Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 21 - Cantiknya calon mantu

Masih ada yang baca?

Yah.. sudah lewat setengah jalan.. Semoga masih betah... Disabarin yaa..


-----------------


Keluarga kita memang berbeda, karena kalau sama, namanya kita saudara.

"Aini ...."

"AINI ...."

Suara teriakan bang Yos terdengar memecahkan telinga Aini dan Yasmin yang tengah sama-sama berbaring di atas ranjang beralaskan kasur kapuk, dalam kamar Aini. Ingin bergerak membuka pintu kamar, Aini rasanya malas sekali. Hingga Yasmin lah yang melakukannya.

Setelah membalut asal kepalanya dengan kerudung, Yasmin membuka pintu kamar itu. Di hadapannya berdiri tinggi menjulang bang Yos, yang memberikan tatapan tajam pada Aini.

"Abang maimbau dari tadi indak tadanga? Lai nan tibo tuh dimuko."

"Sia?"

"Pak Adi namanyo. Itu supir laki-laki nan patang tuh."

"Supir?" Aini mengulangi. Dan ingat kondisi tadi siang, setelah dzuhur dimana dia pulang ke rumah diantarkan supir pribadi milik Guntur.

Lalu kenapa sore ini supir itu datang lagi?

"Pakailah tikuluak kau dulu, hah."

"Iya ... iya."

Terburu-buru memakainya, Aini terlihat hancur. Namun sedikitpun Aini tidak peduli akan tampilannya saat ini. Dia hanya penasaran mengapa supir yang tadi mengantarkannya dia pulang datang kembali? Apa jangan-jangan supir itu meminta uang bensin karena sudah mengantarkan Aini sampai ke rumah. Ataukah ada hal lain yang belum tuntas dikerjakan supir itu kepadanya.

"Assalamu'alaikum."

Pak Adi langsung berdiri ketika Aini mendatanginya. Supir itu langsung tersenyum merasa tidak enak karena harus bolak balik menemui Aini. Akan tetapi karena kali ini perintah dari nyonya besar, mau tidak mau dia harus menjalaninya.

"Wa'alaikumsalam, Mbak. Maaf saya datang lagi."

"Loh, tadi kan Bapak enggak datang. Tadi Bapak anterin saya pulang."

Aini menjawabnya dengan riang, seperti karakter Aini yang dikenali oleh pak Adi. Sangat simple dan bisa membangun mood ketika berbicara dengannya.

"Ah, iya. Maksud saya ... kedatangan saya ke sini ingin ...." Tidak jadi menyelesaikan kalimatnya, bang Yos terlihat bolak balik, memantau ada gerangan apalagi antara adiknya dengan laki-laki itu. Sampai-sampai supirnya yang diminta untuk datang kemari.

"Bang Yos. Sana gih. Nguping aja!!"

Yos mendelik sebal. Namun tetap menuruti kata-kata Aini. Dia keluar dari rumah, membantu ibunya untuk menutup warung kecil yang berada di depan rumah mereka.

"Begini, Mbak. Saya datang ke sini karena diminta sama ibu. Ibunya mas Guntur mau ngajak mbak Aini makan malam hari ini. Bagaimana, Mbak?"

"Ah? Sekarang banget?"

"Iya, Mbak. Saya datang untuk menjemput mbak Aini."

"Kira-kira ada apa ya, Pak? Saya ngerasa enggak enak nih."

"Enggak ada apa-apa, Mbak. Si ibu orangnya baik banget. Saya yakin mbak Aini juga bisa merasakan kebaikannya."

"Ah, gitu, kah?"

"Iya, Mbak. Kalau boleh, Mbak bisa langsung bersiap-bersiap. Saya tunggu di depan ya, Mbak."

"Ta ... tapi?"

"Sudah, Pak. Ditunggu 30 menit, eh, 15 menit aja. Nanti saya dandani Aini biar jadi kayak bidadari."

Dari kamarnya, Yasmin muncul, dan langsung bertindak karena dari yang ia dengar, Aini seperti tidak merespon dengan baik kata-kata yang pak Adi katakan. Padahal supir ini hanya ditugaskan oleh majikannya untuk menjemput Aini di rumah.

"Yas, apa-apaan sih?"

"Sudah ya, Pak. Mohon ditunggu."

Menarik tangan Aini cepat, bibir gadis itu sempat meringis karena langkahnya yang masih terbatas diburu-buru oleh Yasmin. Bahkan setelah menutup pintu kamar, pakaian Aini langsung dibantu buka oleh Yasmin.

"Eh ... eh, apa-apaan sih?"

"Kenapa sih, Ai? Emang salah kalau gue bantu lo ganti baju."

"Ganti baju gimana sih?"

"Duh, Aini ... Aini. Lo enggak paham juga apa arti undangan ini? Ini artinya wajib ngegas, enggak perlu tengok kanan kiri lagi. Keluarganya udah nerima lo apa adanya gitu. Udahlah lo enggak perlu mikir yang aneh-aneh lagi. Sekarang jalani aja sebagai Aini yang manis. Yang siap untuk dipetik."

"Dipetik? Lo pikir gue bunga."

"Iya. Lo bunga bangke. Karena belum mandi. Anak gadis mana udah sore gini belum mandi. Hadeh."

Aini mencolek pinggang Yasmin yang terlihat ribet sendiri mempersiapkan dirinya. "Heh, ngaca? Lo juga belum mandi."

"Kan gue lagi di rumah lo. Udah buruan mandi."

Melihat pakaian atasnya sudah terbuka, Aini menatap Yasmin kesal. "Lo udah bukain pakaian gue, tapi lo enggak sadar kan kalau kamar mandi gue di belakang. Yang itu berarti, gue harus keluar dulu. Lewatin ruang tamu, ke dapur, baru ke kamar mandi di sampingnya. Kalau gue udah lepas pakaian dari kamar, gue harus bugil gitu keluar?"

Menarik napas dalam, lalu mengembuskannya. Yasmin merasa iba melihat kondisi ini. "Ya, maaf deh. Soalnya kamar gue nyatu sama kamar mandi. Jadinya ... yah, pokoknya lo harus siap-siap sekarang. Jangan biarin ayang Guntur nunggu."

"GILA!!" Sambil memakai pakaiannya kembali, Aini membawa baju ganti, lalu handuk keluar dari kamar ini. Dia melirik Yasmin sekilas, lalu bertanya pada sahabatnya itu.

"Kalau gue pergi, lo pulang, dong?"

"Enggak. Gue nginep. Ya pulang lah. Lo kan enggak setuju gue sama bang Yos, yaudah, gue balik setelah lo selesai semua."

"Ya ... ya. Jangan sampai lo mau sama bang Yos."

***

Aini tidak bisa menutupi perasaan kagumnya ketika dia melangkah masuk ke rumah mewah ini. Sepatu kuliahnya yang kotor, sengaja dia lepaskan, kemudian Aini taruh di bawah meja kecil agar tidak mengotori lantai indah yang dia injak saat ini.

Maklum saja di rumah Aini, hanya ada peluran semen di bagian dapur, lalu ruang tamu dan kamar, dipasang ubin teraso zaman dulu, yang warnanya saja sudah tidak jelas.

Karena itulah ketika kedua matanya melihat mengkilap-kilap dari lantai yang ukurannya tidak bisa Aini kalkulasi karena tidak ada garis tepinya, Aini merasa begitu indah rumah ini.

"Assalamu'alaikum." Salam hormat Aini ucapkan ketika langkahnya terhenti di ruangan makan yang besarnya sama seperti rumah tempat tinggalnya. Beberapa orang di sana kompak melihat kedatangan Aini. Namun salah satu di antaranya entah mengapa langsung tersenyum mana kala manik mata mereka bertemu.

"Wa'alaikumsalam. Pasti ini yang namanya Nur'aini."

Mengunci mulutnya rapat. Aini kaget ketika perempuan paruh baya itu tahu nama lengkapnya.

"Benarkan, Nur'aini?"

"Panggil Aini aja, Bu."

Setelah perempuan itu berdiri di depan Aini, buru-buru gadis itu menunduk. Aini langsung mencium punggung tangan perempuan itu.

"Masya Allah cantik banget."

Gamis panjang yang menjadi pilihan Aini menambah kecantikannya. Dengan warna hijau soft, membuatnya terlihat fresh dengan tampilan anak muda.

Sebenarnya tadi Aini ingin memakai kemeja serta celana jeans saja untuk datang atas undangan makan malam ini. Namun dengan segudang penilaian Yasmin yang merasa kurang sopan bila Aini memakai celana, akhirnya gadis itu menurut saja.

Akan tetapi setelah Aini pakai, dan berkaca melihat tampilannya, Aini paham mengapa Yasmin memilihkan pakaian ini untuknya. Pakaian lama yang jarang sekali dia pakai.


Karena dari pakaian ini Aini terlihat sangat manis. Seperti karakter ganas dan brutalnya pada Guntur selama beberapa hari kemarin lenyap tertutupi gamis simple ini. Bahkan sebuah pujian atas kecantikannya langsung Aini dapatkan ketika dia bertemu dengan perempuan paruh baya ini yang dia yakini adalah ibu dari Guntur.

"Pertama-tama, ibu kenalan dulu ya. Saya ini ibunya Guntur. Dia itu yang tadi sambut kamu di depan. Dengan peci dan sarungnya." Terkikik sejenak, Aini merasa dia ditatap kembali oleh perempuan di sampingnya ini. "Sebenarnya ibu mau minta maaf juga sama kamu. Kamu pasti kaget karena dijemput pak Adi secara mendadak. Sebenarnya memang makan malam ini benar-benar enggak direncakan sama sekali. Tadinya kakaknya Guntur yang namanya Esta mau ketemu Guntur hari ini. Tapi karena seminggu lagi mau puasa, kenapa enggak sekalian aja, kan."

"Lagi juga, kemarin ibu enggak sengaja baca pesan kamu ke Guntur, dengan nama yang disimpan sebagai korban tabrak sepeda, jelas ibu jadinya khawatir. Setelah tanya-tanya sama pak Adi, akhirnya ibu tahu kalau Guntur sudah menabrakmu sampai masuk rumah sakit. Karena ibu ngerasa bersalah juga, atas kelakuan anak ibu yang enggak hati-hati, jadinya ibu ajak kamu untuk makan malam bersama."

Melirik Guntur dan Aini secara bergantian, senyum dibibir ibu tidak sedikitpun lenyap. Bahkan karena dia tahu kaki Aini masih sakit, buru-buru dia meminta Aini duduk di meja makan. Tepat berhadapan dengan posisi duduk Guntur.

"Kalau gitu, duduk dulu ya, Nak. Ibu siapin dulu semuanya. Sambil nungguin kakaknya Guntur datang."

"Biar Aini bantuin, Bu."

Berusaha untuk berdiri dengan tergesa-gesa, Aini malah merasakan luar biasa sakit di kakinya.

"Akh...."

Refleks Guntur yang begitu cepat bergerak ke arah Aini malah menjadi hal menarik dimata ibunya. Ternyata anaknya sudah benar-benar dewasa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro