Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Week V: Alethiology

Disclaimer by Kouhei Horikoshi

"Tidak mencari keuntungan komersil apapun dari fanfiksi ini. Semata-mata hanya untuk kesenangan belaka."

Todoroki Shouto x Reader

Cek karyaku (Todoroki Shouto x Reader) yang serupa:
1. Nearly [chapter] → lapak sebelah
2. The Bound Ties di buku Into Pieces @collabofmiracle [oneshot]

Jika semesta bertanya apa itu jujur, kau hendak menjawab apa? Jujur menurut definisimu itu apa? Apa yang menguntungkan jika kau jujur?

Aku, Todoroki Shouto, mengernyit bingung mencari jawaban.

Jujur yang kutahu adalah mengatakan yang sebenar-benarnya. Orang waras pun tahu, aku juga tidak bodoh. Namun, bagaimana, ya ... ketika kau dihadapkan sesuatu yang sulit dan mencoba mempertanyakan apa yang kaurasa, itu membuatmu mempertanyakan arti jujur sendiri.

Aku telah melewati masa-masa sulit, pelik, dan penuh air mata, bahkan untuk jujur pada quirk dan siapa diriku sendiri sungguh sulit. Dalam kasus yang berbeda, tetapi dengan suasana yang rumit, mempertanyakan kejujuran lagi-lagi menimpaku.

Aku mendesah. Mataku bergulir ke samping mendapati anak-anak perempuan kelasku menjauh dari para lelaki. Dengusan napas dan ungkapan kekecawaan karena ditinggal anak perempuan kudapati dari teman-teman di depanku. Beberapa dari mereka tampaknya kecewa karena tidak bisa bersama dengan anak perempuan, terutama untuk Mineta yang paling ricuh sendiri.

Kedua mataku menangkap sosoknya yang tengah bercengkerama ria di sana. Sesekali tawa keluar dari mulutnya, membuatku makin tak mengalihkan pandang karena tawanya terlihat elok serta ... manis.

Dan karena itulah aku mempertanyakan tentang kejujuran.

Akankah aku jujur jika aku baru saja mengakui tawanya yang manis itu? Jangankan tawa, pahatan wajah serta rahangnya saja sudah cukup rupawan. Sorot mata yang menyendu, tetapi di sisi lain juga menghangatkan. Kilau rambut yang melebihi iklan sampo Uwabami saja sudah memberikan nilai tambah, aku yakin rambutnya itu mungkin saja sehalus sutra atau bahkan lebih dari itu.

[Surname] [Name]. Namanya apik juga seperti karakternya. Aku yakin jika saja ia lebih aktif dalam bersosialisasi, mungkin ia akan masuk ke deretan akun-akun sekolah khusus perempuan, semacam kampus cantik dan semacamnya. Dan jika aku tidak salah ingat, Yuuei mempunyai beberapa akun terkait yang dijalankan para murid. Yuuei Kawai? Ah, mungkin itu.

Namun, kadang aku sendiri tidak mempercayai apa yang aku katakan. Sulit untuk jujur setelah hatiku berucap yang sesungguhnya. Aku sendiri tidak mengerti, tetapi apakah mungkin aku menyukai [name]?

Aku menunduk sekaligus berpikir. Mungkin saja itu terjadi padaku, terlebih lagi gadis itu sangatlah baik. Aku bahkan tak bisa menghitung berapa kali gadis itu terbitkan senyum atau pun ulurkan tangan. Pernah kita dipertemukan dalam bentukan kelompok di beberapa waktu. Ia tersenyum antusias dan mengobrol denganku akrab. Aku akui akrab, tetapi baginya aku tidak tahu karena setiap berbasa-basi aku tidak mengubah ekspresiku.

Akan tetapi, seolah-olah sebagian diriku yang lain seperti menyangkal—menolak untuk terima kenyataan bahwa aku menyukai.

Oh... ini sungguh rumit.

Apa sebaiknya kukatakan saja padanya lalu dengarkan bagaimana tanggapannya?

Bukan ide buruk, tetapi ide yang konyol.

Tanpa sadar waktu berbelanja kita sudah usai dan kita berkumpul kembali di tempat awal; memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Aku saat ini tengah bersama [name], pulang menuju rumah kita masing-masing, tetapi karena arah rumah kita searah kita memutuskan untuk pulang bersama-sama.

Hingga ia membuka pembicaraan, buatku mendelik karena tertarik—terutama pada suara gemulainya. "Todoroki-san, tadi beli apa saja?"

Dalam sejenak, aku terpana. Suaranya lembut bak senar biola yang digesek perlahan. "Hanya sepatu dan peralatan untuk latihan," jawabku setelah tersadar dalam lamunan.

"Ohh... kalau aku sebenarnya cukup banyak, berhubung memang beberapa peralatan kubelum punya. Sebenarnya aku ingin mengajak kalian untuk makan sebelum pulang, tapi kalian sudah buru-buru pulang begitu, aku ya, jadi urung," ungkapnya seraya memainkan ujung-ujung rambut mengikal. Kebiasaannya. Setiap ketika ia ingin mengungkapkan sesuatu, gerak tangannya pasti refleks mengikalkan ujung-ujung rambut.

"Mau makan di kedai di dekat gang sini? Aku tahu tempat yang enak. Memang tidak bisa makan bersama yang lain, setidaknya ada aku yang bisa diajak," tawarku dengan tatapan yang lurus ke depan—tidak ingin menatap matanya. Aku sepertinya tidak akan sanggup, bahkan menahan rona saja susahnya minta ampun.

Oke, aku memang sering memujinya dalam hati, tetapi merasakan rona tertahan sebelum ini sama sekali tidak pernah.

"Tapi, bukan aku lagi yang mengajakmu, malahan Todoroki-san yang mengajakku," timpalnya sambil mengeluarkan tawa kecil nan singkat. Mendengarnya membuatku tak tahan untuk tidak menoleh, lantas dengan rasa penasaran kupalingkan wajah menatapnya yang setinggi telingaku.

Seperti dunia seakan-akan telah berhenti. Itu yang kurasakan. Aku juga tidak tahu mengapa, tetapi senyumnya layaknya mentari pagi yang menyapa, hangat dan silau. Aku terpukau serta tidak mengeluarkan sepotong kata pun. Dia lalu menggenggam tangan kiriku dan menyeretku agar ikut berlari bersamanya. Disentuhnya membuatku merasakan semacam kejutan listrik kecil yang begitu cepat sampai ke jantung. Kecepatannya melebihi aliran darah untuk sampai ke jantung. Jantungku dibuat berdetak lebih cepat dari seharusnya.

"Todoroki-san, mana kedai yang kaubilang tadi?" tanyanya sambil celingak-celinguk, mencari kedai yang kusebut, dan sesekali wajah nan rupawannya menoleh padaku.

Sepertinya, aku harus kembali belajar untuk jujur sebelum mencoba meraih tangannya.[]

Alethiology — END

[A/N]

Wihhh, kali ini Shouto yang suka guys! Jarang-jarang 'kan, aku pake POV ini hahahaha. Kali2 kucoba memahami perasaan lelaki wkwk

31 Des 17

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro