Air-10-CEO Masa Gitu
Saran buat visual Gaby dan Dave masih kutunggu.
Happy reading dan jangan lupa Voment😚😚😚
Air-10-CEO Masa Gitu
Ada dua hal yang paling tidak Gaby akan lakukan di dunia ini, yaitu menghubungi mantan pacar, dan mantan gebetan terlebih dahulu, di luar urusan pekerjaan. Sebisa mungkin Gaby pun tak akan mencampuradukkan pekerjaan dengan cinta, karena bawaannya bikin konsentrasi wanita itu buyar. Cinta memang begitu, bikin mulut bicara A tapi otak berpikiran tentang B hingga Z. Saat ini, nomor Bian terpampang di layar ponselnya, dan Gaby tersenyum tipis sambil meraba layarnya menggunakan jempol tangan kanan, membuat otak Gaby dipenuhi oleh abjad B untuk baper.
Nomor Orang Ganteng
Itulah nama kontak Bian yang tertera di sana.
"Pede," gumam Gaby, sambil nyesek.
Pria itu akan menikah, me-ni-kah! MENIKAH!
Perasaan Bian sudah sold out untuk wanita lain, yang tak akan bisa diproduksi untuk Gaby seorang.
"Lihatin siapa ya?" bisik seseorang, mengaggetkannya, hingga membuat Gaby terlonjak.
"Sialan," Gaby memegangi dadanya yang lagi ngerasain baper sebelah hati lagi, "Kak Lukas ngagetin aja!"
Lukas tertawa. "Habisnya kamu fokus banget."
Kakaknya Gaby, yang sekaligus bertindak sebagai empunya restoran, masuk ke ruangan kerja Gaby tidak sambil mengendap-endap, hanya saja Gaby sedang sibuk melamunkan Bian dan rasa yang seharusnya sudah lama menghilang; hingga tidak menyadari kedatangannya. Pokoknya hari ini, Gaby lagi galau abis!
Gaby menurunkan ponselnya. "Gak penting kok."
Lukas mengenal tabiat adiknya. "Halah, bohong. Kalo enggak penting, enggak bakalan kamu pandangin lama-lama."
"Emang enggak penting!" Gaby sok membuka-buka map, "Udah enggak penting!"
"Oh," Lukas duduk di meja kerja Gaby seraya memainkan tempat pulpennya, "Udah enggak ya? Berarti dulu pernah penting?"
Gaby menengadahkan kepalanya menatap eternit. "Sumpah ya! Bisa aja sehari Kak Lukas enggak rese?"
Lukas mendengarkan sambil tertawa.
"Kemaren bawa Mamih ke rumah enggak pake ngomong dulu, kedua ngilang seenak jidat buat liburan ke Pukat di saat adiknya sibuk ngurus restoran. Owner macam apa kamu ini?!"
Lukas tersenyum tengil. "Owner yang tampan, sudah memiliki istri, dan sudah bisa memberikan cucu kepada ibunya, enggak kayak adiknya."
Gaby melempar tatapan kesal. "Ya Tuhan! Kok Engkau tega banget, ngirimin kakak begini, yang sukanya ngejekkin adiknya?"
"Bukan ejekan. Itu fakta, Gab. Terima aja," kata Lukas, yang semakin membuat Gaby geregetan untuk benar-benar membangkrutkan restoran kakaknya.
"Gantian deh aku yang libur Kak, sumpek lihatin Kakak mulu," ucap Gaby yang mulai menandatangani lembar-lembar di dalam map hijau itu.
"Jangan ih," Lukas cemberut, "Restoran kita baru aja pulih, dan Manager macam apa kamu? Enggak bertanggungjawab banget!"
"Kakak sendiri yang salah milih penanggung jawab keuangannya." Gaby menjulurkan lidahnya.
"Ginu aja deh," tutur Lukas, "Gimana kalo kamu temenin kakak ke pesta temen kakak. Dia baru aja buka restoran Seafood gitu. Grand opening dan kakak ipar kamu enggak bisa nemenin karena dia lagi ada di Malang sekarang."
"Males," jawab Gaby kilat.
"Kenapa? Trauma pacaran sama Chef?"
Gaby menutup mapnya kasar. "Kak, aku beneran enggak habis pikir sama Nael. Dia itu ngirim aku pesan di mana-mana ... agresif banget."
"Ya namanya masih cinta, mau diapain lagi?"
"Tapi enggak gitu juga kali caranya. Berteman boleh, tapi buat jadi pacar?" Gaby menggeleng, "It's a big no."
"Tapu kamu mau kan nemenin kakak? Ya? Ya?" Lukas terdengar memaksa, "Plis, adikku yang cantik tapi jomblo."
"Anjir," Gaby tak suka dengan kata terakhir itu, "Nanti kalo mood aku temenin."
Lukas bersorak.
"Tapi kalo mood!" tegas Gaby.
"Ya udah, ginilah. Kalo kamu mau nemenin kakak. Nanti kamu dapat libur selama seminggu. Gimana?" tawar Lukas yang tidak mau kehilangan muka di depan temannya itu.
"Dua minggu? Atau enggak mau nemenin," tawar Gaby balik.
"Oke!" Lukas setuju.
~°°~
Dave sedang berkutat dengan pekerjaannya juga, dia ada di kantornya, masih pukul sebelas, dan masih ada tiga jam lagi sebelum jam makan siang berlangsung. Enggak, Dave enggak mau makan siang di luar. Sumpah ya, dia trauma. Dia takut nanti kalau tahu-tahu ketemu Gaby di restoran yang dia datangi, tahu-tahu dia dicium lagi gimana?
Atau dia harus bersikap bagaimana?
Say hi?
Enggak. Najis ah nyapa Gaby duluan. Pokoknya Dave dendam sama wanita itu.
"Anu ... Pak ... kok tanda tangannya begitu?" Interupsi itu berasal dari sekretaris Dave yang berjenis kelamin lelaki.
Dave mengehentikan goresan tintanya. "Astaga!" Dia buru-buru menutupi lembar kertas itu.
"Kamu ... kamu lihat tadi?"
Sekretarisnya mengangguk. "Bapak nulis nama Gaby," katanya polos.
"Dengar! Gaby bukan siapa-siapa saya! Ingat!" Dave udah kayak paranoid, dia bahkan segera meremas kertas itu.
Kurang deh. Dia membuka lembar itu, dan memasukkan lembar kertas itu ke mesin penghancur.
"Pak ... eh ... itu ... aduh!"
"Diam Ed. Jangan ganggu saya." Dave tersenyum bak om-om antagonis di sinetron-sinetron saat berhasil membuat lembar kertas yang bertuliskan nama Gaby itu menjadi hancur.
"Tapi ... tapi itu kontrak senilai lima milyar Pak!" Edward telat memberitahunya, dan Dave berteriak; APA secara dramatisir juga.
Pria itu tampak terkejut, dan mengumpat, tapi dia tidak mau terlihat menyesal sekali. "Buat baru. Apa susahnya."
Tangan Edward kembali teracung. "Su ... susahlah, Pak. Itu saya dapatkan kontraknya ... sampai ngejar Presdirnya ke Cina."
"Ya sudah. Tinggal ke Cina lagi," kata Dave, berpikir bahwa semuanya akan menjadi mudah.
"Ke Cinanya sih gampang, Pak. Tapi masalahnya ... Presdirnya lagi masuk ICU gara-gara stroke." Kadang kala Edward ingin menangis darah, karena dia memilik bos seperti Dave.
Dave mulai menandatangi dokumen lainnya, dan bersikap tidak ambil pusing tentang apa pun juga. Padahal di dalam hati, dia sangat menyesal telah membuat proyeknya jadi mundur gara-gara surat kontraknya dia hancurkan sendiri. Bego kok dipelihara sih, Dave? Ya ampun.
"Belikan saya kopi Americano aja sana," suruh Dave yang memang bertujuan mengalihkan topik.
"Tapi ... masalah kontrak?" Edward yang pusing soal ini.
Dave menghentikan gerakan tangan kirinya; dia kidal. "Ya ... tiru ... tanda tangan Presdirnya aja...," ucapnya mencicit.
"Pak David!" Edward berani membentak bosnya, jika dia anggap kalau sikap non-waras Dave sedang mulai lagi.
"Salahin aja orang yang namanya Gaby itu!" Dave menunjuk ke pintu keluar, "Gara-gara dia saya jadi enggak konsentrasi! Salahin yang punya nama! Musnahin sekalian kalo perlu!"
"Gaby siapa sih, Pak?" Edward tak mengerti, kenapa Dave malah menyalahkan orang lain, dan nama itu bahkan belum pernah dia dengar.
"Nih ya...." Dave merobek lembar kertas yang ada di map lain secara spontan, dan kelakuannya membuat Edward merasa miris terhadap dirinya sendiri. Punya Bos kayak Dave, bener-bener bikin dia cepat tua!
Dave membuat pola lingkaran besar di sana, terus di sisi kanan dan kirinya dia gambar setengah tingkaran kecil. Lalu, dia beri mata, dan hidung berbentuk angka tiga, lalu alis parang yang dibuat begitu tebal. Saat dia menggambar, dia tampak begitu menghayati.
Dave terlihat mencari-cari sesuatu. "Harusnya ada minyak nih buat diolesin. Biar tambah mirip."
"Pak," panggil Edward, tapi bosnya tak menggubris.
Setelah mahakaryanya selesai, dia menunjukkannya kepada Edward. "Kayak gini orangnya! Muka wajan!"
Dave melihat hasil gambarnya lagi. "Gambarnya sengaja jelek, kayak orangnya."
Dia begitu senang saat berhasil menjelek-jelekkan Gabriella lewat gambarnya yang dibuat dengan begitu asal-asalan serta dendam itu. "Oh iya, enggak ada mulutnya. Karena ... saya benci sama mulutnya yang nyosor tanpa izin dulu!"
"Pak," ujar Edward lagi, yang sudah mulai mengendurkan dasinya.
"Hm?" Dave masih tersenyum semringah, "Apa?"
"Saya tidak peduli Gaby itu siapa. Yang saya mau bilang adalah ... itu Bapak gambar pakai kertas yang Presdirnya baru meninggal kemaren sore!"
Dave menyengir kuda, dan menutup wajahnya menggunakan kertas bergambar aneh itu. "Maaf ... Edward." Dia tertawa bodoh.
"Tiada maaf bagimu, Pak," kata Edward yang lebih baik untuk meninggalkan ruangan Dave saja, ketimbang dia semakin darah tinggi. Takutnya, dia ikut menyusul Presdir yang baru wafat kemarin, kan amit-amit jabang bayi.
"Edward! Maafkan saya...!" seru Dave dari dalam ruangannya, tapi Edward menutup pintunya dengan sejuta pikiran yang sama, "Saya berjanji akan waras lagi...!"
Edward ingin mengundurkan diri, tetapi jawabannya pun sama saja, dia tidak bisa. Tidak ada sekretaris yang sesabar dia, kalau yang seksi banyak.
~•••~
Bang Dapit.... I lup yu...😚😚😚
Bang.... Aku enggak mau sabar jadi sekretaris kamu, aku maunya sabar jadi istri kamu😳😳😳
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro