Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 3 - Jangan Banyak Cingcoang, Ang!

Holaa... balik lagi..

Untuk beberapa komentar kemarin yang katanya Aini terlalu kasar manggil abangnya sendiri Ang, menurutku berdasarkan jalan cerita dan karakternya, di sini hubungan Aini dan Bang Yos, bukan tipikal adik sayang abang, abang sayang adik ya. 22nya sama-sama ngeselin. Aini juga bukan tipe nurut sama abangnya. Dan bang yos juga bukan tipe yang bisa nampilin rasa sayangnya ke adik secara langsung. dengan cara-cara jahilnya, bisa keliatan sebenarnya bang yos perhatian sama Aini.

Yah, kalian paham pasti apa yang kumaksud. Hubungan adik kakak itu lebih banyak ributnya dari pada enggaknya. Tapi bukan berarti mereka saling benci, atau enggak menghormati adat. Bukan sama sekali.

Jadi please, lebih luas lagi ambil POV (Point Of View) cerita ini...

Tengkyu...


---


Aturannya sangat mudah, jangan memancing keributan jika belum terbiasa merasakan sakitnya penderitaan.

Menarik napas dalam, sembari membuka sepatu kets yang dia pakai ke kampus hari ini, Aini tersenyum geli mengingat kejadian tadi di lampu merah yang terasa sangat cepat dan memacu adrenalinnya. Bahkan kalau diingat-ingat bagaimana bisa pergerakannya begitu tepat masuk ke dalam mobil orang kaya raya.

"Lucu juga kalau gue inget-inget. Kok bisa refleks gue sebagus ini."

Aini bergumam sambil tersenyum malu-malu. Ketika kedua sepatunya sudah dia lepaskan, sengaja Aini menggerakan kedua kakinya yang terasa pengap karena seharian menggunakan sepatu. Kebetulan angin malam ini terasa cukup kencang, sampai-sampai kondisi lembab di kakinya seketika lenyap.

"Tapi sayang refleks mulut gue enggak bagus. Kenapa gue malah bilang dia gila dan pelit."

Menyayangkan kebodohannya sendiri, tubuh Aini meluruh di kursi plastik yang ada di teras rumahnya. Rumah petak yang sudah dia tempati bersama keluarganya sejak hampir 15 tahun lalu, setelah mereka pindah dari Padang ke Jakarta, memanglah berada di Kawasan yang ramai penduduk. Bentuk bangunan rumah yang tidak tertata baik seolah menggambarkan bila rumah ini berada di Kawasan yang memang tidak bagus. Bayangkan saya, bagian depan rumah yang Aini dan keluarga tempati hanya bisa dilewati oleh sebuah sepeda motor saja. Belum lagi pemandangan depan rumahnya menampilkan tembok samping rumah tetangga, yang berarti kondisi rumah di sana memang teramat sangat tidak teratur.

Karena itulah mengapa Aini berharap bisa menikah dengan orang kaya, dan keluar dari tempat tinggal sesak ini. Dia hanya ingin hidup normal seperti orang-orang lainnya, di mana depan rumahnya adalah jalanan besar bukan malah tembok rumah orang lain.

"Kenapa kau?"

Bang Yos tiba-tiba saja keluar dari dalam rumah, dan menatap Aini bingung. Kondisi sudah jam 10 malam, bisa-bisanya Aini duduk di depan rumah dengan santai.

"Enggak lihat lagi ngapain? Istirahat lah, capek."

"Capek kenapa? Cuma belajar saja kau ngeluh. Gimana kayak abang, yang sibuk cari kerja?"

Aini mengerutkan keningnya. Dia menatap kesal laki-laki jangkung, dengan warna kulit terbilang putih, rambut cukup panjang, berdiri di dekatnya, hanya memakai celana pendek parasut tanpa kaos. "Bang Yos cari kerja apo, hah? Pergi indak, di rumah terus. Bantu amak juga indak. Lalu apa yang ang maksud cari kerja?"

Yoserizal atau yang Aini sering panggil bang Yos, mulai berjongkok di samping kursi plastik yang sedang Aini duduki. Tatapannya tertuju ke depan. Ke satu arah di mana tanah becek yang menjadi jalanan kecil untuk akses ke rumah mereka.

"Aini buru-buru selesai kuliah, biar tahu bagaimana beratnya cari karajo."

Merasa bersalah, Aini menepuk punggung abangnya. Dia tahu kata-kata yang diucapkan bang Yos amatlah benar. Tapi Aini juga tahu, bang Yos cuma banyak cincong sampai detik ini.

"Aini emang belum lulus. Tapi Aini lebih paham apa yang namanya berjuang dan berusaha keras untuk mencapai tujuan. Cuma dari apa yang Aini lihat, bang Yos belum melakukan apapun. Hanya banyak cingcong!"

"Sia yang banyak cincoang, hah?"

"Ang!! Ang banyak cincoang!!"

Merasa sebal dituduh seenaknya oleh Aini, Yos berdiri, lalu merangkul kepala Aini masuk ke dalam ketiaknya.

"Bang Yos!!"

"Minta ampun kau, hah. Abang kutuk jadi kutu baru tahu rasa kau!!"

"Iyo ... iyo. Lepas. Bang Yos bauuu!!!"

"Minta maaf cepat!!!"

"Bang Yos, maaf."

Berteriak cukup kencang, Yos merasa puas sudah membuat Aini diam tidak berkutik. Bahkan adiknya itu langsung buru-buru masuk, melewatinya yang masih tersenyum memamerkan kemenangannya.

"Awas aja kau!! Aden kaya, indak aden ajak pegi dari siko."

Bang Yos tertawa melihat kelakuan adik kecilnya itu. Sekalipun dia iseng, dan suka sekali membuat Aini marah, namun tetap saja rasa sayangnya pada Aini tidak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata.

"Kau kaya, abang bahagia." Hanya bisa bergumam, dia mengikuti Aini masuk ke dalam rumah, mengunci pintu lalu kembali beristirahat. Hari ini dia seharian sudah berada di warung internet untuk mencari-cari pekerjaan melalui website online. Tapi ternyata tidak semudah itu ia dapatkan.

***

"Ai, lo udah tambahin belum skripsinya?"

Aini menggeleng. Air matanya terus keluar setelah mulutnya menguap berulang kali. Buku besar yang kemarin dia beli untuk refrensi skripsinya belum sedikitpun dia buka. Padahal biasanya, Aini paling suka mendalami buku yang baru ia beli. Namun kali ini tidak. Dia terasa sangat capek semalam. Bahkan untuk mengangkat kepalanya setelah membersihkan diri, Aini tidak sanggup.

"Lo semalem enggak begadang? Tumben?"

"Awwhh ...." Aini menguap. "Capek banget gue semalam. Apalagi biasalah lo tahu, abang gue ngajakin ribut mulu. Kayak tenaga udah kesedot buat ribut sama dia."

"Bang Yos kenapa lagi? Kayaknya kalau lo cerita soal dia seru banget gue dengernya."

"Lo jangan sesekali ketemu abang gue, eneg lo lihatnya. Muntah-muntah gue jamin."

Yasmin tertawa sambil mengaduk es teh manis yang sedang ia nikmati siang ini. Makan siang bersama Aini di sebuah warung soto pinggir jalan memang sering mereka lakukan. Apalagi kebetulan letak warung tersebut dekat sekali dengan kampusnya. Membuat keduanya bisa berlama-lama di sana.

"Btw, Yas. Habis lulus kuliah, lo kira-kira mau kerja di mana?" Aini melirik sahabatnya, sambil teringat kata-kata bang Yos semalam yang mengatakan bila mencari pekerjaan itu sulit.

"Belum tahu. Gue sih pengennya jadi ibu rumah tangga aja, enggak usah kerja. Cuma ya, cuma nih, kalau mau kayak gitu kan wajib punya suami kaya. Sedangkan mimpi temen gue aja belum kecapai-capai tuh minta jodoh laki-laki kaya. Terus gue mau minta hal yang sama ke Tuhan. Kan ngeri. Takutnya doa gue disetujui Tuhan, doa sahabat gue enggak."

"YASMIN!! Lo lama-lama ngeselin, kayak bang Yos."

"Jodoh, maybe."

"Iyuh, lo mau sama dia? Gila sih, enggak habis pikir gue."

"Hahaha. Susah ah, lo apa-apa dibawa serius."

"Bukan apa-apa dibawa serius. Tapi jawaban lo tadi nyeremin. Kalau Tuhan dengar terus setuju, kan enggak banget, Yas."

"Enggak banget gimana? Kita kan jadi saudaraan."

"Dih ... dih, enggak gitu. Pokoknya gue enggak rekomen lo sama bang Yos. Enggak kali ini atau nantinya."

"Yaudah, enggak. Lagian lo dibawa serius banget sih. Gue kan juga cuma bercanda. Supaya lo enggak ngantuk lagi. Dari tadi gue lihat lo ngantuk banget abisnya."

Aini hanya menarik napas dalam, kemudian terlihat lesu kembali. Kantung matanya tidak bisa membohongi siapapun jika gadis ini sering kali begadang demi melakukan sesuatu. Dan Yasmin tahu sekali apa yang dilakukan sahabatnya itu sejak mereka sama-sama bertemu di satu jurusan yang sama.

"Nanti gimana kalau kita ke tempat makan yang baru buat itu? Yang kemarin gue kasih tahu lo."

"Nanti? Nanti kan gue mau ngerjain skripsi di perpus."

"Ya abis lo ngerjain skripsi."

"Ah, gue enggak ada duit, Yas. Lo tahu kan jatah jajan gue sehari berapa. Dan itu benar-benar udah gue irit buat beli buku. Sebelum-sebelumnya sih gue masih bisa pegang uang dari bantuin adek kelas buat tugas. Sekarang boro-boro. Uang gue udah menipis. Malu gue minta sama mak gue terus."

Yasmin lagi dan lagi terpaku mendengar kondisi sahabatnya. Dia sejujurnya masih harus lebih banyak bersyukur dibandingkan kondisi Aini. Keluarganya masih bisa menikmati banyak makanan enak. Bapaknya masih ada, dan bekerja dengan posisi yang cukup disegani. Belum lagi kakak perempuannya sudah bekerja di salah satu bank swasta, sehingga tidak lagi memberatkan kedua orangtuanya. Tinggal dia di sini yang masih menjadi merengek pada ayah dan ibunya. Meminta dibelikan buku sampai bensin untuk motor yang dia pakai ke kampus.

"Gue yang bayarin. Cuma tungguin gue, agak sorean atau malam paling ya. Karena gue ada kelas jam 4 sore nanti."

"Ah ... kelas jurnalistik dakwah semester kemarin ya?"

"Hm. Nilai gue jelek."

"Ya udah semangat masuk kelasnya. Jangan jelek lagi nilai lo. Biar bisa skripsian juga."

"Gue tau lo udah skripsi duluan. Cuma nanti lihat kita wisuda barengan."

"Aamiin."

Yasmin sadar inilah yang dia sukai bersahabat dengan Aini, karena gadis ini terlalu polos dan apa adanya. Jika dia merasa itu buruk, dia akan merasa tidak suka. Sekalipun dalam konteks bercanda. Namun jika apa yang Yasmin katakan hal baik, maka Aini akan mendoakan paling cepat.

"Jam 7? Gimana? Sekalian makan malam di sana?"

"Beneran ditraktir gue?"

"Iya."

"Oke. Cuss ...."


Nuraini orang yang paling perhitungan dengan uang. Paling suka ditraktir. Dan enggak suka dicap jelek sama orang lain

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro