Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 33 - Pendengar yang baik

Monggo dibaca lagiiii


------------------------------------------


Terpikir olehku mengapa Tuhan menciptakan takdir kita seperti ini, karena Dia lebih tahu bila kita bersama maka semuanya akan terasa lebih mudah dan juga indah.

Dimulai dengan pertanyaan ada apa, Aini perlahan menceritakan semua pada Guntur mengenai maksud kedatangannya ke tempat ini. Namun ternyata jalan cerita yang Aini pikir bisa selesai dengan singkat, nyatanya tidak semudah yang ia bayangkan. Dia harus bertemu dengan beberapa orang yang sebelumnya terlibat konflik dengan Aini. Seperti pelayan kasir tersebut, hingga yang tidak dia sangka abangnya, Yoserizal, yang sehari-hari selalu membuatnya kesal dengan ucapan serta tingkahnya namun hari ini berbeda sekali.

"Jadi kamu mau minta maaf?"

Mengangguk pelan, Aini mencuri lirikan ke arah wajah Guntur. Memiliki warna kulit yang cukup putih jika dibandingkan dengan warna kulit laki-laki lainnya, membuat Aini salah fokus atas tatapannya.

Teringat akan dosa bodohnya, Aini berusaha untuk menunduk. Dia beristighfar dalam hati demi meredakan perasaan bodoh yang bisa-bisanya hadir ketika Aini menatap wajah Guntur yang berada di depannya.

"Sejujurnya aku tidak mengharapkan kata maaf darimu. Yang kuharapkan hadir setelah kejadian itu adalah sebuah pelajaran dalam hidup. Mengapa aku mengatakan demikian, karena semua orang bisa salah dan mengucapkan kata maaf begitu saja. Namun sayangnya masih sedikit orang yang mengakui salah, mengucapkan maaf lalu menjadikan kesalahannya sebagai sebuah pelajaran berarti dalam kehidupannya. Itulah yang kutunggu darimu, Aini."

Tenggelam dalam pikirannya, Guntur tersenyum geli. Dia menyadarkan Aini dengan gerakannya mendorong piring makanan yang baru saja diantarkan oleh salah seorang pelayan.

"Makan lah. Aku masih ada urusan sebentar. Nanti pulang kuantarkan, sekalian aku mau bicara serius dengan ibumu."

"Ah? Bicara apa?" Cukup cepat memberikan respon, Guntur semakin tidak bisa menahan tawanya. Dia hanya menggeleng sejenak sebelum melangkah masuk ke arah dapur, untuk melanjutkan beberapa hal yang ingin dia pastikan tadi.

"Dia mau ngomong apa sama ibu?"

Tenggelam dalam pikirannya, tiba-tiba saja Aini menutup rapat mulutnya dengan kedua tangan ketika menyadari apa kira-kira yang ingin dibicarakan Guntur dengan ibunya malam ini.

"Ya Tuhan ... ya Tuhan."

Terjebak dan merasa bingung harus melakukan apa, Aini buru-buru keluar dari tempat ini. Dia ingin membagi kebahagiaan ini sejenak, tentu saja dengan sahabatnya, Yasmin.

"Ya Allah, Yas. Ya Allah."

"Eh ... eh, kenapa? Ih bikin panik. Ada apaan?"

"Ya Allah. Gue bingung harus ngomong dari mana."

"Kenapa, Ai? Duh. Pelan-pelan ceritanya. Gue enggak paham. Please, pelan-pelan."

"Pengen sujud syukur rasanya. Huhuhu."

"Ah? Pengan sujud syukur?" Yasmin mengulangi kalimat sahabatnya. Dia yang awalnya terjebak dalam kepanikan, perlahan pikirannya masuk ke dalam lubang kebingungan setelah mendengar kalimat yang Aini ucapkan.

Jika memang Aini sedang dalam kondisi kurang baik, atau dalam kondisi yang membutuhkan bantuan, mengapa gadis itu malah berkata ingin sujud syukur?

"Yas, lo dengerin gue enggak sih?"

"Lo mau sujud syukur kenapa? Lo lagi bahagia, apa gimana sih?"

Menertawakan kebingungan Yasmin, akhirnya Aini mulai menceritakan satu demi satu kejadian yang dia alami hari ini. Sampai-sampai setelah ia mengucapkan kalimat terakhirnya mengenai keinginan Guntur untuk menemui ibunya secara resmi, teriakan Yasmin tiba-tiba saja terdengar. Kencang dan sangat memekakkan telinganya.

"Hei ... enggak bisa kecilan sedikit teriaknya."

"Ya Allah, Aini. Gue yang langsung sujud syukur tahu enggak. Sumpah ya, lo berasa kayak lagi dalam film. Semua doa lo terkabul. Lo minta kriteria suami kayak Guntur, Dia langsung kirim Guntur ke lo."

"Belum tentu, Yas. Kan belum tentu gue dinikahin. Apalagi sebelumnya dia udah ngelamar gue, dan tanggapan gue kurang baik. Jadinya ...."

"Hahaha. Udah lo tenang aja. Percaya sama gue, Guntur bukan tipe laki-laki yang langsung menyerah gitu aja."

Cemberut sebal. Entah mengapa Aini kesal mendengar Yasmin memanggil nama Guntur. Padahal disepanjang ia menceritakan kejadian hari ini pada Yasmin, Aini tidak sekalipun menyebut Guntur hanya menggunakan namanya saja. Selalu ada embel-embel mas, atau mengganti nama Guntur dengan sebutan dia.

"Ai ... Aini. Lo enggak papa, kan?"

"Hm."

"Pokoknya besok pagi lo wajib cerita. Duh, gue yang enggak sabar rasanya. Gila banget ya, kekuatan doa emang sangat luar biasa."

Masih mendengarkan tanggapan Yasmin, Aini memilih diam tanpa sepatah katapun. Seketika moodnya hancur disaat ia memikirkan berulang Yasmin mengucapkan nama Guntur dengan sangat nyaman. Padahal usia mereka jelas jauh berbeda.

"Gue putus dulu ya, Yas."

Mematikan sambungannya tanpa salam, Aini berusaha menetralkan emosinya dengan mengembuskan napas secara perlahan-lahan. Tatapannya tertuju pada barisan mobil yang tidak kunjung henti melewati jalan utama di depan restoran Yummy healthy ini. Dia pikir Guntur sangat pintar mencari tempat yang begitu strategis. Karena terbukti cukup banyak pelanggan yang datang entah untuk makan di tempat, atau membungkusnya. Bahkan orderan dari aplikasi-aplikasi online juga tidak bisa Aini pandang sebelah mata.

"Dia belum jadi milik gue, kenapa perasaan ini begitu posesif padanya."

Lagi-lagi mengembuskan napas, Aini kembali melangkah. Dia mendorong pintu kaca itu kembali dan langsung dikagetkan dengan tatapan khawatir dari abangnya.

Disaat bang Yos bergerak mendekatinya, Aini malah mematung. Merasa takut bilang bang Yos akan memakinya di tempat yang seramai ini.

"Abang pikir kau pulang."

"Ah? Pulang?"

"Iya. Piring masih penuh disuruh bereskan oleh temen abang. Tadinya kalau emang kau pulang, ingin abang amuk. Sudah dibayar mahal-mahal bukannya dihabiskan, malah ditinggal pulang. Tapi ternyata ...."

"Ternyata enggak pulang, kan?"

"Iya, enggak."

Kembali duduk di mejanya, Aini perlahan-lahan menikmati menu yang dia pesan tadi. Ketika satu suapan masuk ke dalam mulutnya, barulah Aini sadar mengapa makanan ini bisa ia kategorikan masuk ke dalam menu yang mahal karena citarasa yang hadir dalam mulutnya benar-benar tidak bisa dia jelaskan dengan kata-kata.

"Masya Allah, enak betul. Makanan apa ini?"

Memandangi Aini yang bersikap seperti orang kampung, bang Yos memukul pelan lengan adik perempuannya itu, lalu melemparkan tatapan kesal. Bisa-bisanya Aini bersikap kampungan seperti tadi padahal dia berstatus sebagai seorang mahasiswi di sebuah universitas negeri di Jakarta.

"Apaan sih?" kembali ke mode biasanya. Aini lagi-lagi adu pendapat dengan bang Yos.

"Jangan kampungan bisa enggak sih."

"Sia yang kampungan? Abang atau Aini?"

"Kau lah!"

"Bia sajolah. Semua orang punya kebahagiaan masing-masing," ucap Aini tidak peduli. Dia kembali menyantap menu makanan itu, sambil dengan sengaja memamerkan senyum bangga pada bang Yos.

Sedangkan bang Yos sendiri lebih memilih diam. Perdebatan mereka ternyata menjadi tontonan semua orang yang berada di tempat ini. Tidak hanya pelanggan dan pelayan, Guntur yang sedang duduk dengan seseorang di bagian taman belakang ikut menatap moment keributan yang tercipta antara Aini dan bang Yos.

"Semua orang melihat ke arah kau. Termasuk Guntur."

Terpaku mendengar kalimat bang Yos, secara perlahan-lahan Aini melirik di mana posisi Guntur berada saat ini. Dan benar saja, ketika tatapan mereka saling beradu, Guntur melemparkan senyum manis kepada Aini.

"Tadi dia bilang mau ketemu mamak malam ini."

"Pasti. Karena sebelumnya dia sudah bicara langsung ke abang."


Kalian udah baca cerita sebelah?

Ada aku loooh... xixixixixi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro