Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

27. Alihwahana Cerita Fantasi ke Film

Judul: Alihwahana Cerita Fantasi ke Film

Pemateri: Andra Fembriarto (IG: studioamarana)

Waktu: Sabtu, 28 Maret 2020





Kebanyakan orang terbiasa menyebutkan film-film barat yang sudah terkenal seperti LOTR, Game of Thrones, Narnia, atau Harry Potter. Akan tetapi, tahukah kamu tentang film fantasi lokal yang sarat akan bau Nusantara?

Andra Fembriarto adalah seorang pembuat film dan cerita fantasi Nusantara. Film-filmnya di antaranya Cayasukma (masuk dalam omnibus film Dongeng Mistis 2018), Utan Rambutan (Nominasi Piala Citra 2019), dan Pohon Penghujan (Nominasi Piala Citra 2013). Saat ini, Kak Andra sedang menulis novel berjudul Tapak Air dan Marangka (Asal Muasal Sepucuk Bunga Bangkai). Keduanya merupakan kisah fantasi yang kental dengan suasana Nusantara.

Lalu, seperti apa perjalanan Kak Andra dalam menapaki Nusantara dan menghadirkan kisah-kisah lokal? Serta perbedaan pengerjaan cerita fantasi dan film fantasi?

Simak pembahasan lengkapnya dalam diskusi online pekan ini yang bertema "ALIHWAHANA CERITA FANTASI KE FILM" oleh Kak Andra Fembriarto, pemilik akun storial @semestaandara dan @studioamarana.

========================

SESI MATERI

Seperti yang tertera di e-flyer-nya, malam ini aku mau cerita-cerita tentang pengalaman mengalihwahanakan kisah-kisah fantasi saya ke dalam bentuk film pendek. Cita-citanya sih suatu saat, suatu saat, nanti ... bisa bikin film kayak Lord of The Rings. Atau, kalau gak muluk-muluk, kayak Wiro Sableng (meskipun itu masih lumayan muluk sih, hehe).

Nah, dari cilik (kecil) aku memang maunya jadi sutradara film. Gara-gara waktu umur 11 diajak nonton Star Wars sama Ayah. Haha klasik sih alasannya, yah. Soalnya banyak banget film maker yang jadi sutradara gara-gara Star Wars. Pokoknya pas lihat dunia Jedi dan angkasa penuh pesawat-pesawat--bang bang, pow pow, jder--aku jadi ngebayangin cerita-ceritaku sendiri. Maka, terpanggilah aku oleh buaian dewa-dewi film.

Memang awalnya aku banyak bikin komik-komik di buku catatan sekolah, tapi inspirasinya kalau selalu dari Starfox, LOTR, Dragon Ball, Conan. Nah, sampai suatu saat di SMA, aku jadi tergerak oleh panggilan lain. Mungkin oleh roh-roh nenek moyang zaman Majapahit kali ya, hehe. Soalnya perlahan-lahan aku jadi suka bikin gambar-gambar yang dipengaruhi oleh Majapahit dan Mahabarata. Tapi, masa itu gak lama sih. Soalnya aku ngerasa aku sebenernya gak tau-tau banget tentang kedua hal itu. Dan, setelah mulai mendalami cerita-cerita wayang dari komik-komik RA Kosasih, aku pun gak tau kenapa gak terlalu menekuninya lagi.

Akhirnya setelah kuliah, aku seperti terpanggil untuk ketiga kalinya. Kali ini oleh Sensei Hayao Miyazaki. Aku suka banget Princess Mononoke. Aku suka nuansa Jepang yang terbangun dalam kisah fantasi yang bener-bener baru.

Eh, di saat bersamaan, aku juga udah kepincut sama film-film LOTR sih, dan filosofi-filosofinya Tolkien. Intinya, aku seneng dengan usaha mereka memperkenalkan budaya asal mereka dalam bentuk fantasi.

Naaah, akhirnya aku pun juga tergerak untuk mengolah budaya-budaya nusantara (bukan cuma Majapahit dan Mahabarata) menjadi sesuatu yang baru. Dan, aku tahu, aku harus banyak belajar tentang nilai-nilai yang ada di nusantara dulu sebelum bikin cerita-ceritanya, supaya cerita fantasiku bisa kental dengan suasana nusantara. Itu tahun ... 2006? 2007? (Haha aku boomer). Cuma saat itu aku gak tau nilai apa aja yang dimaksud dengan nilai nusantara?

Lalu, suatu saat aku lihat foto temenku di FB yang baru jalan-jalan dari Gunung Tangkuban Perahu. Ada satu foto di mana yang keliatan cuma ada jalan setapak menuju sebuah bukit dengan tangga berundak. Dan, jalan itu menuju suatu tempat penuh kabut. GONG! Saat itu juga aku tahu aku mau buat cerita-cerita seperti apa.

Bahwa dunia Nusantara ini dekat dengan yang kita semua rasa sebagai alam lain, atau mungkin bisa disebut dengan mistis. Tapi , mistis yang aku rasa saat melihat foto itu bukanlah mistis horor, tapi mistis yang memesona--wonder. Aku gak mau takut dengan alam lain itu, aku ingin berkenalan dan menghormatinya.

Kalau dipikir-pikir, rasa itu adalah apa yang dirasakan Ashitaka saat bertemu dengan Forest God. Atau, saat Frodo masuk realm-nya Galadriel. Aku rasa siapa pun yang pernah jalan-jalan ke gunung atau ke tengah laut akan pernah punya perasaan seperti itu. Nah, perasaan itulah yang aku ingin masukkan ke dalam cerita-ceritaku. Di waktu yang bersamaan, sebenernya aku pun udah buat film-film pendek. Tapi, belum ada yang menyentuh perasaan itu.

Aku pun mulai menulis cerita-cerita dalam jagat bayangan nusantara itu di tahun 2010-an. Mulai dari Marangka (yang notabene mau aku terbitkan hari Senin besok di Storial). Awalnya aku mau buat cerita yang rasanya kayak cerita rakyat, tapi dengan gaya penceritaan yang lebih mudah dicerna anak-anak sekarang.

Terus aku nulis ide-ide untuk Tapak Air, kisah suku-suku laut. Nadian, kisah roman yang tergugah oleh lagu Hujan Deras-nya Sujiwo Tejo. Nah, ini semua belum aku jadiin tulisan karena aku pun bukan penulis. Sebenernya aku filmmaker.

Butuh sampai 2013 di mana aku baru mencoba bikin film drama fantasi yang judulnya Pohon Penghujan. Lalu di tahun 2017 dengan film Cayasukma (ini film yang lebih “fantasi lagi). Dan, butuh sampai 2020 di mana aku akhirnya memutuskan, aku tulis dulu saja dalam bentuk prosa dan terbitkan secara daring.

Untuk kenapa namanya Amarana. Itu--ada deeeh, haha. Terjawab dalam kisah Nadian, arti Amarana itu apa. Tapi, yang pasti, Amarana merujuk pada sesuatu yang bisa dianggap berkah sekaligus kutukan. Semesta cerita yang aku buat dalam seri Rampai Khayalan Kirana Amarana memang hampir semuanya punya dualisme itu. Artinya, aku suka lihat sesuatu dari dua sisi. Mungkin lebih tepatnya, gak bisa move on kalau sudah jatuh cinta sama sesuatu. Hahaha.... Mungkin karena mirip dengan nama asliku Andara kali yah--Amarana ... Andara.

O, iya.... Aku kalo bikin film tujuannya:
#1 Harus menghibur,
#2 Semoga bisa bercerita sesuatu yang baru,
#3 Lebih semoga lagi bisa menggugah hati penonton/pembaca

Semua filmmaker tanpa terkecuali pasti akan bermula dari temen-temen atau keluarga yang kita minta (ehem, paksa) untuk ikut ngekru, hehe . Dulu yang jadi objek penderita adalah adik sendiri. Terus beranjak ke temen-temen kelas. Terus pas kuliah komunikasi ..., mulai cari temennya temen. Terus pas udah ncebur dunia industri ..., mau gak mau harus cari tenaga profesional.

Untuk orang yang cenderung introver sepertiku, sangat seram untuk minta bantuan orang yang belum aku kenal. Apalagi yang profesional. Tapiii, itu mau gak mau sih, kalau kita mau jadi pembuat film. Atau, seniman yang seninya butuh bantuan banyak orang. Jadi lama-lama belajar dengan sendirinya untuk bergaul dengan orang. Nah, hal ini yang tidak diajarkan di sekolah/kampus: Networking. Padahal ini bisa dibilang nomor satu kalau mau jadi filmmaker.

Untuk film Pohon Penghujan, itu aku buat dengan teman-teman dan orang-orang yang aku kenalan pas kerja di projek profesional sebelumnya. 50-50 lah kalau dilihat jumlahnya. Ada yang namanya pepayung. Inspirasinya dari suatu hari jalan-jalan sama temen di kompleks, terus ada pohon pepaya. Dan, dia kebetulan nyender ke pohon itu. Langsung deh, wah, harus ada nih visual itu di film Pohon Penghujan, hehehe.

Daripada novel, buat aku lebih gampangan bikin film, hahaha. Kalau bikin naskah film itu ada formatnya. Jadi kita tinggal ikutin itu aja. Dan, kita nulis dalam bahasa yang visual, bukan yang bersayap-sayap/deskriptif. Karena siapa pun yang baca naskah kita harus bisa ngebayangin visualnya seperti bagaimana dengan mudah. Jadi kalau udah bikin naskahnya, aku bisa adaptasi jadi storyboard. Atau, dalam kasusku, foto-storyboard (jadi pake foto, bukan gambar). Terus itu akan bantu produksi. 
Nah, bikin film bikin banyak gerak badan dan kita dituntut banyak problem solving, aku suka itu. Geraknya bisa cepat. Kalo nulis novel, entah ya, aku baca tuh sebenernya leleeet banget. Baca novel 200 halaman bisa sebulan loh. Beneran. Apalagi nulis. Soalnya prosa ‘kan ya, itu, harus bagus tulisannya. Dan, kebetulan, waktu sekolah Bahasa Indonesiaku cukup 60 dan 70 saja. Dapet 80 udah bikin pesta rakyat kali.
Makanya novel Marangka-ku itu, karena sudah bertahun-tahun susah dapet produser yang mau bantu realisasikannya. Akhirnya naskah 120 halaman, aku mau jadikan bentuk novel aja dulu. Itu 2017. 2020 masih belum kelar. Cuma lucunya, aku kalau nulis novel cenderung over-deskriptif. Intinya kalau baca novel ini, harapannya orang-orang akan penasaran ini inspirasinya dari budaya mana aja sih. Terus abis itu cari tau sendiri. Soalnya itu yang aku alami pas nonton LOTR. Aku jadi apresiasi budaya Eropa karena itu.

Nah, film Cayasukma itu, ceritanya sebenernya diambil dari suatu flashback dalam kisah Marangka. Aku bikin Cayasukma sebagai proof of concept nanti Marangka kalau dibuat film jadinya seperti apa. Memang itu sesuatu yang lumrah di dunia film. Kita bikin film pendeknya dulu untuk yakinin investor dan produser. Hahaha ini nih. Sebenernya paling ruwet adalah mendapatkan kepercayaan investor dan produser. Ruwet untuk aku karena ini bener-bener harus main politik. Harus jago ngomong. Aku kurang bisa begitu, huhu.

Kalau tantangan cari lokasi, Memang susah. Tapi, menyenangkan. Contohnya untuk Pohon Penghujan dan Cayasukma. Pohon Penghujan dulu. Kan ceritanya berkisar di satu pohon saja tuh. Ceritanya, ada satu pohon di tengah lahan yang luaaas. Di Jakarta bisa nemu itu di mana yak? Aku bener-bener ncari ke mana-mana. Sampai Cibubur (perkemahan), Bogor, BSD. Ada satu tempat di Senayan, tapi gak bisa, karena lahannya milik orang bermasalah, haha.

Nah itu setelah cari ke mana-mana. Aku kan dulu tinggal di sekitar Blok S tuh. Akhirnya aku nemu pohonnya di tengah-tengah lahan yang abandoned gitu. Di Tendean, blok S ke Tendean itu  2 km. Hahaha, jadi udah ke Bogor, nemunya di sebelah rumah.

Begitu pula pas cari lokasi untuk Cayasukma. Tantangan utama Cayasukma adalah, lokasinya harus dibuat. Karena bentuknya harus seperti rumah di NTT, bambu atau kayu gitu. Nah, aku udah siapin dana untuk bikin lokasi padahal. Terus pas aku cari-cari lokasi untuk eksterior yaitu hutan, aku iseng ke taman kota di BSD. Dan ternyataaa, di situ ada musala yang dibuat pakai bambu. Kebetulan bangeeet. Dan musalanya gak dipakai. Ya wis (ya udah), aku pakai itu aja, haha. Sabar? Aku lempar mangkuk bakso sih waktu itu.

Nah, cari lokasi itu hanya sebagian dari perjuangan. Sebagiannya lagi, minta izin. Aku beruntung banget waktu itu. Lokasi Pohon Penghujan ternyata masih murah. Delapan ratus ribu untuk tiga hari. Soalnya masih milik Pak Haji siapaaa gitu. Dan, yang di Taman Kota BSD, itu lahan yang dikelola sama Akademi Bambu Nusantara. Bagi teman-teman yang ingin belajar tentang bambu dan arsitektur bambu silakan loh kunjungi mereka, hehe). Akhirnya anggaran aku untuk bikin set kepotong 2/3. Karena aku tinggal bikin interiornya aja.

Mari ke materi suara. Suara itu sangat penting. Karena saat shooting, baik di Tendean maupun BSD, suaranya berantakan buanget. Bajaj, motor, kopaja. Nah, itulah fungsinya musik dan sound design, untuk membentuk aura itu. Jadi pas mempersiapkan filmnya, fase antara naskah selesai dan produksi, kita udah harus mikirin suasana suaranya gimana, untuk bentuk aura itu. Sayangnya, banyak filmmaker yang gak telralu peka akan hal itu. Aku pun begitu pas pertama kali belajar bikin film.

Nah, kalau di novel kan kita bisa nulis, di teras rumah itu penuh kicau burung, kalau film ini harus udah kita siapkan.  Kalau lokasi emang berisik, ya sudah gak usah berharap dapat suasana kicau burung. Suara burung kita tambahin aja nanti pas editing.

Suaranya bisa beli atau bikin sendiri. Semuanya. Tapi, memang kita harus tau format-format failnya. Jangan terlalu campur aduk. Contohnya mp3 dan wav, kualitasnya beda nanti. Meskipun aku pun juga melakukan campur aduk sih, hahaha--kalau kepepet.

Penarinya namanya Btari Chinta. Dia ponakannya Paramita Rusadi. Dia keren banget. Emang dasarnya penari. Dan, bisa nyanyi juga.

Kalau udah kepepet, semua teori out the window, haha. Sebenernya, film-film yang aku suka dan mau terus buat itu yah kayak Cayasukma itu.  Kenapa? Karena hatiku, eh jantung deng, berdebar tiap kali nonton behind the scene LOTR dan Star Wars. Kayaknya semua krunya … gimanaaa gitu. Kayak mereka bahagia gitu. Pas kena masalah produksi pun mereka seneng-seneng aja. Ada rasa perjuangan bersama.

Saat ini wadah untuk nampung film-film kita sekarang makin banyak. Dari yang film pribadi sampai ke yang komersial. Memang banyak rintangannya sih kalau mau ngejar yang komersil. Aku pun belum berhasil. Tapi, setidaknya sudah terbuka. Dan untuk fantasi juga udah terbuka juga.

Sayang sekali begitu, huhu. Sebenernya aku mau banget cuma jadi sutradaranya aja. Tapi, ujung-ujungnya nulis juga. Hahaha…. Sebenernya ikut produksi untuk lihat-lihat aja gak apa-apa juga sih. Banyak yang belajar dari begitu. Sebenernya udah banyak yang dipasang di Hooq, Netflix, atau Iflix. Kalau gak salah bisa bayar sepuluh ribu per hari untuk nonton sepuasnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro