Bab 17 - Ada apa dengan diri ini?
Skuyyy. Jangan lupa vote dan komen pokoknya.
Kalau enggak, Aini aku tarik dari wattpad
------------------------
Yang kupelajari selama ini, bila aku menginginkan maka akan kuperjuangkan.
Diikuti sampai kampus. Itulah yang Aini rasakan kini. Dengan gerakan langkahnya yang tertatih, bayang-bayang Guntur terus saja membuntutinya sampai di depan ruangan dosen, di mana dia akan nemui dosen pembimbing skripsinya itu.
Walau Aini tidak mempedulikan keberadaan Guntur di dekatnya, namun mahasiswi-mahasiswi lain dari kelas karyawan, tidak henti membicarakan Guntur ketika laki-laki itu melewati mereka.
"Eh, ada Aini," sapa seorang dosen perempuan, yang terlihat akan bergerak menuju kelas yang akan dia ajar. Beberapa buku ditangannya semakin menegaskan Aini bila dosen yang pernah mengajarnya ketika di semester kemarin memiliki jadwal di hari sabtu pagi ini.
"Assalamu'alaikum. Pagi, Bu."
"Pagi. Cari siapa hayo? Tumben ke kampus di hari sabtu?"
Aini hanya tersenyum lebar. Dia lagi dan lagi melirik ke arah dalam, mencari keberadaan dosen pembimbingnya.
"Cari pak Benben, ya?"
"Iya, Bu. Ada enggak orangnya?"
"Belum datang kayaknya dia."
"Loh, masa, Bu? Dia bukannya ada kelas ngajar hari ini?"
"Memang sih. Cuma belum kelihatan orangnya. Ditunggu saja. Sambil kamu WA kalau kamu nungguin dia."
"Baik, Bu."
Melangkah pergi, dosen tersebut sempat ikut tersenyum ke arah Guntur yang berdiri di belakang Aini. Karena mendapatkan respon yang baik, Guntur pun tidak ragu melemparkan senyum serupa pada dosen tersebut.
"Ah, gimana sih tuh dosen. Aneh banget." Kembali melangkah dengan tertatih, Aini sedikit bergerak ke arah pojok lorong kelas, lalu dengan santai langsung menjatuhkan diri ke atas lantai sambil mengetikkan sesuatu pada ponselnya.
"Memangnya enggak janjian dengan dosen itu?"
Aini melirik bingung ke arah Guntur yang masih berdiri di dekatnya.
"Lo ngapain deh masih di sini? Lo kan udah nganterin gue, ya udah. Sana pulang."
Mengusirnya kejam, Aini kembali fokus ke layar ponselnya. Sekalipun Guntur tidak tahu apa yang Aini ketikkan pada ponsel milik gadis itu, namun Guntur menyakini satu hal yang sebenarnya sejak tadi dia ketahui. Ketika ia mencoba menghubungi Aini dengan aplikasi wa.
"Enggak usah daftar paketan data. Pakai hape saya saja."
Menyerahkan ponselnya pada Aini, lagi dan lagi gadis itu mendongak, menatap Guntur bingung. Kenapa hari ini dia kelihatan baik sekali?
"Lo kenapa deh?"
Sambil terkikik, Guntur terus saja menyodorkan ponsel berwarna hitam miliknya, dengan gambar apel di belakangnya.
"Kalau enggak kamu pakai tethering dari saya. Biar bisa kirim pesan ke dosen pembimbing kamu," sambung Guntur kembali.
Dia mengubah pengaturan ponselnya, lalu mengambil ponsel milik Aini. Dua kali Guntur mengetuk layar ponsel gadis itu dengan ibu jarinya, terlihatlah sebuah wallpaper foto Aini yang diambil dalam pose backlight. Akan tetapi bukan foto tersebut yang menjadi fokus utama Guntur, melainkan pada sebuah quotes yang tersemat dalam wallpaper itu.
"Kayaknya semua duit ada serinya, deh."
Guntur bergumam, Aini menatapnya tajam. "Enggak usah banyak komen!"
"Lagian aneh banget. Duit enggak ada serinya itu kayak apa?"
"Ih, bawel banget sih. Mau bantuin enggak?"
"Iya, dibantu. Sabar dong."
Berhasil men- setting wifi diponsel Aini agar tertaut padanya, Guntur tersenyum disaat mengembalikan ponsel tersebut.
"Bisa lo pakai langsung."
Menerimanya dengan sebal, Aini langsung terburu-buru mengetikkan pesan penting untuk dosen tersebut. Dengan kedua ibu jari tangannya yang terus bergerak lancar di atas layar ponsel, tatapan Aini tidak sedikitpun ia alihkan pada posisi Guntur yang masih berdiri di depannya.
"Kenapa?" tanya Guntur bingung.
"Enggak papa. Gue lagi jaga-jaga, siapa tahu lo jahat tiba-tiba mutusin sambungan wifi."
Tawa Guntur terdengar kencang setelah mendengar kalimat yang Aini katakan. Baru Aini, dan mungkin hanya Aini seorang yang bersikap seperti ini ketika diberikan sambungan wifi.
"Astaghfirullah al'adzim, perempuan macam apa kamu ini."
***
Di prank oleh dosen pembimbingnya, Aini menunduk lesu di lorong ruangan kelas, dalam kampusnya ini. Sudah bersusah payah untuk datang ke kampus dihari sabtu, dan dalam kondisi tidak sedang baik-baik saja, dia malah mendapatkan cobaan yang membutuhkan lebih banyak kesabaran. Padahal niat Aini, bila hari ini ia bisa bimbingan, dan mempercepat proses revisinya, maka awal bulan depan Aini akan ikut sidang skripsi kedua untuk bisa wisuda di tahun ini.
Namun sepertinya, jika kondisi dosen pembimbingnya saja sulit ia temui, sudah bisa dipastikan Aini harus membayar uang kuliah lanjutan karena gagal selesai di semester ini. Padahal keberadaan uang itu saja belum kelihatan sedikitpun. Lalu bagaimana kelanjutan dari kuliahnya jika begini?
"Mau didatangi ke rumahnya?" tawar Guntur.
Aini cemberut, membalas tatapan Guntur padanya.
"Dia lagi enggak ada di rumah kan katanya. Jadi enggak mungkin juga datangi rumahnya."
"Terus gimana?"
"Yah, batal." Mengungkapkannya dengan lesu, Aini melirik para mahasiswa dan mahasiswi yang melewatinya.
Para mahasiswa dan mahasiswi yang berada di kampus di hari sabtu entah mengapa jumlahnya jauh lebih banyak dibanding hari biasa.
Mereka-mereka yang sudah bekerja, atau memiliki pekerjaan, memang sengaja berkuliah dalam kelas karyawan, agar mudah mengatur waktunya. Namun disamping itu, ada pula mahasiswa dan mahasiswi yang datang di hari sabtu hanya untuk kumpul di ruangan sekretariat demi bermain bersama yang lain, atau membahas sebuah projek baru yang akan dijalankan oleh para UKM, atau Unit Kegiatan Mahasiswa.
"Besok dia enggak ada di rumah?"
"Enggak tahu."
Walau ditanggapi setengah hati oleh Aini, Guntur terlihat tidak menyerah sedikitpun.
"Coba kamu pastiin ke dosenmu itu, dia ada di rumah kapan? Kita kejar ke rumahnya saja."
"Kita?"
Mengangguk pelan. "Iya, kita. Saya bantu antarkan kamu sampai ketemu dengan dosen pembimbingmu itu. Anggap saja permohonan maaf saya."
Mencibir sebal, Aini berusaha untuk bangun dari posisinya, kemudian berjalan tertatih menuju masjid kampusnya.
"Minta maaf terus," gumam Aini sebal.
"Terus saya harus minta apalagi?"
"Minta doa sama Tuhan, biar gue bisa punya suami yang kaya raya, baik, dan sholeh!!"
Menghentikan langkahnya, Guntur hanya melihat sosok Aini melangkah menjauhinya, masuk ke dalam bagian perempuan untuk melakukan ibadah siang ini.
"Aneh."
Lagi dan lagi, kata-kata itu keluar dari mulut Guntur. Dia menggeleng tidak percaya, perempuan yang terus menerus ia katakan aneh, berhasil Guntur ikuti seharian ini, bahkan sampai Aini membawanya ke masjid.
Melangkahkan satu kakinya masuk ke dalam masjid, bibir Guntur bergumam pelan membacakan doa masuk masjid yang sering kali terlupa oleh orang-orang.
"Ayo silakan, Pak."
Seorang mahasiswa laki-laki menyambut Guntur dengan senyum. Dia bahkan mengarahkan Guntur ke posisi imam, yang masih kosong, padahal waktu dzuhur sudah terlewat.
"Saya?"
"Iya, Pak. Silakan."
Guntur menerimanya dengan ikhlas, entah mengapa pikirannya langsung tertuju pada Aini, yang berada di sisi sebelah, di mana bagian perempuan berada.
Jika Aini saat ini sudah berada diposisi akan sholat, maka secara tidak langsung, Guntur lah yang menjadi imamnya.
"Astaghfirullah al'adzim."
Beristighfar sebelum memulai sholatnya, Guntur malah menarik perhatian mahasiwa yang berada di belakangnya.
"Ada masalah kah, Pak?"
"Ah, enggak papa. Tolong rapatkan shafnya."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro