Hoodie
“Usami-san, aku pulang duluan yah! Chef, aku pulang dulu. Konbawa (selamat malam), mata ashita (sampai besok).” Aiko membungkuk sedikit, kemudian mendorong pintu kaca kafe.
“Ki o tsukete (hati-hati), Aiko-chan.” Balas seseorang dari dalam kafe begitu pintu kafe tertutup.
Aiko mendesah sebentar, kemudian mengeratkan mantelnya. Udara di Akiba malam hari benar-benar sangat dingin. Meskipun, sudah hampir tiga tahun sejak kepulangannya kembali ke Tokyo, Aiko masih sulit menyesuaikan diri. Di Jakarta, udara sangat panas. Jika hujan pun, tidak sampai sedingin ini.
Aiko mendesah lagi sambil mengeratkan mantelnya. Dia mengayunkan tas tangannya dengan kasar sambil menggelengkan kepala kuat-kuat.
Drrrrtttt.....
Dia mengambil ponsel dari dalam tas dan melihat ada pesan masuk dari nomor yang tidak dikenalnya.
Allo Aiko!!
Why dont u reply my message?
Ar u bussy?
Aiko melihat ke panggilan tidak terjawab. Sudah hampir sebelas kali nomor itu menghubunginya.
Dia berniat untuk menelepon balik. Namun, segera diurungkannya niat itu. Jarinya bergerak di atas keypad dengan tangan merinding kemudian meng-klik send.
Who ar u?
Aiko berjalan pelan sambil menunggu balasan. Setelah sepuluh menit dia menunggu, tak ada balasan juga. Cewek itu kemudian menjejalkan ponsel dengan gantungan smiley ke saku celananya.
Aiko mendongak mengamati gedung-gedung yang menjulang tinggi di sekelilingnya. Akihabara belum juga menunjukkan tanda-tanda mengantuk. Bangunan-bangunannya masih berlomba-lomba menerangi kota Tokyo.
Dia berjalan bersama pejalan kaki yang lain. Kemudian dia berbelok ke arah gang kecil apartemennya. Jalanan di sini gelap sekali dan Aiko sangat takut suasana gelap. Suasana sepeeti itu membuatnya merinding dan otaknya mulai berpikiran macam-macam tanpa mampu dia kendalikan.
Aiko berjalan dengan langkah terburu-buru dan tersadar ada suara lain yang mengikutinya. Saat dia menengok ke belakang, Aiko melihat seorang laki-laki berkacamata dengan hood menutupi kepalanya tengah berjalan dengan kepala tertunduk. Laki-laki itu memasukkan tangannya ke dalam saku. Pandangan matanya tertuju ke bawah mengikuti gerakan kakinya. Sama sekali tidak menyadari kehadiran Aiko, sepertinya.
Aiko bergidik, kemudian dia mempercepat langkahnya. Apa laki-laki itu sedang mengikutinya? Aiko berbelok sekali lagi dan melihat gedung apartemennya sudah gelap gulita. Dia menghembuskan nafas dengan keras. Bagaimana ini? Aiko mencari-cari kunci apartemennya dari dalam tas tangannya dengan kasar. Dimana dia menaruh kunci itu? Aiko mencari ke dalam dompetnya dan tak menemukan apapun di sana.
Aiko berhenti di depan pintu apartemennya. Menggeledah tas tangannya lebih brutal. Dia menengok dan melihat laki-laki dengan hoodie tadi sedang berdiri di sampingnya. Membuat cewek itu mau tak mau mulai berpikiran macam-macam sampai bergidik sendiri.
Laki-laki itu mendongak dan seakan baru tersadar dimana dirinya berada, dia memandang berkeliling dan menoleh kearah Aiko yang keningnya berkeriut. "Emm, hello sist, can you speak english?"
Aiko mengangguk ragu-ragu.
Laki-laki itu tersenyum kemudian membuka pintu pagar apartemen. “Come in, I've opened the door. You want to come in, right?” Katanya masih memegangi pegangan pintu.
Aiko melongo. Bule dari mana ini? Sejak kapan di apartemennya yang kecil ini ada bule?
Mereka masuk ke dalam. Laki-laki itu berhenti di salah satu kamar apartemen yang setahu Aiko sedang kosong. Penghuni sebelumnya -sepasang suami istri muda- sudah membeli rumah baru beberapa bulan yang lalu di Kyoto.
“Oke, it’s my room, and you?”
Aiko tambah bingung. “Number 103.” Jawab Aiko sekenanya sebelum pergi berlalu.
"Hold on!" Teriak laki-laki itu, membuat Aiko menghentikan langkahnya dan langsung menoleh melewati bahunya. “Emm, sorry. What’s youre name sist? May I to know?” katanya sambil memutar kunci di lubang kunci.
Aiko menatapnya takut. “I was tired. I want to sleep. Good night.” Aiko kembali berjalan tanpa menengok lagi ke belakang.
Dia sempat berdiri beberapa saat di depan pintu kamarnya dengan bingung. Dia teringat kunci yang dimasukkan ke dalam mantelnya tadi pagi. Dia merogoh saku mantelnya dan benar saja, kunci yang mengkilap-kilap itu ada di sana bersama lembaran uang yen.
Ponsel yang dijejalkan di saku celananya bergetar. Sambil memutar lubang kuncinya, ia mengambil ponsel dan membuka flip. Ada balasan dari nomor asing tadi. Ia menutup pintu kamarnya dan melempar tas tangannya ke atas kursi berlengan pendek. Setelah menyalakan sakelar lampu, dia membaca pesan itu.
It’s me. Namiko Murakami. Did u still remember me?
Bibir Aiko melengkung dan ia tersenyum lebar. Tangannya bergerak cepat di atas keypad, membalas pesan dari teman chugakkou (SMP) nya.
Hey, Namie. Where ar u now? London?
No, i’am not. I’am in Akiba now.
Really?
Yeah, ohisasiburi, sist! Genki?
Aiko tercenung. Dia mengingat panggilan itu. Panggilan yang sama seperti yang diucapkan laki-laki tadi. Aiko tersadar dan membalas pesan itu.
Aku baik. Kamu gimana, Namie? Kapan kembali ke Jepang?
Sudah satu minggu yang lalu. Maaf aku baru mengabarimu sekarang, Aim.
No problem. Kenapa kamu balik lagi ke Jepang? Ada perlu?
Tadinya. Tapi kayaknya aku harus balik lagi ke London deh.
Aiko mengernyitkan kening. Ia merebahkan diri di atas futon.
Why?
Emm, yah, sebenarnya aku sedang bertengkar dengan pacarku. Aku nggak tau, sungguh, kalau dia mengikutiku sampai Akiba.
Kau sudah jadi penulis terkenal sekarang. Ku dengar novel Cherry Blossoms bahkan sudah menjadi best seller.
Soo.
Kamu ingin membuat tulisan baru di sini?
Tadinya.
Sudah. Jangan hiraukan pacarmu. Sebentar lagi Tokyo musim semi. Kamu harus menulis kisah cinta musim semi di sini.
Oh ya, kamu benar juga. Baiklah kalau begitu.
Sudah larut. Aku pergi tidur yah. Besok pagi aku masih harus kuliah.
Oke, sist. Oyasumi.
Aiko meregangkan otot-ototnya yang kaku, menutup flip ponselnya dan meletakkannya ke atas meja samping tempat tidurnya, kemudian memejamkan mata dan tidur tanpa berpikir apa-apa lagi.
_______________
Begitu pulang dari kampusnya, Aiko langsung menuju Maid Latte Cafe. Dia bekerja part time di sana. Salah seorang teman kuliahnya yang menawari pekerjaan ini padanya. Elaine. Tapi cewek itu sudah berhenti kuliah dan pulang kembali ke Perancis beberapa bulan yang lalu.
Akihabara memang terkenal dengan pusat perbelanjaan untuk barang elektronik dan menjadi surga otaku di bidang anime, manga, dan permainan video. Di tempat ini juga terdapat banyak Maid Cafe.
Setelah berganti seragam. Chef Yamato langsung menyapanya dan menyuruhnya bekerja.
“Baik, Chef.” Sahut Aiko bersemangat.
Chef-nya yang bernama lengkap Nizawa Yamato tertawa. Pribadinya memang sangat menyenangkan. Tapi, begitu ia sudah masuk dapur. Ke'sangar'annya dapat terlihat dengan jelas. Aiko juga suka ngeri sendiri. Pernah sekali dia dimarahi. Mau bagaimana lagi? Aiko memang gadis yang ceroboh. Meski pun begitu para pelanggan sangat menyukainya karena sifatnya yang periang. Nizawa Yamato sangat menyukai itu.
Aiko sedang membawa nampan ke meja yang ada di dekat pintu dan meletakkan gelas air putih ke atasnya. Dia baru akan membuka mulut untuk menyapa si tamu ketika laki-laki dengan hood menutupi kepalanya itu mendongak dan mata mereka saling bertatapan.
Aiko terkesiap.
“Konnichiwa (selamat siang), sir. What can I do for you?”
Laki-laki itu tersenyum lebar, kemudian membuka hood yang menutupi kepalanya. “Hei, we’re meet again. Emm, I’am sorry, I maked you little fear tonight.”
Aiko tidak menjawab. Sedikit? Dia tersenyum dan akan beranjak pergi ketika laki-laki dengan hood itu menahannya.
"Wait a minute. I’am Danniel. Danniel Frans. I want to know youre name. May I sist?" Laki-laki itu melepaskan cengkeramannya di pergelangan tangan Aiko. "I can’t speak nippon, of course. I’am from London.” Tambahnya, karena tidak mendapat tanggapan apa pun dari gadis bercelemek renda berwarna hitam yang berdiri di depannya.
London? Jari telunjuk dan ibu jari Aiko saling bertautan. Ia menatap laki-laki itu ragu. Kemudian dia membungkuk sedikit. “I’am Aiko Yukihiko. You can call me Aiko. I’am from Tokyo. Nice to meet you, Mr. Frans.” Setelah itu dia segera beranjak pergi. Karena maid lainnya sudah membunyikan bel berkali-kali.
“Apa yang kamu lakukan, Aiko? Mengobrol dengan bule? Dari tadi, bule itu cuma nunduk. Waktu kamu datang dan dia membuka hoodnya, ternyata aku baru tau, wajahnya tampan sekali. Seandainya aku pintar bahasa Inggris sudah aku ajak ngobrol itu bule. Apa dia bisa bahasa Jepang?”
Aiko melirik Shizuma Katsuhika sebentar. Gadis yang terkenal judes itu hanya bisa bersikap manis pada bule saja. Banyak turis yang sering mampir ke kafe ini. Tapi hanya manusia berstatus ‘bule’ saja yang menarik perhatiannya. Yue pengecualian, tentu saja.
“Tidak. Dia tidak bisa bahasa Jepang.” Katanya sambil meraih nampan yang disorongkan padanya.
“Kau tau siapa namanya, Aiko?”
“Tanyakan saja sendiri.” Aiko tersenyum-senyum sambil berjalan menjauh.
Sore ini kafe ramai sekali. Dan Aiko sangat sibuk. Dia merasa lelah dan ingin segera pulang. Beberapa hari ini Yue tidak menghubunginya. Sudah lama sekali rasanya sejak dia mendengar kabar tentang Yue dari pertemuan terakhir mereka saat tahun baru. Jangan-jangan Yue sudah pulang ke Hongkong?
Aiko menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemungkinan itu sangat kecil sekali terjadi. Ia meletakkan nampan itu ke atas mejanya dan mulai menyapa pelanggan. Sekilas ia melihat Jung Il Soo masuk ke dalam kafe diiringi denting bel pintu yang halus. Aiko tersenyum cerah. Kalau ini bukan di kafe dia pasti sudah menyerbu laki-laki itu dan mengamuk di hadapannya.
“Kemana saja kau?” tanya Aiko dengan mata berapi-api begitu ia mengucapkan kata sambutan 'okaerinasai, goshujinsama.'
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro