Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 35 - Dan untuk pertama kalinya ....

Yuhuuu.. maap terlambat.. Yuk baca teruss.. cuma sampai 40 bab yaaa..
Semoga enggak ada yang kecewa.

Pegang tangan aku massss.....

------------------------------------------------------


Untuk pertama kali aku menyadari bila bermimpi hanyalah sebuah bayangan saja, tanpa doa dan tindakan nyata maka tidak akan pernah ada masa depan yang bahagia.

"AAAAAAAHHHH .... SERIUS? AKHIRNYA, YA ALLAH."

"Enggak usah teriak-teriak kan bisa," ucap Aini seolah merajuk disaat ia memberitahukan hasil baik dari kedatangan Guntur malam ini pada Yasmin.

"Jangan sewot gitu dong. Gue kan boleh ngerasa bahagia juga atas keberhasilan doa dari sahabat gue."

"Preet!"

"Idih gitu. Tapi serius deh, Ai. Gue sampai nangis di sini. Rasanya kayak enggak mungkin banget. Baru beberapa waktu kemarin ini gue godain lo masalah doa untuk jodoh. Terus baru kemarin ini rasanya gue anterin lo ke toko buku buat refrensi. Baru kemarin ini lo ngamuk-ngamuk karena ketemu orang yang ngeselin di lampu merah. Dan sekarang. Malam ini lo terima pinangan dari dia? Sumpah kayak kisah dalam novel-novel. Tapi ini nyata masalahnya."

Aini menarik simpul kedua sudut bibirnya. Sambil duduk di atas ranjang, dengan memeluk kedua kakinya, Aini mencermati baik-baik setiap kalimat yang dikatakan oleh Yasmin. Dan semuanya Aini akui adalah benar.

Namun perkara jodoh, rezeki, dan maut, memangnya manusia mana yang bisa menebaknya? Semuanya sudah dituliskan dalam kitab Lauhul Mahfudz. Seperti yang dulu Aini pelajari ketika pengajian sore, semasa kecilnya, kitab Lauhul Mahfudz adalah kitab yang menuliskan seluruh catatan takdir dan kejadian di alam semesta. Bahkan kitab ini sudah ada sebelum penciptaan alam jagat raya dan umat manusia. Karena itulah dapat dikatakan bila kitab Lauhul Mahfudz tidak akan berubah ataupun rusak.

Atas dasar itulah Aini yakin setiap kejadian yang ia alami bersama Guntur dalam beberapa waktu terakhir ialah sebuah takdir yang sudah dituliskan. Bahkan hingga kini Aini masih bertanya-tanya mengapa pada saat itu pintu mobil milik Guntur tidak terkunci hingga ia bisa masuk ke dalamnya. Padahal kondisi mobil tersebut sudah jalan, yang menandakan pula supir Guntur kurang hati-hati dalam berkendara. Sampai-sampai pintu tersebut belum sempat dikunci.

"Ai ...."

"Iya."

"Pasti melamun deh. Gue paham kok lo lagi bahagia. Cuma jangan abaikan gue gini dong."

Terkikik renyah, Aini baru teringat tujuan utamanya menghubungi Yasmin malam ini tidak hanya menginformasikan hasil dari kedatangan Guntur, namun ia sekalian ingin mengundang Yasmin ke rumahnya untuk acara buka puasa pertama sekaligus pertemuan keluarga Guntur dengan Aini.

"Yas ...."

"Apa?"

"Lo mau enggak datang ke rumah gue buat buka puasa pertama bareng. Sekalian ...."

"Sekalian apa?"

"Sekalian keluarganya mas Guntur mau datang juga. Tahap perkenalan lebih lanjut. Karena abang gue ... abang gue."

"Kenapa sama bang Yos?"

Sedikit ragu, Aini bergumam pelan untuk memberitahu perihal kabar baik ini. "Karena abang gue udah netapin tanggal untuk pernikahannya. Abis lebaran, bang Yos maunya mas Guntur udah nikah sama gue."

"OMG. Ai ... sumpah ya lo, kasih kabar bahagia gini kenapa setengah-setengah sih? Terus gimana? Gunturnya siap apa enggak? Sumpah ya gue yang deg-deg'an. Berasa gue yang dilamar."

"Sama. Emang lo pikir gue enggak."

"Huhuhu ... kalau deket udah gue peluk, Ai. Sumpah bahagia banget gue dengernya."

"Terus gimana? Lo bisa datang enggak? Datang dong. Temenin gue."

"Gue usahain, ya. Buka puasa pertama biasanya orangtua gue maunya ngumpul. Tapi kalau mereka kasih izin, gue langsung cus ke sana."

"Makasih banyak ya, Yas."

"Ih, kenapa ngomong gitu? Gue enggak ngapa-ngapain, elah."

"Makasih udah mau jadi sahabat gue."

Terdiam sejenak, akhirnya Yasmin menanggapi kalimat terakhir Aini.

"Iya, sama-sama. Dan sekali lagi, selamat ya, Ai."

***

Puasa pertama yang terasa berbeda entah kenapa membuat senyum di pipi Aini tidak kunjung pudar. Apalagi ia yang biasanya sulit sekali untuk dibangunkan sahur, kali ini malah berhasil bangun jauh lebih cepat. Hingga bang Yos menggoda Aini dengan mengecek suhu di kening Aini menggunakan punggung tangannya.

"Enggak panas, tapi kok tumben."

"Ada yang salah? Beginilah sikap dan karakter orang Indonesia, yang buat banyak orang susah untuk improve diri jadi lebih baik. Karena kalau terlihat berbeda sedikit, menuju ke hal baik, disangkanya salah makan obat atau sakit."

"Hahaha, bisa aja kau. Sudah bangunkan calon suami kau, belum?"

Melihat bang Yos lebih mengalah, dan tidak melanjutkan perdebatan mereka seperti biasanya, Aini ikut meresponnya dengan baik. Biasanya emosi Aini menggebu-gebu karena ulah bang Yos juga yang tidak mau berhenti mengganggunya.

"Sudah. Dia sedang tahajjud."

"Alhamdulillah. Kau indak tahajjud juga?"

Aini melirik wajah serius dari bang Yos. Tidak ada senyum menggoda di sana. Karena kini Aini melihat ekspresi seorang kakak seolah tengah mengingatkan adiknya untuk melakukan sesuatu yang baik.

Aini menggeleng. "Enggak."

"Kenapa?"

Sambil menautkan jemarinya, Aini melirik bang Yos kembali, "Lagi enggak fokus."

"Enggak fokus. Maksudnya?"

Ketika sebelah alis hitam bang Yos terangkat, mencerna kalimat yang adik perempuannya katakan ditambah body language yang Aini tampilkan, barulah dia sadar apa maksud dan tujuan Aini mengatakan itu.

"Ya Allah, Aini. Abang tahu ini adalah pengalaman pertamamu. Pasti perasaan yang kamu rasakan kini tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Tapi abang tidak setuju juga bila kau sampai lupa untuk bersyukur kepadaNya. Sudah sana cepat tahajjud dulu, baru kita sahur bersama."

"Bang Yos ..." rengek Aini merasa tidak bisa melakukan apa yang bang Yos perintahkan.

"Sudah sholat dulu sana. Ibu juga masih masak lauk untuk kita sahur. Cepat jangan ditunda-tunda!!"

***

Lagi dan lagi Aini terlihat aneh pagi ini. Ia yang terbiasa bermalas-malasan ketika puasa, apalagi dihari pertama puasa, pagi ini melakukan hal yang bahkan teramat sangat jarang ia lakukan, sekalipun bukan di bulan Ramadhan. Yakni menyapu dan mengepel lantai rumah, yang biasanya tugas ini dikerjakan oleh bang Yos.

Kakak laki-lakinya yang kini tengah bersiap berangkat untuk bekerja nampak aneh melihat kelakuan adiknya sendiri. Bahkan sampai dimana langkahnya terhenti di samping Aini, tatapannya masih terus terpusat pada gadis itu, hingga Aini sendiri yang merasa aneh atas kelakuan bang Yos.

"Apa sih?"

"Perasaan sahur tadi menu kita sama. Tapi kenapa kau ...."

"Bang ...."

"Ah, iya. Iya. Abang paham." Berjalan sambil berjinjit, bang Yos sengaja memakai sepatunya di luar rumah agar tidak mengganggu Aini.

"Yang bersih. Jangan sampai kau buat Guntur brewokan!"

"BANG YOS!!!"

Teriak begitu kencang, Aini mendapatkan teguran dari ibunya. "Apa sih kalian ribut saja."

"Bang Yos, Mak."

"Kenapa dengan abangmu? Bukannya dia mau berangkat karajo?"

"Hm. Memang. Tapi ...." Menggantung kalimatnya, Aini memilih memendam rasa sebal ini. Dia tidak mau masalah kecil ini malah menjadi besar jika ia ceritakan pada ibunya, dan menyudutkan bang Yos seperti biasanya.

"Amak indak buka warung?"

Menggeleng, ibu Aini memilih duduk di sofa sambil menatap wajah putrinya untuk berdiskusi. Jujur saja dia bingung harus menyuguhkan makanan apa untuk calon besannya nanti yang akan berkunjung dan berbuka puasa di rumah ini.

"Amak bingung. Kira-kira kita masak apa untuk buka puasa malam ini?"

"Owh iya. Kok Aini enggak mikir ke sana."

Melangkah mendekati ibunya, Aini duduk berdampingan sambil memikirkan menu enak yang bisa mereka suguhkan.

"Apa ya, Mak?"

"Coba kamu tanya nak Guntur. Dia sama keluarganya suka makan apa. Biar coba amak masakkan."

Menatap wajah tua ibunya, Aini merasa kasihan dengan kondisi ibunya yang sudah lanjut usia, ditambah sedang berpuasa, rasanya tidak mungkin ia tega membiarkan ibunya untuk masak banyak menu dalam satu hari.

"Coba Aini hubungi mas Guntur dulu ya, Mak."

Melangkah ke dalam kamar, kemudian menekan nama Guntur diponselnya, dalam hitungan detik sambungan telepon itu langsung terhubung. Dengan diawali salam, suara Aini terdengar bingung menyampaikan apa yang ia pikirkan pada Guntur. Karena rasanya amat sangat tidak baik, dikali pertama keluarga besar mereka bertemu, Aini sudah merepotkan Guntur dalam segi menyiapkan makanan.

Namun ia bisa apalagi. Aini pun tidak tega membiarkan ibunya bersusah payah memasak banyak makanan. Sedangkan untuk membelinya pun Aini tidak mampu.

"Mas Guntur, untuk masalah buka puasa nanti."

"Iya. Kenapa?"

"Itu ...."

"Kamu kenapa? Ada kendala?"

"Barusan ibu tanya, mau dimasakin apa untuk menu buka puasa nanti. Cuma masalahnya kalau ...."

"Sudah jangan dipikirkan. Nanti siang, sekalian abangmu pulang, sudah kutitipkan beberapa makanan yang harus dia bawa. Jadi untuk hal ini, ibumu tidak perlu capek-capek lagi."

"Kok kamu bisa paham apa yang mau aku bilang?"

Terdengar tawa renyah dari suara Guntur, Aini yakin laki-laki itu sibuk memikirkan kelakuan bodoh serta ketakutan-ketakutan kecil yang ia pikirkan kini.

"Insha Allah bulan syawal aku akan meminangmu. Jadi kumulai coba memahamimu dari hal-hal kecil. Seperti memahami isi pemikiranmu. Sungguh, terima kasih, Aini. Kamu sudah bersedia menceritakannya padaku. Dan tidak memendamnya sendiri. Karena sejujurnya itulah yang kita butuhkan kedepannya. Keterbukaan dan saling pengertian." 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro