acuh lalu masuk ke dalam mobil tanpa mempedulikan wajah Laura yang memerah semu akibat tersinggung perkataaanya barusan.

Airlangga sebagai ketua divisi mereka pun tampak tidak mempedulikan keberadaan Laura dengan mengikuti Alka membuka pintu mobil.

Arjuna yang berdiri di belakang Laura, menepuk pundak sang Rekan dengan lembut.

"Aku takut kau tidak sanggup bertahan seminggu bersama kami di sini." Arjuna memberitahu. "Airlangga keras kepala, dia dan Alka tidak menyukai bekerja sama dengan seorang wanita. Kau tahu Laura, aku ... aku tidak bisa membantumu. Jika kau mau bertahan, kau harus mampu mengambil hati Airlangga."

"Hah! Dia pikir, dia itu siapa!" kesal Laura yang merasa di diskriminasi oleh gender.

"Sudahlah." Ardana balas menepuk pundak kiri Laura dari arah samping. "Ayo masuk ke mobil. Itu pun jika kau tidak ingin jalan kaki kembali ke kantor."

...

Di ruang investigasi divisi. Alka telah membuat materi penyelidikan di papan whiteboard lengkap dengan foto korban ukuran 4x6 dan foto saat korban di temukan pada TKP yang telah dicetak oleh Andara.

Kata tersangka, dilingkar dengan spidol merah besar-besar pada papan tulis dan sebuah garis lurus ditarik pada sebuah foto pria muda yang diduga menjadi tersangka utama bernama Chiko Milano.

Di bawah foto Chiko, terdapat foto Anggota Parlemen Perwakilan Rakyat bernama Felix Milano, sebagai ayah kandung dari tersangka utama.

"Kita tidak punya bukti kuat menuduh mereka seorang tersangka." Laura buka suara lebih dulu. Bahkan sebelum Airlangga membuka rapat.

Sang Kapten mencoba memejamkan mata sebentar sambil bersandar pada kursinya. Andara hanya tersenyum samar dan Arjuna menyibukkan diri berpura-pura membaca catatannya.

"Ponsel korban hilang." Alka angkat suara sebagai wakil ketua divisi.

"Tidak ditemukan adanya harta benda lain yang hilang. Tidak ada properti rumah yang rusak akibat pembobolan. Itu artinya ... korban tidak dibunuh oleh perampok. Jika dia dibunuh oleh perampok, kenapa hanya ponselnya yang diambil? Padahal ada kotak perhiasan dan setumpuk uang yang disimpan di dalam lemari. Jelas, di benda tersebut pasti ada sesuatu. Sesuatu yang sangat ingin tersangka musnahkan. Kemungkinan besar, pelaku bisa masuk ke dalam rumah karena korban memang mempersilakannya untuk masuk tanpa curiga sebab beliau mengenalnya. Hanya dalam sekali lihat, akan ada satu kesimpulan."

Alka menarik napas panjang, sebelum melanjutkan. "Tersangka ingin membukam korban beserta melenyapkan barang bukti tersebut. Besar kemungkinan, korban adalah saksi sebuah kejahatan dan di ponsel tersebut ada jejak digital yang bisa memperkuat kesimpulan ini."

Laura terdiam. Ini memang kasus pertama yang ia tangani. Tetapi, mengapa yang dipelajari di akademi berbeda saat di lapangan? Laura masih perlu banyak belajar.

"Tidak ada CCTV yang berada di dekat rumah korban. Ini sulit untuk memeriksa siapa saja yang keluar - masuk ke dalam rumah." Arjuna turut menambahkan.

"Kita tidak menemukan tanda-tanda perlawanan. Bekas tusukan, jika bunuh diri harusnya berada di perut bagian tengah. Bukan di bagian bawah perut dan ditusuk 2x." Alka menambah hipotesanya dengan sangat yakin.

"Ini aneh, bukan? Lagipula, korban adalah tipe ayah dan suami yang menyayangi keluarga. Keluarga mereka berada dalam kondisi ekonomi yang baik. Aku tidak menemukan ada alasan dia mau bunuh diri. Jika kau!" Alka mendadak menunjuk Laura. "Punya hipotesa lain, segera katakan!"

Laura diam. Ya, untuk sementara lebih baik dia diam daripada banyak protes kepada para seniornya. Empat lawan satu, jelas dia akan kalah saing.

Laura sedang berada di sarang buaya dan dia harus memahami dan beradaptasi bersama para buaya.

__/_/_/____/____
TBC

Sumpah! Riset ini itu berat banget. Pusing sekali susun semua daftar. Walau aku tidak yakin ini berhasil dengan baik.

Setidaknya, aku mampu mencobanya.  Silakan tinggalkan komentar untuk kritik, saran dan dukungan. Semangatin aku dong

(͡° ͜ʖ ͡°)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro