Air-46-Ex
Air-46-Ex
Saat Gaby bertemu dan menjalani hubungan dengan seseorang yang mempunyai empat sifat tersebut, maka bisa Gaby simpulkan bahwa itu adalah kiamat percintaannya. Manja boleh, keseringan jangan. Kekanakan boleh, tapi ingat bahwa umur setiap tahun itu berkurang. Percuma mapan, rajin ibadah, namun mempunyai sifat empat kurang waras dan eta terangkanlah di atas. Untuk kasus Dave yang tiba-tiba meminta break, dia bingung setengah mati, dan lebih tak diduganya lagi adalah tempat di mana Dave menghabiskan waktu untuk menghindar dari rapat itu. Mendadak, Gaby merasa lelah, seperti habis berlari keliling Pluto saja.
Kadang Gaby berpikir bahwa dia sudah cukup gila untuk jatuh cinta dengan monster gitaran yang dulu amat senang menganggunya di kelas, di luar kelas, di mana pun mereka bertemu. Ya, Gaby sudah gila, tapi dia anggap Dave lebih gila lagi. Gaby belum berbuat apa-apa; sedari tadi dia masih berdiri di luar etalase---menyiksa matanya sendiri dengan pemandangan yang luar bisa menamparnya.
Dave selesai menyedot minumannya, dia mendongak, kemudian tertawa. "Muka lo cemberut terus? Kenapa? Bunga dari gue kurang gede? Kurang banyak? Atau lo perlu hadiah yang lain?"
Wanita yang tiba-tiba Dave telepon itu tidak terkekeh sama sekali, dia memasang wajah datar dan memanggu dagunya. "Hadiah paket liburan ke Maldives buat private honeymoon sama suami gue lagi... itu juga boleh."
"Rese," ucap Dave yang langsung menyandarkan punggungnya dan bersedekap dada.
"Kenapa? Permintaan gue terlalu gampang ya? Atau perlu gue sebutin permintaan gue yang lain?" Wanita bersuami itu sengaja membuat Dave tambah berwajah masam.
"Ke Maldives enggak ada. Adanya ke Depok, mau?" balas Dave yang tidak tahu harus lari ke mana, kecuali mencuri waktu yang mantannya ini miliki.
Brenda tertawa. "Ini udah dua jam lebih, Dave. Dan apa lo nggak kembung minum kopi mulu?"
Mereka ada di sebuah kafe, duduk berdua, dengan sebuket bunga di meja, yang Dave berikan kepada Brenda.
"Ini kan hari ulang tahun elo," kata Dave, dia manyun, "Jadi hargain dong usaha CEO ganteng ini yang udah meluangkan waktu buat elo."
Brenda tersenyum tipis. "Dulu elo emang yang paling ganteng di mata gue. Tapi karena sekarang karena gue udah punya suami dengan dua anak, so elo lewat aja ya."
Dave berdecih. "Brenda doyannya berondong."
"Daripada elo... sukanya sama wajan?" Brenda menyeringai---mengetahui dengan siapa Dave menjalin hubungan sekarang.
Wajah Dave langsung menjadi kaku, tanpa senyum ataupun cengengesan yang mengesalkan lagi.
"Ini aneh," kata Brenda, "Setiap ulang tahun gue, elo emang inget, dan paling juga cuma ucapin lewat pesan singkat. HBD, selamat hari menetas, selamat berkepala sekian, hadiahnya juga lewat tangan kedua. Ngaku aja," Brenda melirik sebuket bunga yang ada di samping tangannya, "Itu bunga sebenernya bukan buat gue, kan?"
Brenda tersenyum simpul. "Buketnya terlalu bagus buat dirangkai untuk seorang mantan."
Dave sekilas mengusap wajahnya kasar, karena Brenda bisa mengetahui segalanya dengan cepat. "Ya ... ya! Itu bunga emang gue pesenin buat Gaby kemaren sore. Tapi ... tapi semua itu udah nggak penting lagi, Brend."
"Why? Kalian marahan?" tebak Brenda yang dia yakini benar.
"No," jawab Dave usai membuang napas panjang dan sekarang dia asal membuang pandang. "Yes ... no? Ah! Nggak tau guelah!"
Dave menatap bunga itu. "Itu bunga gue minta rangkaian yang paling rapi, bunga mahal, dan ... argh!" Dia tampak frustrasi.
"Iya. Lo emang aneh. Kita duduk dua jam di sini, cuma diawali dengan tanya kabar, lalu lintas di jalan, makan siang, dan ngopi sampai kembung. Intinya...," Brenda agak menjeda ucapannya, "Lo cuma lagi butuh temen buat bicara, atau opsi keduanya adalah lo bego."
"Kok gue bego sih?!" Dave tak terima.
"Iyalah. Lo ada masalah sama pacar lo, bukannya diomongin, malah lari ke mantan yang udah jelas-jelas punya suami dan harus jemput anaknya sekolah. Itu apa namanya kalo bukan bego?"
"Eh? Rio belum lo jemput?" Dave sedikit merasa bersalah.
"Telat. Udah dijemput sama baby sitternya. Ya kali gue tinggalin lo di sini sendirian, biarpun lo cuma duduk kayak orang gagu," sahut Brenda---seorang mantan pacar yang ternyata sudah berpindah level jadi sahabat. Well, sebuah mitos yang telah menjadi kenyataan.
"Mau gimana lagi... orang Gaby selingkuh," kata Dave, dan Brenda terperangah.
"Hush! Itu mulut! Lo nggak bisa ambil kesimpulan gitu aja, Dave," tukas Brenda, dia tahu Gaby itu orang yang seperti apa.
"Itu kenyataan! Gue lihat pake mata kepala gue sendiri!" Dave merasa bahwa apa yang dipikirkannya adalah benar.
"Coba lo ada di posisi gue ... gue udah sayang banget sama dia, dan tau-tau dia lebih milih berada sama mantannya ketimbang sama pacarnya? Bullshit banget kata-kata 'I love you' yang pernah dia ucapin ke gue." Pada akhirnya Dave berhasil mengungkapkan apa yang dia endap di otak dan hatinya selama dua jam di depan Brenda.
Dave memandang Brenda yang sedang mencerna curahan hatinya. "Gue nggak tau bisa cerita ini sama siapa lagi, kecuali sama elo. Kalo sama Bian, dia udah pasti bela Gaby, dan kalo sama Edward," Dave tertawa garing, "Dia nggak bakal mungkin percaya kalo gue punya pacar mungkin."
"Tau nggak, Dave?" tanggap Brenda dengan ekspresi gemasnya; ingin menggetok kepala Dave.
"Lo lagi ngapain sekarang?" tambahnya.
"Apaan lagi pertanyaan itu? Lagi duduklah, masa terbang," jawabnya.
"Lo lagi ketemu sama mantan elo, dan bukannya dengerin penjelasan Gaby. Semua orang yang ada di dunia ini punya alasan atas perbuatannya, yang perlu lo lakukan adalah luangin waktu dan dengarkan penjelasannya."
"Tapi gue sakit hati, Brend! Sakit hati!" Dave masih membela diri, lalu dia menghabiskan kopi yang tersisa di gelasnya.
"Ya, gue tau perasaan lo, gue paham," ucap Brenda sambil mengangguk, "Gue-"
"Enggak, lo nggak paham," sergah Dave, dia bersiap-siap untuk pergi dari sini; merasa kalau berbicara dengan Brenda sudah tidak mungkin menenangkan hatinya. Baiklah, siapa tahu main Pokemon Go malah bisa membuat pikiran kusutnya kembali rapi seperti kemeja yang baru disetrika.
Namun sebelum Dave pergi dan mengeluarkan uang untuk membayar bill mereka, Brenda duluan membuka mulut. "Lo cuma takut dikhianatin lagi. Ya gue tau, karena semua ini juga salah gue. Lo trauma sama pengkhianat, itu karena gue."
Dave mendengarkan, dan di dalam hati, sayangnya dia membenarkan dan mengakuinya. Kemudian di luar sana, Gaby yang tidak bisa mengetahui pembicaraan mereka berdua, memilih tidak lagi menghujani Dave dengan panggilan telepon atau memintanya untuk mendengarkan penjelasannya terlebih dahulu. Entahlah, mendadak Gaby merasa kalau Hay Day-nya lebih berguna untuk diurus ketimbang pacarnya itu.
"Lo ... lo kan nggak selingkuh ... itu cuma kejadian yang nggak terduga," kata Dave, dia bingung, kenapa bisa pembicaraannya malah berujung mengungkit kesalahan Brenda di masa lalu. Cinta satu malam wanita itu, membuat hubungan mereka kandas, dan membuat Dave pernah mengalami mendekati depresi akut.
Brenda rasanya ingin menangis, tapi dia berusaha memaafkan dirinya sendiri agar mereka masih bisa berteman dan tidak jadi musuhan lalu main anjing-anjingan.
Brenda berdiri, mengambil sebuket bunga yang tidak mungkin dia terima ke dalam genggaman tangan Dave. "Maaf. Gue tadi lancang jawab telepon dari Gaby dan bilang kalo kita ada di sini. Sekarang, lebih baik lo samperin dia, dengerin penjelasan dia, atau lo bakal mati di tangan gue."
Brenda hanya bergurau soal ancaman ingin membunuh Dave menggunakan tangannya sendiri. "Inget, lo udah mendekati bangkotan. Udah tua. Mumpung ada yang mau sama elo, elo pertahanin. Maaf, gue pergi dulu. Maaf." Dia meninggalkan Dave dengan tanpa mau memandang matanya.
Brenda sadar, sebanyak apa pun kata maaf yang bisa dia ucapkan, sepertinya tidak akan mampu membuat Dave menghilangkan traumanya, karena toh---tidak akan ada kenangan yang mampu dilupakan, apalagi kenangan terburuk. Dia adalah mantan terindah, tapi dia juga adalah kenangan paling pernah Dave punya.
Gaby berpikir, seorang pria yang kekanakan lebih baik kembali ke TK, jika dia tidak mau membuang sikap egoisnya. Menjadi egois, itu adalah sifat kelima dari seorang pria yang Gaby benci. Egois itu tidak lucu, egois itu memuakkan.
~•••~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro