Bab 9 - Lagi - lagi kejadian
Yuhuuu...
Udah pada baca belum karyaku di fizzo?
nama akunku, SHISAKATYA, jangan lupa
Yuk dibantu baca ke sana.. Gratisss.. cuma modal download apsnya doang.
Kalian bantu aku buat baca, aku bantu kalian pilihin Platform yang gratisan untuk bacanya.
Bukankah ini namanya simbiosis mutualisme? xixixixi
Ceritanya tentang apa sih?
Aku kasih cuplikannya? ini tuh model2 ghena sama Abel. xixixi.. konflik rumah tangga ditengah pandemi
BLurb :
Tampang sih lumayan, tapi sayang nafkah kurang.
Rasanya aku ingin menertawakan nasib ini, ketika 15 tahun dijalani nyatanya sama sekali tidak sesuai prediksi. Aku memperjuangkan cinta yang kupunya, sejak dulu hingga kini. Namun balasan yang kuterima adalah nafkah yang tidak lebih dari sembako murah yang ditebus setiap tanggal 25. Miris sekali memang.
Apalagi jika mengingat bagaimana hebatnya dia yang hampir saja tergoda wanita lain, padahal aku di sini selalu setia untuknya.
Ya Tuhan, apakah ini karmanya karena melewan restu orangtua?
"Harusnya kamu bersyukur aku masih bisa kasih nafkah dimasa sulit begini?"
Kembali dibentaknya, aku cuma bisa diam. Dia bilang dimasa sulit begini, aku harus bersyukur? Lalu ke mana perginya nafkah yang seharusnya bisa kudapat lebih besar di tahun-tahun sebelumnya?
-------------------------------------------------
Aku suka diam-diam memikirkan bila nantinya mencintaimu, apa bisa kita bahagia dengan kekurangan kita masing-masing?
Selepas sholat subuh, Guntur memilih untuk tidak tidur lagi. Dia langsung mengganti pakaiannya, menggunakan pakaian berolah raga, lalu mengeluarkan sepeda lipatnya untuk ia kendarai mengeliling daerah sekitar tempat tinggalnya. Guntur juga tidak lupa mengisi botol minumnya dengan air untuk mengatasi dehidrasinya ketika berolah raga nanti.
Setelah mengatakan pada pengurus rumah bila ia akan berolah raga sejenak pagi ini, Guntur langsung mengendarai sepedanya dengan santai keluar dari komplek perumahannya. Melewati jalan besar bersamaan dengan orang-orang yang akan berangkat bekerja hari ini. Kebetulan memang hari ini bukanlah weekend, sehingga jalanan sudah cukup dipadati orang-orang walau sekitar pukul 5 pagi.
Mengambil rute jalan ke arah barat, di mana lebih banyak pemukiman, Guntur lakukan karena tidak mau stress dengan kemacetan jalan utama yang akan dilalui oleh para pekerja. Apalagi ke arah rute tersebut ada suatu tempat yang ingin Guntur kunjungi sebelum bulan Ramadhan tiba.
Walaupun rute barat ini kondisi jalanan naik dan turun, bagi Guntur yang terbiasa melakukan kegiatan olah raga, menjadi tantangan tersendiri. Dia yakin seberat apapun jalan yang akan ditempuhnya, semuanya akan berhasil ia lewati, sekalipun Guntur harus menuntun sepedanya.
Mulai memasukki Kawasan pemukiman padat, Guntur memilih melewati jalan-jalan kecil agar lebih cepat sampai ke tujuannya. Dalam beberapa belokan jalan kecil yang Guntur lewati, bibirnya menegur dengan sopan para ibu-ibu yang tengah menyapu jalanan sambil menunggu tukang sayur datang.
Mengapa Guntur sampai tahu kegiatan ibu-ibu tersebut? Karena rute ini bukan satu, dua kali, dia lewati. Namun seminggu hampir 3-4 kali, sehingga rasanya ibu-ibu yang tinggal di sini pun sudah hafal bila Guntur sering melewati jalanan rumah mereka untuk berolah raga.
Pernah suatu ketika beberapa waktu lalu, tidak sengaja ban sepeda Guntur mendadak bocor, anak-anak kecil yang baru kembali habis sholat subuh lah, yang mengantarkan Guntur sampai ke tukang tambal ban, dan menemaninya sampai tukang tambal ban tersebut buka.
Sangat-sangat beruntung. Disaat kondisi masyarakat zaman sekarang lebih banyak mengerjakan segala sesuatunya secara individual, atau dibantu mesin, ternyata masih banyak orang yang peduli dengan sesama.
Maka dari itu, melewati jalanan ini seolah Guntur berada jauh dari ibukota.
"Assalamu'alaikum, pagi ibu-ibu."
"Wa'alaikumsalam, pagi, Mas."
Dua orang ibu-ibu terlihat berjalan bersama, melewati Guntur untuk menuju sebuah lapangan kecil di dekat tempat tinggal mereka. Biasanya di sana sering diadakan senam pagi pada setiap hari jum'at, dan Guntur bisa menebak mereka akan mengikuti senam pagi itu.
Terus mengendarai sepedanya dengan kecepatan pelan, karena jalanannya semakin kecil, Guntur mengambil gang yang berbeda dari yang biasa ia lewati. Bukan tanpa alasan dia melakukannya. Dia sangat tahu ujung dari gang ini adalah jalanan menuju tempat yang ingin dia tuju pagi ini.
Merasa rute gang yang dia lalu sangat sepi, Guntur mengambil botol minumnya, meneguknya dengan santai sembari mengemudikan sepedanya dengan satu tangan. Disaat ia ingin meletakkan kembali botol tersebut ke sepedanya, amat sangat tidak diduga, muncul seseorang dihadapannya. Sampai-sampai Guntur hilang kendali, menabraknya dengan benturan yang cukup kencang.
"AAAAAHHH ...."
Guntur terpental. Saat tahu ada yang celaka karenanya, buru-buru Guntur berdiri kembali. Dia mengabaikan rasa sakitnya yang sebenarnya terasa di bagian siku. Mungkin karena dirinya terlalu panik, Guntur mencoba membantu orang itu dengan kedua tangannya.
Suara ringisan, dan tangisan dari orang itu bisa Guntur dengar dengan jelas. Namun untuk wajahnya, masih sangat samar-samar dikedua mata Guntur.
Kondisi jalanan yang sempit, dengan minimnya lampu jalan, memang membuatnya kesulitan melihat orang ini melintas di hadapannya dengan mendadak.
"Sakiiitt. Aduh patah deh kaki gue. Bodoh!!! Sial!! Nyebelin."
Terlihat tidak bisa berdiri dengan benar, Guntur mencoba untuk menggendongnya. Niatnya hanya benar-benar menolong dan merasa bersalah karena sudah sangat tidak hati-hati di perumahan padat penduduk seperti ini.
Tapi entah mengapa Guntur masih bisa bersyukur. Untungnya bukan anak kecil yang ia tabrak. Sungguh, tidak terbayangkan bagi Guntur jika yang menjerit kesakitan adalah seorang anak kecil.
Menggendongnya dengan kedua tangan, tubuh orang itu kini terlihat dengan jelas di mata Guntur karena posisi mereka yang sangat dekat. Sekalipun Guntur kurang yakin jika dia adalah orang yang sama, tetapi dari bentuk matanya, bibirnya, hidungnya, lalu tulang pipinya yang tinggi, Guntur tahu siapa orang ini.
"LO!!!"
Gadis itu mengenali Guntur lebih dulu. Sedangkan Guntur refleks melepaskan gendongannya. Membuat tubuh gadis itu jatuh untuk kedua kalinya karena Guntur.
"AAAAAAKHHH ... SAKIT!!!"
Jeritan cukup kuat menimbulkan keributan di gang perumahan yang cukup padat dan sempit ini. Banyak dari mereka yang langsung keluar rumah demi melihat apa yang terjadi. Dan beberapa dari mereka bahkan sengaja membawa pentungan karena dianggap ada maling di jam segini.
Laki-laki jangkung bertubuh kurus, dengan sarung yang ia sandang ikut berlari-lari keluar dari sebuah rumah. Lalu ketika ia melihat siapa yang menjerit, laki-laki itu tidak pandang bulu, langsung menarik kerah jaket parasut yang dipakai Guntur, kemudian berteriak di depan wajahnya.
"KAU APAKAN ADIKKU, HAH"
***
Yasmin berlari-lari masuk ke sebuah rumah sakit internasional yang baru pertama kali ini dia datangi. Setelah tadi bertanya di mana ruangan VIP, Yasmin buru-buru menuju ke sana langsung. Dia sangat kaget dengar kabar pagi ini dari pesan singkat Aini yang mengatakan bila dirinya masuk rumah sakit internasional milik Al Kahfi Group.
Ingin sekali Yasmin mempertanyakan bagaimana bisa Aini sampai masuk rumah sakit, karena yang Yasmin tahu sahabatnya itu jarang sekali sakit. Tetapi Yasmin mencari waktu yang tepat. Apalagi kalau dia tanya melalui telepon pun percuma, Aini terlalu perhitungan dengan paket data yang gadis itu miliki.
"AINI!" Berteriak ketika membuka pintu, Yasmin dikagetkan dengan tatapan orang-orang ke arahnya.
Ada perempuan paruh baya, yang Yasmin yakini ibu dari Aini, lalu ada laki-laki jangkung, kurus, mirip sekali dengan ciri-ciri abang Aini yang sering gadis itu ceritakan. Lalu ... yang membuat Yasmin tidak bisa berkata-kata, mengapa ada laki-laki itu di sini.
"Huhuhu ... Yas."
Melangkah perlahan, Yasmin menunduk sopan. Dia mendatangi ibu Aini terlebih dahulu, lalu mencium punggung tangannya sambil memperkenalkan nama.
"Assalamu'alaikum, Tante. Aku Yasmin, teman sekolah Aini."
"Wa'alaikumsalam. Ya Allah, ini yang namanya Yasmin ternyata. Dari dulu Aini cuma cerita, cuma enggak pernah diajak ke rumah."
Yasmin terkikik geli, dia sengaja melirik Aini terlebih dahulu, lalu memasang ekspresi sedih di depan ibu sahabatnya.
"Abis Aini enggak kasih izin main ke rumahnya. Katanya dia malu sama rumahnya. Padahal apa yang harus dibikin malu. Iya kan, Tan."
"Yasudah, lain kali langsung datang saja, ya."
Berlanjut salam ke bang Yos, abang dari Aini, Yasmin tersenyum sambil menunduk.
"Kenapa senyum-senyum?" Bang Yos merasa penasaran. "Pasti Aini banyak omongin abang, kan?"
"Hihihi, bang Yos tahu aja."
Lalu perlahan-lahan bergerak melewati Guntur, Yasmin tidak berkata apapun. Dia mencolek Aini, memberikan kode dengan tatapannya, ada apa sebenarnya?
"Lo enggak tanya Yas, kenapa gue bisa sampai dirawat begini? Bahkan kaki gue diperban gitu?"
Yasmin meringis. Kepalanya mengangguk. Dasar Aini, senang sekali memancing keributan.
"Emangnya lo kenapa sih?"
"Tuh, orang gila, pagi-pagi lewat di depan rumah gue. Udah tahu gang rumah gue kecil, sempit, kumuh, dan rame penduduknya. Bisa-bisanya dia naik sepeda kayak lagi disirkuit balap. Ngebut banget. Terus begaya cuma pakai satu tangan. Jadinya nabrak gue yang pagi-pagi mau belanja ke pasar."
"Lo ditabrak pakai sepeda?"
"Iya. Sampai mental. Saking kencangnya. Terus udah gitu nih, dia tolongin gue. Tapi pas lihat siapa yang dia tabrak dan dia tolong, gue dibanting lagi ke jalan. Sinting, kan?"
Tidak bisa menahan emosinya, Yasmin bisa merasakan betapa kesalnya Aini saat ini. Akan tetapi jika dilihat-lihat, kondisi kaki Aini memang dibalut perban. Lalu dikedua lengannya, di dekat siku, terlihat membiru. Mungkin ketika terjatuh, Aini menahan beban tubuhnya dengan tangan.
Dari kesimpulan yang Yasmin lihat, kondisi sahabatnya sangat tidak baik.
"Saya benar-benar minta maaf." Guntur membuka suaranya. Dia mendekati Aini, kemudian melihat satu persatu orang-orang yang ada di dalam kamar ini sambil mengembuskan napas merasa bersalah.
"Saya memang sangat tidak hati-hati pagi ini." Kembali mengakui kesalahannya, Guntur menunduk hormat. Wajahnya merasa sangat bersalah. "Dan untuk biaya pengobatan dan lainnya, biar saya yang tanggung. Jika diperlukan rontgen dan sebagainya, silakan dilakukan. Anggap saja sebagai permohonan maaf dari saya yang tidak hati-hati."
Bang Yos meresponnya kesal. Mengarahkan pandangannya ke arah lain. Begitu pula Aini, dia tidak ingin sedikitpun melihat wajah Guntur di depannya. Namun tidak dengan ibunya Aini. Perempuan paruh baya itu mendekat, lalu ikut menunduk hormat di depan Guntur sambil mengucapkan terima kasih.
"Ibu rasa sudah sangat cukup. Terima kasih banyak ya, Nak. Pesan ibu untuk lebih hati-hati ke depannya. Biar semuanya sama-sama aman."
"Terima kasih banyak, Bu."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro