Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

04 | Kebimbangan

"Mbak gak nyangka dia bisa berbuat sejahat itu." Wanita berambut cokelat gelap itu tampak geram setelah mendengar seluruh cerita masalah yang Hanum hadapi. Tangan kanannya tak berhenti mengelus lengan Hanum yang sejak tadi menangis lirih. Sebagai seorang kakak, dia jelas tidak terima seseorang melukai perasaan adiknya. Apalagi Hanum yang dikenalnya adalah perempuan tegar dan jarang terlihat menangis.

Mereka berasal dari keluarga yang penuh dengan kasih sayang. Bahkan kedua orang tuanya tidak pernah bermain fisik atau menyakiti perasaan anak-anaknya sekalipun. Baik Wati dan Hanum tumbuh dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Wati jelas tidak terima jika sang adik disakiti oleh seseorang yang masih tergolong baru.

Hanum menghapus air matanya dengan tisu yang entah sudah berapa banyak dipakainya. Keadaan lantai sampai tak berbentuk lantaran tisu yang berserakan di bawah. Untungnya kali ini sang kakak tidak memarahinya karena sikap joroknya. Hanum yang bersedih adalah kelemahan bagi Wati. "Aku gak tahu lagi, Mbak. Apa salahku sampek Mas Igo sejahat itu. Aku sudah berusaha menjadi istri yang baik dan melayaninya dengan segenap hati. Namun apa yang aku dapat? Dia berselingkuh, Mbak. Parahnya lagi wanita itu sudah hamil. Mereka sedang berbahagia di atas kesedihanku." Hanum kembali terisak. Kali ini dia menyembunyikan wajahnya di kedua telapak tangannya. Bahunya sampai bergetar karena terlalu kuatnya dia menangis.

Wati semakin mendekap erat sang adik. Tangis wanita itu semakin membuat ulu hatinya nyeri. Dia tidak sanggup melihat Hanum yang serapuh ini. "Kamu tidak memiliki kekurangan apa pun. Igo saja yang selalu merasa kurang. Dia terlalu serakah dan tidak bersyukur telah memiliki kamu."

Hanum mendongak, menatap sang kakak dengan tatapan basahnya. Ingusnya tampak mengintip dari lubang hidung. Wanita itu bisa melampiaskan semua kesedihannya saat ini. Dia tidak perlu memakai topeng kuat dan tegarnya. Kali ini dia membiarkan kerapuhan menguasai perasaannya. Dia sudah lelah semalaman berpikir tanpa henti. Mencari-cari muasal semua musibah ini. Apa yang membuat sang suami tega mencari wanita lain sedangkan Hanum merasa selalu menjadikan Igo sebagai prioritas utamanya.

"Jangan terlalu dipikirkan." Wati segera menyadarkan Hanum yang tampak termenung. Dia menepuk lengan sang adik sebelum melepaskan rangkulannya. Kali ini tatapannya tampak tegas. Dia menyimpan rasa ibanya agar sang adik tak semakin bersedih. "Lalu apa rencanamu setelah ini?"

Ditanya seperti itu, Hanum menggeleng pelan. Dia masih bingung. Otaknya belum bisa berpikir jernih. "Aku nggak tahu, Mbak. Aku bingung."

"Kamu mau memaafkan Igo dan bertahan dengannya?"

Hanum menggeleng ragu. Dua pertanyaan yang hampir memiliki jawaban yang sama.

Wati menarik napas panjang, tampaknya kesabaran wanita itu mulai menipis. Rasa marahnya pada Igo, kini berubah kesal pada Hanum. "Kamu masih mencintai lelaki bajingan itu?"

Hanum semakin bingung. Dia menatap sang kakak dengan lugu. Wajahnya kuyuh seperti tidak mandi berbulan-bulan. Penampilannya pun tak serapi saat pertama kali datang. Baju depannya tampak basah oleh air mata. Siapapun yang melihat kondisi Hanum saat ini pasti langsung menaruh rasa prihatin. "Perasaan ini jelas gak bisa dirubah secepat membalik tangan, Mbak. Bagaimanapun kami sudah sangat lama bersama, perasaan itu seperti tanaman yang tumbuh dengan subur."

"Kamu masih memikirkan cinta setelah diselingkuhi begini? Bodoh!" maki Wati keras.

Hanum menunduk, memainkan kedua tangannya asal. Dia tidak berani menatap sang kakak yang tampak marah. "Aku memang bodoh," lirihnya menyetujui ucapan sang kakak.

Wati mendengus. Ini sifat yang tidak disukainya dari sang adik. Wanita itu terlalu baik. Padahal sudah jelas-jelas disakiti, tapi masih saja mau memaafkan. "Inget, Hanum. Selingkuh itu bisa jadi tabiat. Sekali dia selingkuh, kamu tidak bisa menjamin dia akan berhenti. Kamu juga harus inget, Igo dan selingkuhannya sebentar lagi akan memiliki anak. Apa kamu yakin Igo akan meninggalkan wanita itu demi kamu?"

Hanum menggigit bibir bawahnya. Dia sempat memikirkan hal tersebut dan hatinya mendadak takut. Selain dia tidak siap menjanda, bagaimana dengan perasaannya? Hanum merasa tak rela harus menderita sendirian.

"Pikirkan jika Bapak dan Ibu tahu. Mereka gak bakal diam saja jika anaknya disakiti. Sekarang kamu memang bisa menyembunyikan masalah ini, tapi lambat laun semua keburukan suamimu pasti akan tercium juga."

Hanum mendongak, menatap Ayu dengan tatapan bergetar. "Aku belum sanggup cerita sama ayah ibu, Mbak. Aku gak mau liat wajah kecewa mereka. Aku gak sanggup." Kepala wanita itu menggeleng, membayangkan bagaimana reaksi kedua orang tuanya bila mengetahui masalah yang sedang dihadapinya.

Wati melotot sekilas. "Terus sampai kapan mau kamu sembunyikan? Sampek wanitu itu melahirkan?"

Hanum menggigit bibir bawahnya semakin keras. Otak dan hatinya berusaha menyatu mencari jawaban terbaik dari masalah ini. Hatinya memang kecewa, perasaan marahnya sangat besar, tapi dia tidak bisa begitu saja lepas dari Igo. Ada perasaan orang tuanya yang harus Hanum pikirkan. Mengingat kedua orang tuanya sangat menyayangi Igo sebagai menantu terbaik. Dia juga tidak tahu harus memulai dari mana untuk menceritakan masalahnya.

"Mbak, kasih aku waktu buat berpikir. Aku gak bisa mutusin semuanya dalam waktu yang singkat," ucapnya dengan nada memohon.

Wati membuang muka. Dia mengeluarkan napas berat. "Mbak kasih kamu waktu seminggu. Selama itu kamu pikirkan dengan matang. Apa pun yang menjadi keputusanmu, kamu harus siap mempertanggungjawabkannya di depan ayah dan ibu."

Hanum memberikan anggukan cepat. Wajahnya menunjukkan kelegaan yang luar biasa, ada beban yang terangkat di bahunya. "Makasih, Mbak."

"Ingat, seminggu. Jika kamu gak ambil keputusan, maka jangan salahkan Mbak jika Mbak yang turun tangan dan ikut campur. Sebagai keluarga, kami gak terima orang itu nyakitin kamu."

"Iya, Mbak. Aku bakal pikir semuanya dengan mateng. Sekali lagi makasih ya Mbak sudah mau mendengarkan masalahku."

Wati berdehem singkat. Meski tampak cuek, wanita itu tetap membawa Hanum ke dalam pelukannya. Dia mengelus punggung sang adik dengan lembut. "Ke depannya, jangan dipendam sendiri. Ada Mbak. Kamu bisa berbagi sama Mbak."

"Iya."

***

Sepulang dari kantor, Igo masih menyempatkan untuk mampir ke rumah Ayu. Wanita itu menghubunginya karena mulai mengidam untuk pertama kalinya. Igo jelas dengan senang hati menuruti permintaan sang kekasih. Dia mengelilingi kota di tengah padatnya lalu lintas untuk mencari buah alpukat. Meski terbilang cukup sulit, apalagi belum musim buah tersebut, tapi Igo tak putus asa sampai benar-benar menemukan buah alpukat tersebut. Setelah mendapatkan buahnya, Igo segera menuju rumah sang kekasih.

"Sayang?" Ayu sudah menyambut di depan pintu. Tampaknya wanita hamil itu sudah tak sabar menunggu buah alpukat pesanannya. Wajahnya yang cantik tampak berseri lantaran bahagia. Dia segera menghampiri Igo dan memeluknya sesaat sebelum tatapannya jatuh pada kantong plastik di tangan sang kekasih.

Igo terkekeh pelan. Dia segera menyodorkan kantung plastik yang berisi alpukat itu pada Ayu yang diterima dengan ekspresi bahagia. "Kamu suka?"

Ayu mengangguk mantap. Dia segera mengambil alpukat tersebut dan membaui aromanya. Kedua kelopak matanya tertutup. Ayu seperti meresapi aroma buah hijau itu dengan seksama. Sampai beberapa saat, kedua kelopak matanya kembali terbuka. Dia memasang senyum manis yang cukup lebar sampai mampu menenggelamkan kedua matanya. "Makasih ya, Sayang."

"Sama-sama." Sebelah tangan Igo bergerak dan mengusap surai hitam sang kekasih. Dia merasa senang karena berhasil memenuhi ngidam sang kekasih.

"Masuk dulu, yuk. Kamu pasti capek, kan."

Igo tampak menimang tawaran tersebut. Sebenarnya dia ingin segera pulang, apalagi seharian ini dia sama sekali tak melihat Hanum yang katanya mau ke kantor. Dia penasaran ke mana istrinya sejak pagi. Namun menolak tawaran Ayu juga tidak sanggup diucapkan lidahnya.

"Aku udah masakin kesukaan kamu loh, Mas." Ayu kembali membujuk dengan tawarannya yang membuat Igo tak bisa menolak. Ayu semakin tersenyum saat melihat lelaki itu mengangguk pelan. Dengan semangat, dia segera menggandeng Igo masuk ke dalam rumahnya. Dia akan melayani lelaki itu sampai Igo melupakan Hanum.

Ayu sudah bertekad untuk memperjuangkan Igo. Bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk janin dalam perutnya. Dia tidak akan membiarkan anaknya lahir tanpa kehadiran ayah kandungnya. Kali ini dia akan bertindak egois demi kebahagiaan keluarga kecilnya.

***

Di rumahnya, Hanum tak lepas menatap pegerakan jam di dinding. Tatapannya sangat lekat, seakan tak membiarkan satu gerakan pun luput dari tatapannya. Entah sudah berapa jam dia berdiam di posisi ini. Malam ini dia sengaja duduk di ruang tamu untuk menunggu kedatangan sang suami. Namun sudah lima jam berlalu, kali ini jam sudah hampir menyentuh tengah malam, tapi sampai detik ini belum ada tanda-tanda kepulangan sang suami.

Wanita itu menarik napas panjang. Dia semakin merapatkan jaket tebalnya. Hawa dingin seakan menerobos masuk ke dalam pintu rumahnya yang terbuka lebar. Semakin lama, harapannya semakin pupus.

Bahunya merosot. Hanum merasa sangat bodoh saat mengharapkan sang suami pulang tepat waktu. Nyatanya Igo memiliki wanita lain di mana mungkin saat ini mereka tengah memadu kasih. Hanum lupa jika bukan hanya dirinya saja yang menghangatkan tubuh lelaki itu. Ada tubuh wanita lain yang ikut memeluk sang suami.

Hanum mendesah. Dia beranjak dari ruang tamu. Dia sudah memutuskan untuk tak akan menunggu lelaki itu. Meski Igo tak mengatakan dengan jelas pilihannya, tapi malam ini seakan menjadi jawaban bagi Hanum.

"Kamu memang memilihnya, Mas."



Bersambung.  

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro