Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

- 0.1 -



"Even when i know, i can get nothing back, Va."

—oo0oo—

Pikiran Andra kembali memutar tentang kejadian satu tahun yang lalu ketika ia tak sengaja melihat sepasang kekasih sedang beradu mulut—cekcok di tempat yang sama. Dulu kekasihnya, Kaka memutuskan untuk menyudahi hubungan mereka karena hal yang sangat tidak rasional.

"Ara," ucap lelaki yang masih menggunakan seragam sekolah lengkap yang baru saja memintanya untuk bertemu di kafe dekat sekolahnya.

"Kenapa Ka? Tumben, kamu minta ketemuan disini, biasanya juga datang ke rumah," balas Andra yang dilanda kebingungan. Tak biasa, kekasihnya itu seperti ini. Kaka akan datang ke rumahnya secara langsung tanpa berjanjian. Bahkan orangtua Andra telah mengenal Kaka. Lelaki yang memiliki hubungan lebih dengan anaknya, melebihi hubungan Andra dengan Evan.

"Mmmm.. aku mau minta maaf," kerutan di dahi Andra muncul mendengar ucapan seseorang dihadapannya. Jantungnya memompa lebih kencang dibandingkan biasanya. Firasatnya juga tak seenak biasanya.

"Ma—maksud kamu? Minta maaf buat apa?" tanya Andra yang sudah mulai berkaca-kaca. Hatinya nyeri. Seakan tau apa yang akan terjadi setelah ia mengucapkan kalimat tersebut.

"Aku mau minta putus dari kamu." Dada Andra seperti terkena hantaman keras beton. Ia paham. Seminggu belakangan ini, Kaka bersikap mencurigakan. Mulai dari ia tak pernah lagi mengangkat panggilan dari Andra, balasan pesan pun tak secepat hari-hari sebelumnya. Tapi satu hal yang tetap membuatnya yakin kepada Kaka adalah usia hubungannya yang sudah memasuki sebelas bulan. Kepercayaan yang telah Andra bangun untuk Kaka selama sekian lamanya itu tidak berbuah sama sekali?

"Tapi? Kenapa kamu minta put–tus?" Bahkan untuk mengatakannya secara tegas pun Andra tak sanggup. Memang Andra terkenal dengan ketegasannya sebagai anggota OSIS SMA Eutopia, tapi kali ini, untuk berbicara saja rasanya tak sanggup.

"Mama aku mau kita putus gara-gara ketidaksempurnaanmu denganku," jelas Kaka.

"Maksudnya apa?" Bukannya Andra bodoh tidak mengerti apa maksud dari perkataan Kaka, jelas-jelas tercatat dua periode berturut-urut bahwa pemegang peringkat satu paralel adalah Calandra Maharanee, namun ia ingin tau lebih lengkapnya. Pasti ada alasan yang sebenarnya.

"Kamu menyanggupi sholat Ra, aku ibadah Minggu. Kamu menikmati lebaran, sedangkan aku bahagia dengan natal. Jelas-jelas orang tuaku kecewa sama aku." Tidak ada kesan bersalah didalam ucapan Kaka. Bahkan, ia sangat percaya diri, bisa Andra simpulkan begitu mengapa? Nada bicara Kaka jelas-jelas meninggi.

"Tante Marie kecewa, atau kamu yang nyadar gara-gara aku mergokin kamu gandengan sama Fika dan bilang sayang itu?"

"Ha—ah? Ngga kayak gitu ya!" Sergah Kaka dengan nada gelagapan. Sekarang Andra paham, apa yang ia lihat seminggu yang lalu ketika Kaka jalan bergandengan dengan Fika, sahabatnya sendiri menjadi penyebab retaknya hubungan yang telah mereka jalin selama sekian lamanya itu.

"Kalau kita satu keyakinan apa kamu juga akan mengatakannya?! Minta putus dari aku?" ujar Andra keras. Sedaritadi ia mati-matian menahan tangis agar tidak pecah. Dan hasilnya nihil. Air matanya turun dengan deras.

"Tapi lihat kenyataannya, Ra!  We're different!" Kaka tidak paham bahwa ucapannya itu menohok hati gadis itu.

"Kalau itu alasan kamu, kenapa tante Marie barusan aja ngajakin aku bikin kue dirumah kamu nanti malam dan ajak mamaku segala?!" ucap gadis yang sekarang sudah tak memperdulikan bahwa tangisnya pecah. Menyedihkan memang tapi Andra merasa menang setelah berhasil membungkam mantannya itu, "makasih ya, mantan."

Mereka tidak sadar bahwa sedaritadi, lelaki berseragam yang sama dengan mereka mendengarkan semuanya. Tak hanya itu saja, tangannya ikut mengepal melihat Andra menangis. Ingin rasanya, ia menghampiri dan meninju wajah Kaka, namun ia tersadar bahwa itu bukanlah tindakan yang tepat terlebih di kafe milik ibunya. Sebagai pelampiasan, lelaki itu hanya bisa meninju tembok disebelahnya, "sialan. Sakit juga ternyata." 

Ia melihat Andra berlari keluar. Ia tau, obat dari kesedihan Andra sekarang adalah pelukan dan eskrim yang manis. Segera, ia berlari mengejar dan memeluk gadis yang tingginya hanya sebatas dagu ketika berhadapan.

"Evan... gue—gu" ucapan Andra terhenti ketika Evan memotongnya, "sstttt... udah ngga usah dipikirin, Ca. Gue paham kok."

"Kaka, Van. Kaka jahat banget, gue benci!!" Andra memukul dada Evan berkali-kali. Melampiaskan semuanya kepada sahabat kecilnya itu. Menganggap bahwa Evan adalah Kaka. Mantannya yang tidak tau diri itu.

"Keluarin semua emosi lu, Ca. Anggap aja gue itu Kaka. Lu boleh do everything." Bukannya diam, tangis Andra semakin kencang. Karena tahu bahwa cara yang pertama belum cukup ampuh, akhirnya Evan memutuskan untuk membisikkan kata-kata yang menurutnya akan ampuh.

Benar saja, senyum manis Andra perlahan muncul setelahnya. Tak kala hati Evan menghangat melihat tangis memilukan itu hilang digantikan cerahnya senyuman. "Makasih ya, Nono. Hehehehe," ucap Andra dengan panggilan andalannya, Nono. Sedangkan lelaki yang masih membekap tubuh mungil Andra hanya mendengus, "lepasin pelukan gue kalau gitu!"

"Ah ngga mau, jangan marah," bujuk Andra pelan.Bukannya melonggar, pelukan Evan semakin erat. Membuat yang berada didalam dekapan itu tersenyum sendirinya. Tak berlangsung lama ketika tiba-tiba saja, Andra melepaskan pelukannya secara paksa. "Kenapa?" Tanya Evan keheranan.

"Eskrim Cara mana?" Tagih Andra dengan mata yang menyipit karena senyuman yang lebar menghiasi wajahnya.

"I love you too, Ca." Andra yang mendengarnya hanya tertawa puas. Ia berhasil membuat Evan membelikan eskrim  untuknya lagi,
"Bukan bisa, tapi sudah bangkrut. Salah lu sendiri mau-maunya beliin," telak Andra. Lagi-lagi, yang dihina hanya bisa pasrah.

—oo0oo—

"Ra?!" Lamunan Andra menghilang bersamaan digebraknya meja dihadapannya.

Andra mengadah melihat siapa orang yang mengebrak mejanya dengan brutal itu. Pandangannya bertemu dengan orang itu dan mendapati seseorang yang memenuhi pikirannya beberapa waktu lalu berdiri dengan tangan yang dimasukan ke saku celana. "Ngapain disini?" Tanya Andra setelah berhasil menetralkan diri.

"Harusnya gue yang tanya: lu ngapain disini?" tanya Evan.

"Habis pulang les, mampir deh kesini. Kalau lu ngapain?" balas Andra sembari menepuk bagian sofa yang masih kosong disampingnya. Bermaksud menyuruhnya untuk duduk.

"Lupa kalo Bunda yang punya kafe ini?" Evan balik bertanya dan membuat yang ditanyai menepuk jidatnya pertanda jika ia lupa akan kenyataan itu.

"Oh iya, lupa kalo Bunda Nana punya anak kayak lu," canda Andra dan membuat Evan menjitak kepala sahabatnya itu.

"Kurang ajar! Jangan datang kesini lagi kalau gitu!" Tidak ada balasan dari Andra. Dan setelahnya keaadaan menjadi hening. Kedua anak SMA itu memilih larut dalam pikirannya masing-masing.

Hingga sekian detik setelahnya, Andra membuka percakapan diawali deheman, "Van!"

"Kenapa?" Evan menoleh dan menatap tepat di mata Andra. Jelas hal itu membuat yang ditatap salah tingkah sendiri.

"Apaan sih kok natapnya gitu!" ujar Andra berusaha menutupi rona merah yang tiba-tiba saja menghiasi pipinya.

"Mau ngomong apa?" jawab Evan keluar dari topik.

"Gu—gue tadi ngelamunin Kaka," ucap Andra perlahan. Samar-samar takut jika amarah Evan akan meluap.

"Iya, gue ngerti," Evan membuang pandangannya tak lagi menatap Andra.

"Ke—kenapa?" Rasanya bibir Andra terlalu kelu untuk berbicara.

"Jangan terlalu sering mikirin dia. Kasihan hati lu, Ca. Gue nggak mau adik kecil gue ini," ucap Evan mengacak-acak rambut Andra sembari terkekeh, "getting hurt again."

"Ya, even when i know i can get nothing back."

"Udah yuk, gue antar pulang. Bisa digorok Om Dafa gue, kalau anak gadisnya maghrib belum pulang," ajak Evan menarik tangan Andra.

"For all, thank you so much, Va." Didepannya, Evan tersenyum mendengar ucapan Andra. My pleasure, Princess. Batin Evan.

—oo0oo—

Tbc.
29 November 2017

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro