Bab 15 - Mati Langkah
Skuuuyyy, balik lagi nih. Walau yang baca dikit, gaskeun teruss...
Awas ye pada, giliran udah selesai, aku delete, terus minta direpost, aku sunatin satu-satu.
Sekali lagi, yuk bisa yuk, yang belum baca ceritaku di fizzo.
Kalian enggak kasihan sama aku? Udah nulis panjang-panjang difizzo, enggak ada yang baca.. Huhuhu..
Diwattpad bodo amat deh gak ada yang baca. Tapi ini, udah ada ketentuan, masa masih pada enggak baca juga. Syedihnya...
Yang belum mampir, yuk mampir dulu diceritaku, RAI
Aku yakin kalian bakalan emosi sih sama tokoh utama di sana. tapi tenang aja, yang bikin emosi bukan cuma dia doang kok. XIXIXIXI
MANAF RAIDU ---- EH SALAH
Ini dia cast tokoh utama, RAI
Ganteng, kan????
Inget yee, baca difizzo, GRATISSS. MALAH KALIAN BAKALAN DAPAT DUIT.
Nih.. Aku gak pernah baca, cuma login, cek penayangan aja, dapat 86 perak. Apalagi kalian baca 1-2 jam perhari, bisa dapat banyak. Ada yg sampai cairin puluhan ribu, dari ngebaca cerita doang. Gila kan.. yuk kapan lagi, baca dibayar. mumpung masih edisi yang baca dibayar, kalau udah gak edisi kayak gini, kan sayang.
------------------------------------
Kata siapa pertemuan pertama berakhir indah? Buktinya pertemuan kami malah berlanjut dengan derita.
Terjebak. Itulah yang Guntur rasakan kini. Ditatap oleh ibunya dengan penuh tanda tanya besar mengenai asal usul korban tabrak sepeda yang tiba-tiba saja mengirimkan pesan padanya berhasil membuat Guntur mati gaya.
Sebenarnya dia ingin sekali menghindari penjelasan ini. Dan menganggap bila tidak pernah ada yang namanya korban tabrak sepeda selama hidupnya. Akan tetapi semua itu tidak mungkin. Alasan apa yang bisa menghentikan rasa penasaran ibunya? Guntur rasa tidak ada.
"Jadi kamu hari ini menabrak seseorang?"
Kepala Guntur mengangguk pasrah. "Iya, Bu."
"Kenapa bisa kamu seceroboh ini? Ibu benar-benar kaget mendengar kabar ini. Bahkan pak Adi tidak memberikan info apapun pada ibu. Padahal ini hal besar yang perlu ibu ketahui. Ya Allah, Guntur. Sumpah ibu enggak paham bagaimana caranya ibu memberitahu kamu sekhawatir itu ibu padamu."
Kedua tangan Guntur mengepal. Dia ingin sekali berteriak, mengatakan, come on, stop treating me like a baby!
Namun dia tidak mungkin bisa mengucapkan itu pada ibunya sendiri. Tetap saja, ibunya bersikap demikian karena begitu menyayangi Guntur, yang merupakan anak laki-laki satu-satunya dalam rumah ini.
"Guntur ...." Ibunya memanggil kembali karena Guntur memilih diam saja sejak tadi.
"Aku pamit pulang dulu, Bu."
"Loh, kamu benar-benar enggak mau menjelaskan apapun lagi sama ibu mengenai kejadian hari ini?"
"Bu, semua baik-baik saja. Guntur juga sudah membawanya ke rumah sakit, dan bahkan dia sudah pulang ke rumah. She's fine, Bu!"
Melangkah pulang, demi menghindari serbuan pertanyaan dari ibunya, Guntur malah terlihat menggali bencananya sendiri. Ibunya tidak akan mungkin berhenti dengan rasa penasarannya sampai semuanya detail terjawab.
"Semua harus dihentikan, sebelum semakin melebar."
***
Gimana? Jadi dijemput enggak sama ayang Guntur.
Sebuah pesan menggoda dari Yasmin tidak sedikitpun ada niatan untuk Aini balas. Gadis itu teramat kesal karena mau-mau saja mengikuti saran dari Yasmin. Sampai-sampai meminta Guntur untuk menjemputnya dihari sabtu demi dirinya bisa bertemu dengan dosen pembimbing.
Dan lihatlah kini. Tidak ada balasan satu katapun dari Guntur. Bahkan ketika dibaca, sepertinya Guntur menghapus pesan itu, seolah lupa dengan dirinya.
Memang benar-benar keterlaluan. Awas saja Guntur, jika Aini bertemu dengannya lagi, laki-laki itu akan habis di tangannya.
"Pai kama kau?"
Berjalan tertatih, Aini keluar dari kamar, menyandang tas ransel berisi laptopnya demi bertemu dengan dosen pembimbingnya dihari sabtu. Memiliki dospem yang mengajar untuk kelas karyawan menjadi sebuah tantangan tersendiri untuk Aini. Karena mau tidak mau dospemnya hanya bisa ditemui setelah lewat jam 9 malam, atau dihari sabtu pagi, karena siangnya dosen tersebut ada jadwal mengajar untuk kelas karyawan.
"Hoi, pakak! Abang panggil-panggil indak danga!!"
Mendelik kesal, Aini akhirnya tidak bisa mengontrol kata-kata yang keluar dari mulutnya.
"Antok lah ang babi, jan banyak juo kecek ang lai!"
Terucap tak terkendali, Aini mendapatkan teguran keras dari ibunya. Sudah berulang kali ibunya memperingati Aini, untuk lebih menjaga tata bahasanya jika berbicara dengan kakak laki-lakinya. Akan tetapi semakin ke sini, setiap Yos bertanya baik-baik, Aini sering kali membalasnya dengan kata-kata kasar.
"Mak, danga apa yang Aini kecek!"
Mengadu seperti anak kecil, Aini tidak bisa membalasnnya. Tatapan marah dari ibunya yang sedang berdiri di depan pintu, samping warung kecil depan rumahnya, sudah seperti peringatan bagi Aini. Apalagi ditambah kakinya terasa amat sakit jika berlama-lama dipakai berdiri. Maka dari itu Aini memilih duduk sejenak di sofa jadul dalam ruang tamu rumahnya. Bibirnya merintih kesakitan.
"Aini, amak bingung harus bicara seperti apalagi padamu. Agar Aini paham, mana yang baik atau buruk."
"Rasakan, kau!!"
"Kau juga, Yos. Adik kau sendiri dibilang pakak. Kau yang buto. Adiak kau sadang sakik, kau batingkah sajo!!"
Kena diamuk keduanya, Yos dan Aini sama-sama mengunci mulut mereka rapat-rapat. Jika Aini menghindari semua kondisi menyebalkan ini dengan berpura-pura memakai sepatunya, Yos sendiri memilih keluar. Menjauh agar tidak terjadi keributan lagi.
"Kau!!"
Yos kaget melihat Guntur baru datang ke depan rumah mereka. Sedangkan respon ibu mereka terlihat bingung atas kondisi ini. Dia malah curiga, jangan-jangan biaya rumah sakit yang banyak kemarin, harus dibayar juga oleh keluarga mereka.
"Pagi, Bang."
"Pagi. Ado apo kau ... aish, maksudnya kenapa kau kemari?"
Guntur menyusun kalimat dalam pikirannya. Dia tidak mungkin menjawab karena diminta Aini untuk datang ke sini, seolah dia menjadi pihak yang terpaksa untuk datang. Padahal nyatanya dibalik semua itu ada hal penting yang ingin dia bahas dengan gadis itu.
"Saya mau ada hal yang dibicarakan dengan ... Aini."
"Mau bicara dengan Aini? Dia mau pergi tuh. Benar kalian janjian? Jangan-jangan kau mengejar-ngejar adikku saja."
"Yos!!!"
"Tenang, Mak. Yos cuma belain Aini sajo!"
Mendekati keduanya, Yos mendapatkan sebuah cubitan dipunggungnya ketika laki-laki itu tidak sedikitpun mempersilakan Guntur untuk masuk ke dalam rumah.
"Ada tamu, disuruh masuk."
"Silakan masuk dulu, Nak. Itu di dalam ada Aini sedang pakai sepatu."
Tepat sekali waktunya. Guntur menyetujui ketika disuruh untuk masuk ke dalam rumah sederhana ini.
Dengan kondisi rumah yang dipepet sisi kiri, kanan, depan dan belakang, membuat Guntur merasakan udara pengap dari dalam rumah Aini. Bahkan sinar matahari yang kini sudah menyala terang, sama sekali tidak masuk ke dalam bagian rumah.
"Loh ...." Aini meresponnya kaget ketika sadar Guntur datang.
Dia bahkan mengusap kedua matanya sejenak, memastikan benar-benar Guntur yang datang saat ini.
Berjalan tertatih, Aini menyandang tas ranselnya, mendekati Guntur yang berdiri di depan pintu masuk rumah.
"Lo beneran datang?"
"Iya. Belum terlambat, kan?"
Mendapatkan tatapan curiga dari ibu dan abangnya, Aini menggeleng. "Belum. Ayo jalan."
Melewati Yos dan ibunya dengan sangat perlahan, Aini pamit pada keduanya. Tidak ada penjelasan untuk ibu dan abangnya. Karena Aini yakin mereka seharusnya sudah paham, setiap sabtu, Aini harus bimbingan dengan dosennya untuk membahas skripsi.
Karena itulah sebenarnya Aini kesal dengan Yos yang sejak tadi sengaja memancing keributan. Bukan sekali dua kali, Aini pergi di hari sabtu, membawa buku dan laptop demi bisa menyelesaikan skripsinya. Namun tingkah Yos tadi, seakan-akan dia tidak tahu rutinitas Aini untuk beberapa waktu belakangan ini dihari sabtu.
Memang menyebalkan abangnya itu.
"Saya pamit dulu ya, Bu, Bang."
"Hati-hati."
Mengejar langkah tertatih Aini, Guntur dengan sengaja menarik tali ransel gadis itu. Mengambilnya dari bahu Aini, agar Guntur bisa membantu untuk membawakannya.
Sambil melewati gang-gang sempit, yang hanya bisa dilalui motor saja, mereka berjalan dengan sangat perlahan menuju lapangan bulutangkis, di mana Guntur memarkirkan mobilnya saat ini.
"Gue pikir lo enggak akan datang."
"Saya juga tidak mau datang."
Terdengar kejam, Aini sampai menatap laki-laki bertubuh tinggi tegap yang berjalan pelan di sampingnya.
"Terus kenapa tiba-tiba datang?"
Guntur meliriknya. "Kenapa kamu tiba-tiba kirim pesan ke saya semalam?"
"Loh, gue kan cuma minta bantuan lo. Kalau lo punya hati sih pasti datang. Dan lo pagi ini datang, cuma sayang, gue rasa lo enggak punya hati."
Semakin kesal dengan tingkah Aini, Guntur benar-benar merasa menyesal mengapa dia datang, dan berharap Aini mau membantunya.
"Kenapa ekspresi lo begitu?"
"Saya rasa kamu yang tidak punya hati. Saya memang mengakui semua kesalahan saya, dan bertanggung jawab atas semuanya. Saya terima semua cacian, hinaan dari kamu. Tapi bukankah harusnya kamu yang malu. Kamu mengatakan saya tidak punya hati, setelah menikmati semua bantuan dan tanggung jawab dari saya. Apa tidak terbalik namanya?"
Guntur mengembalikan tas itu kepada Aini. Setelahnya, Guntur berjalan lebih dulu menuju mobilnya, dan membiarkan Aini berjalan sendiri di belakang.
Pikir Guntur, jika memang Aini tidak punya malu, dia akan tetap naik ke dalam mobil laki-laki yang sudah dia hina berulang kali. Namun jika tidak naik, Aini memang memiliki gengsi yang tinggi.
"Kalau dia masuk, gue bakalan minta maaf. Dan memintanya untuk menjelaskan semuanya pada ibu. Tapi kalau tidak ...."
Belum selesai Guntur mengatakannya, langkah Aini benar-benar melewati mobil mewah miliknya, lalugadis itu terus berjalan keluar dari gang-gang kecil itu, lalu menghentikanangkutan umum yang melintas di sana.
"Astagfirullah al'adzim. Kenapa jadi begini?" Memukul stirnya kuat-kuat, Guntur merasa dibuat tidak berkutik dengan gadis itu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro