Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Air-34-Pesan Tersirat

Happy reading😳

Air-34-Pesan Tersirat

Hilang selera itulah yang Dave rasakan sekarang, padahal makanan yang ada di atas meja tadi, kebanyakan adalah kesukaannya. Buncahan niat untuk menyeret Kalvian menuju kerumuhan para perawan tua atau paling nggak janda yang udah jarang banget dikunjungin kamarnya; sudah semakin memenuhi hati Dave dengan segala pikiran negatif lainnya, yang berguna untuk memberikan Kalvian sedikit pelajaran. Itu mulut nista, semakin tua, malah semakin jadi!

Sialnya, Kalvian menyindirnya di depan Gabriella Sydney, dan biarpun itu juga bahan ledekan yang sama, yang dulu pernah menjadi senjata terampuh Gaby untuk memulai pertengkaran dengannya....

Tetap saja, semuanya telah berbeda, hubungan mereka sudah atas nama rasa suka dan cinta, spesial macam masakan pembantu Ambar untuknya malam ini. Sejujurnya, ada rasa malu, saat seseorang mengingatkan Dave mengenai saat-saat keterpurukannya yang dahulu, dan Dave paling membenci hal itu.

Gaby mengikuti Dave dari belakang, dan wanita ini tidak tahu harus apa. Menyodorkan bahunya sebagai sandaran saat pria itu tampak kalut, ataukah biasa saja? Atau membuat bahan bercandaan lainnya....

Atau menyerah juga?

Menyerah karena; ada dua makna yang tersirat di dalam perkataan Kalvian tersebut. Setua ini, seorang Dave, belum bisa melupakan satu orang yang pada kenyataannya sudah tidak akan bisa dia miliki lagi.

"Dave," panggil Gaby, saat dia sudah mengumpulkan keberaniannya, sekaligus saat lidahnya tidak terasa kelu lagi.

Kenapa ya? Ada rasa sakit yang tiba-tiba datang, lalu seakan menampar pipi kanan dan kiri Gaby, supaya sadar, bahwa Dave belum tentu akan menyerahkan perasaannya kepada dia--seutuhnya. Rasanya pun, seperti sulit untuk bernapas.

"Jangan diambil hati," ujar Gaby, tegar. "Kakak kamu cuma bercanda kok."

Dave sudah duduk di sofa panjang, membanting tubuhnya dengan tenaga yang tersisa. "Bukan kakak aku itu. Dibilang orang gila lepas."

Dave jelas, tampak malas sekali untuk mengulik omongan Kalvian lagi, dan tidak setuju bahwa kalimat sialan yang terlontar dari pria itu bisa dijadikan bahan bercandaan. Daripada memikirkan kakak tak berperikeadikkan itu, lebih baik Dave nonton televisi aja. Syukur-syukur ada artis bohai yang bisa dijadikan cuci mata sekarang. Nggak, Dave nggak sepet lihat Gaby, cuma dia lagi terlalu terbayang-bayang dengan muka kurang ajarnya Kalvian saat dia mengejeknya di meja makan.

Gaby masih berusaha, menjadi pacar yang pengertian. "Makannya jadi disuapin nggak nih?"

Dia mendatanginya, sambil mengaduk-aduk nasi yang ada di piring, lalu mencicipi makanan itu. "Hm... masakan adik kamu enak juga, Dave."

Gaby sedang mengalihkan topik, dan gara-gara itu Dave bisa tersenyum menyudut meski matanya tetap stay di layar kaca. "Itu bukan masakannya Ambar. Ya kali, makanan dia sebagus itu. Dia nih ya...."

Dave menengok ke samping, saat Gaby duduk di sebelahnya dengan muka heran dan siap untuk mendengarkan penuturan Dave selanjutnya.

"Dia itu masaknya.... kalo nggak kurang mateng, ya gosong. Kalo nggak gosong, ya kurang mateng. Kalo nggak asin, ya nggak ada rasanya," tutur Dave, dan dia baru bisa tertawa kembali. "Coba kamu cicipin masakan dia yang asli. Bisa pulang dari sini, kamu masuk UGD."

"Gitu amat? Parah adik kamu...." Gaby berdecak, sembari mengamati bagaimana cara Dave tertawa, dan seiring waktu, dia tertular juga.

Kemudian, tiba saatnya bagi kedua pasang mata mereka untuk bersitatap, setelah sekian lama, tidak pernah duduk sedekat ini, dan saling memandangi dengan sedalam ini.

Gaby suka Dave yang tertawa bebas, bukan Dave yang tertawa untuk menutupi luka. Tapi ada rasa goyah, kekalutan yang mulai tumbuh, seiring dengan prasangka buruk yang seperti omongan Kalvian tadi. Akankah dirinya itu hanya sebagai pelabuhan palsu?

Gaby memikirkannya sambil makan saja, karena lewat mengunyah, dia bisa mengesampingkan perasaan ingin mewek dan guling-guling di lantai macam seorang fans yang nggak rela oppa-nya mau menikah dengan fans lain.

"Gab," kata Dave, "Boleh minta sesuatu nggak?"

Terdiam, Gaby juga mengedipkan matanya pelan. "sesuatu?"

Belum sampai mengiyakan apa yang Dave minta, Dave sudah merebut piring makanan Gaby dan memindahkannya ke meja. "Dasar perut karet. Dari tadi makan aja nggak selese-selese."

Mulut Gaby lagi penuh, kalo tidak, dia udah pasti menyemburkan ketidaksukaannya dengan ledekan Dave yang sudah lama tidak bergaung itu. Tanpa aba-aba, Dave meletakkan kepalanya yang terasa pening ke pangkuan Gaby, dan pacarnya sempat terkejut.

"Dave," kata Gaby, ingin menyingkirkan Dave dari sana.

Ya ampun, ini di rumah orang elah.... Masa mau mesra-mesraan di sini, berasa nggak modal banget.

Tapi Dave tidak akan mengindahkan protes dari Gaby, dia tiduran, bersedekap dada, dan dia menatap wajah Gaby yang masih tidak terima dengan tingkah tiba-tibanya ini, jadi dia berkata, "Kamu pilih ikhlasin pangku pacar? Atau pacarnya lempar piring ke kakaknya?"

Gaby mencubit hidung Dave. "Baru ngaku kakak, dari tadi aja ngomongin dia orang gila yang lepas."

Dave menangkap tangan Gaby, tersenyum simpul. Lebih baik memang, jika Kalvian adalah orang gila yang lepas, daripada kakaknya sendiri, karena bisa saja dia tidak akan merasa tersindir sehebat ini. Kalau orang gila lepas kan bisa dimaklumi, jiwanya nggak sehat. Sementara Kalvian, dia sehat walafiat, cuma mulutnya aja tuh, nistanya amit-amit. Coba tadi di meja makan ada jepretan tikus, udah pasti bibir Kalvian dijepret pakai itu sama Dave.

"Pijitin kepalaku dong," ucapnya, mengarahkan tangan Gaby ke pelipisnya, "Migrain."

Gaby pun memilih untuk menuruti Dave, dia memijatnya. " Kalo pusing, mending minum obat. Atau makan? Ini pasti efek sering telat makan!"

Dave menikmati pijatan Gaby, sampai-sampai dia memejamkan kedua matanya. "Bukan. Ini efek telat berduaan sama kamu."

Gaby tidak menjawab apa-apa, dia hanya bercih dan tangannya tak lagi memijat Dave, tapi sudah mengusap-usap kepala pria itu. Pria yang dia akui sebagai miliknya, pria yang kesibukannya mampu membuat Gaby rindu.

"Angkel Dap!" seru, dari seorang anak kecil perempuan yang rambutnya bergelombang, lari memasuki ruang tamu dan membuat Gaby menengok ke belakang. "Kangeeeen....!"

"Siapa?" tanya Gaby, yang sekarang sudah melihat bagaimana rupa anak itu, dia memakai piyama Teddy Bear, dengan sandal rumahan berkepala monyet.

Dave tertawa, dia hafal senyaring apa suara keponakan perempuannya. "Itu Abby, anaknya Ambar sama Bara."

"Udah punya satu?" Gaby berbalik, dan Dave sudah kembali terduduk dengan benar sambil membuka tangannya lebar untuk menangkap Abby yang semakin mendekat ke arahnya.

Dave menggeleng. "Kembar. Kayak aku sama Bian, dan nanti, aku harap kita juga punya."

"Jangan ngawur," kata Gaby yang kembali mengambil piring makannya.

"Nggak ngawurlah," sahut Dave yang kini sudah ada Abby di pangkuannya. "Suatu hari nanti. Kita pasti punya."

Lalu saat Dave menggulirkan senyumnya, mencubit pipi chubby keponakannya yang lebih mirip Bara ketimbang Ambar, Gaby tersadar; banyak hal yang belum terselesaikan di dalam hidup mereka berdua, masing-masing.

~°°~

Damai. Tentram, sentosa, sejahtera, bahagia.... Warbiyasah! Merdeka!

Entah kata apalagi yang patut menggambarkan perasaan serta keadaan Edward sekarang. Dia senang sekali, bisa masak sambil bersiul-siul di apartemennya. Dia pakai celemek, dan dia kelihatan seperti papah muda, tapi mamah mudanya masih dalam rangka pencarian. Bekerja dengan Dave, membuat Edward lebih sering menghabiskan waktu di kantor atau luar kota, selain karena memang sudah menjadi tanggung jawabnya, itu juga karena Dave terlalu slengean sebagai bosnya.

Namun....

Edward berhenti bersenandung, dia melirik ponsel yang tergeletak di meja bar. Kok ponselnya sepi?

Apakah Dave sudah menyerah padanya? Apakah Dave sudah resmi tidak akan memintanya datang kembali ke kantor, alias Edward dipecat!

Edward tertawa sinis. "Nggak mungkin gue dipecat. Gue kan tangan kanan terbaiknya," katanya dengan rasa percaya diri yang menggebu-gebu, namun sialan, semakin dia mensugesti bahwa acara ngambeknya bisa diperpanjang lagi....

Edward kesepian?

Dia letakkan sup ayamnya yang baru dia sajikan ke dalam mangkuk berukuran sedang, dia mendatangi ponselnya sembari menghitung di dalam hati. Dalam hitungan ketiga, dia berharap Dave akan memohon kepadanya untuk kembali lagi. Tapi ini sudah angka ketiga yang ke sekian, ponselnya diam saja, padahal nggak di silent mode.

"Gue ... dia nggak nyari sekretaris pengganti, kan?" tanya Edward yang sudah memegang ponsel layar sentuhnya.

Tak berapa lama, layarnya menyala, dan dengan riang gembira; mengira bahwa itu pasti Dave yang merengek kepadanya untuk cepat-cepat kembali ke kantor.

Hanya saja, dahi Edward mengerut bingung.

From : 0856969+++++

Sori, apa bener ini nomornya Mas Edi ya? Halo Mas, salam kenal. Hehe.....

Ini aku Sartini, cecans yang Mas godain di Tinder😳

"Hah?" Kerutan di dahi Edward, makin menjadi-jadi

~•••~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro