Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sejenak Melupakan Kekacauan






Langit masih berselimut jingga keunguan, sementara matahari enggan menampakkan sinarnya. Suasana di Bandara Internasional Incheon berubah menjadi tegang, barisan militer bersenjata lengkap dan polisi berlapis rompi anti peluru berjaga di setiap sudut terminal. Kendaraan-kendaraan khusus dengan lampu berkedip biru dan merah terlihat parkir di dekat pintu keluar, menunggu kedatangan seseorang yang dianggap sangat penting.

Pesawat jet pribadi mendarat dengan mulus di landasan. Tangga pesawat diturunkan, dan dari dalamnya muncul seorang pria bertubuh tegap, mengenakan coat coklat panjang yang berkibar lembut terkena angin pagi. Wajahnya tampak tegas, dengan tatapan tajam yang menyapu lingkungan sekitarnya. Setiap gerakannya mencerminkan wibawa seorang pemimpin yang sudah terbiasa dengan tekanan.

Pria itu adalah Choi Damien, adik kandung dari Jenderal besar Zee Cho. Dikenal sebagai pemimpin Black Shadow, sebuah organisasi tentara bayaran elit yang kerap kali menjalankan misi-misi rahasia untuk pemerintah. Selama bertahun-tahun, ia menjalankan tugas di luar negeri, terakhir kali berada di Qatar untuk menyelesaikan konflik bersenjata yang melibatkan beberapa negara. 

Begitu kakinya menyentuh aspal landasan, seorang asisten mendekat dengan langkah cepat. "Tuan Damien, kendaraan sudah siap. Kita harus segera menuju TSSI." katanya sambil menyodorkan tablet dengan beberapa dokumen elektronik di atasnya.

Damien hanya mengangguk tanpa banyak bicara, lalu masuk ke dalam mobil militer yang telah disiapkan untuknya. Perjalanan menuju TSSI berlangsung dalam keheningan, dengan Damien membaca laporan-laporan terbaru yang diberikan kepadanya. Ia membaca tentang serangan di kediaman kakaknya, Zee Cho.

Wajahnya tidak menunjukkan emosi apa pun, tetapi genggaman tangannya di tablet memperlihatkan kemarahan yang ia pendam dalam diam. "Eclipse. Mereka akhirnya bergerak sejauh ini." pikirnya.

Mobil berhenti di depan gedung utama TSSI. Damien keluar dengan langkah tegas, dikelilingi oleh pengawal bersenjata dan petugas militer yang memberikan penghormatan saat ia lewat. Suara sepatu bootnya menggema di sepanjang lorong saat ia berjalan menuju aula utama, di mana pertemuan darurat akan diadakan.

Di depan pintu aula, dua penjaga membukakan pintu dengan hormat. Ketika Damien melangkah masuk, ruangan besar itu seketika terdiam. Para pimpinan jenderal, perwira tinggi, hingga Menteri Pertahanan yang hadir, semuanya berdiri untuk menyambutnya.

Di depan, Jenderal Han berdiri dan melangkah maju untuk menyambut Damien secara langsung.

"Semua, perkenalkan. Ini adalah Choi Damien, adik dari Jenderal besar Zee Cho, sekaligus ketua organisasi Black Shadow." kata Jenderal Han dengan nada tegas.

Damien menundukkan kepalanya sedikit sebagai tanda salam, lalu berbicara dengan nada rendah namun penuh wibawa. "Terima kasih atas sambutannya. Saya tidak menyangka akan dipanggil pulang secepat ini. Saya mendengar apa yang terjadi pada kakak saya dan keponakan saya. Saya di sini untuk memastikan situasi terkendali dan membantu menyelesaikan masalah ini."

Damien melangkah ke depan, matanya menyapu seluruh ruangan. Ia berhenti sejenak, memperhatikan ekspresi serius di wajah setiap orang yang hadir.

"Kalian sudah tahu apa yang kita hadapi." katanya, membuka pembicaraan. "Eclipse bukanlah ancaman baru, tetapi fakta bahwa mereka cukup berani menyerang seorang Jenderal besar di wilayah domestik adalah indikasi bahwa mereka sudah mencapai tingkat keberanian yang tidak bisa kita abaikan."

Beberapa pimpinan di ruangan itu saling bertukar pandang, menyadari kebenaran dari ucapan Damien.

"Mereka tidak hanya menyerang Zee Cho. Mereka mengirimkan pesan kepada kita semua." lanjut Damien. "Pesan bahwa mereka memiliki kekuatan untuk menjangkau siapa pun, kapan pun. Dan jika kita tidak merespons dengan cepat dan tegas, mereka akan menganggap kita lemah."

Jenderal Han mengangguk setuju. Menteri Pertahanan, yang duduk di ujung meja, berbicara untuk pertama kalinya. "Damien, kami mengandalkanmu. Black Shadow sudah terbukti mampu menangani situasi seperti ini. Kami butuh tindakan cepat sebelum Eclipse melangkah lebih jauh."

Damien menatap menteri itu dengan tatapan tajam. "Saya tidak akan mengecewakan Anda. Tetapi saya membutuhkan kebebasan penuh untuk bertindak. Eclipse bukan organisasi yang bisa ditangani dengan metode konvensional. Mereka adalah bayangan, dan hanya bayangan yang bisa menghadapinya."

Semua orang di ruangan itu mengangguk, memberikan persetujuan mereka.

Setelah rapat selesai, Damien berdiri di sudut ruangan, memandangi laporan tentang Zee Cho dan Beomgyu yang tertulis di tablet di tangannya. Wajahnya yang biasanya tanpa emosi kini menunjukkan sedikit kekhawatiran.


"Kak, bertahanlah. Aku akan membereskan ini. Aku tidak akan membiarkan Eclipse mengambil satu anggota keluarga lagi dari kita."

Damien keluar dari aula dengan langkah cepat, pikirannya sudah penuh dengan rencana untuk membalas Eclipse dan memastikan keluarganya tetap aman. Bagi Damien, ini bukan hanya tentang tugas. Ini adalah masalah pribadi.




AGEN5 ; {D124M4}




Damien tiba di rumah sakit dengan langkah cepat, wajahnya terlihat serius. Ia diarahkan oleh aparat yang berjaga menuju ruangan tempat Zee Cho dirawat. Sepanjang lorong menuju ruangan itu, suasana terasa tegang, dengan petugas militer dan keamanan yang berjaga ketat.

Ketika Damien membuka pintu ruangan Zee Cho, ia langsung disambut oleh pemandangan yang tidak ia duga. Ji Ah duduk di samping ranjang Zee Cho, memegang mangkuk bubur di tangannya. Wajahnya menunjukkan ekspresi kesal, tetapi penuh usaha, sementara Zee Cho, Jenderal besar yang terkenal dingin dan tegas, tampak seperti anak kecil yang keras kepala.

"Sayang! Tolong makan ini, setidaknya sedikit saja. Kau tahu kondisimu belum stabil." ucap Ji Ah dengan nada kesal, berusaha menyuapkan sesendok bubur ke mulut suaminya.

"Aku tidak lapar." balas Zee Cho tegas, memalingkan wajahnya seperti anak kecil yang enggan menurut. "Aku harus menemui Beomgyu. Dia lebih penting daripada ini."

"Beomgyu ada di ICU! Kau tidak bisa menemuinya sekarang!" balas Ji Ah dengan nada tinggi, frustrasi dengan sikap keras kepala suaminya.

Zee Cho memutar matanya, mencoba bangkit dari tempat tidur, tetapi rasa sakit di kakinya membuatnya terpaksa kembali berbaring. Ji Ah menatapnya dengan tajam, tetapi suaminya hanya mendesah dan tetap menolak makan.

Damien yang menyaksikan semua ini dari ambang pintu hanya bisa menghela napas panjang. "Astaga... Aku baru tiba, dan kau sudah membuat masalah seperti ini, Kak."

Zee Cho menoleh dengan kaget, matanya melebar ketika melihat adiknya melangkah masuk ke dalam ruangan. "Damien? Apa yang kau lakukan di sini?"

Damien melangkah mendekat dengan santai, mengabaikan pertanyaan Zee Cho. Ia melipat tangannya di dada dan memandang kakaknya dengan tatapan tajam. "Pertanyaannya adalah, apa yang kau lakukan di sini, membiarkan Kak Ji Ah repot hanya karena kau tidak mau makan? Kau pikir kau anak kecil?"

Ji Ah menatap Damien dengan raut lega sekaligus heran. Damien menunduk sedikit untuk menyapa Ji Ah dengan sopan sebelum beralih kembali ke Zee Cho.

"Kau tahu, Kak, aku sudah mendengar banyak tentang betapa kerasnya kau di medan perang. Tapi melihatmu seperti ini, rasanya seperti melihat anak kecil yang tidak mau makan sayurannya." ujar Damien sambil menggelengkan kepala.

Zee Cho mendengus, meskipun sudut bibirnya sedikit terangkat. "Aku tidak butuh omelanmu, Damien. Aku hanya ingin melihat Anakku, Beomgyu."

Damien menatapnya serius. "Aku sudah mendengar kondisi Beomgyu. Dia di ICU karena kondisinya memburuk. Kau harus mempercayai dokter untuk merawatnya, dan kau harus menjaga dirimu sendiri terlebih dahulu. Bagaimana kau bisa menolong Beomgyu kalau kau sendiri seperti ini?"

Damien lalu mengambil mangkuk dari tangan Ji Ah dengan santai. "Kalau kau tidak mau makan, mungkin aku yang akan menghabiskan ini. Kau tahu, bubur ini terlihat lebih enak daripada makanan tentara bayaran di Qatar."

Zee Cho memelototinya. "Letakkan itu. Itu milikku."

"Oh? Aku pikir kau bilang kau tidak lapar." balas Damien sambil tersenyum nakal. Ia membawa sendok ke mulutnya seolah-olah akan memakan bubur itu.

"Damien!" Zee Cho berseru, mencoba merebut mangkuk itu, tetapi rasa sakit di kakinya membuatnya terbaring kembali.

Melihat itu, Ji Ah dan bahkan beberapa penjaga yang berjaga di luar pintu ruangan tidak bisa menahan senyum. Mereka saling melirik, terhibur dengan interaksi lucu antara dua saudara ini.

"Kau selalu seperti ini, Damien. Dasar anak nakal, bahkan setelah bertahun-tahun kau tetap menyebalkan." gerutu Zee Cho.

"Dan kau tetap keras kepala." balas Damien sambil meletakkan mangkuk kembali di meja. "Sekarang, makanlah. Kau tidak mau aku yang menyuapimu, kan? Aku bisa melakukannya, kau tahu."

Zee Cho memutar matanya, tetapi akhirnya ia mengambil sendok dan mulai makan dengan perlahan. Ji Ah menatap Damien dengan penuh rasa terima kasih.

Di tengah interaksi kakak-adik yang penuh canda ini, suasana ruangan menjadi lebih ringan, meskipun masih ada ketegangan yang tersisa akibat insiden malam sebelumnya.

Zee Cho menatap Damien setelah beberapa suapan. "Hey, apa kau akan menjelaskan kenapa kau ada di sini, bocah?"

Damien hanya tersenyum tipis. "Tentu. Tapi bukan sekarang. Aku ingin memastikan kau cukup sehat dulu sebelum aku bicara panjang lebar. Kau tahu, Kak, aku hanya ingin memastikan kakakku ini tidak membuat masalah lagi."

Zee Cho mendengus, tetapi ia tidak bisa menyembunyikan rasa lega karena kehadiran adiknya. Meski sering bertengkar, hubungan mereka tetap erat, terutama di saat-saat sulit seperti ini.

Di luar ruangan, para penjaga masih tersenyum kecil, menyaksikan sisi manusiawi dari dua orang yang biasanya dikenal sebagai figur yang kejam dan tak kenal ampun di medan tugas. Untuk sesaat, mereka semua bisa melupakan betapa seriusnya situasi yang sedang mereka hadapi.


Saat ini, Damien tengah berjalan menuju ruangan tempat Beomgyu dirawat di ICU. Langkahnya mantap, meskipun hatinya terasa berat. Lorong menuju ICU dijaga ketat oleh aparat bersenjata yang memastikan tidak ada ancaman yang bisa mendekati area tersebut.

Ketika tiba di depan ruangan, perawat memastikan identitas Damien sebelum mengizinkannya masuk. Di dalam, suasana sunyi hanya diisi suara alat medis yang memantau kondisi Beomgyu.

Damien mendekati ranjang tempat Beomgyu terbaring. Wajah Beomgyu terlihat pucat, tetapi alat monitor menunjukkan bahwa kondisinya perlahan stabil. Tubuhnya dipasangi beberapa selang dan kabel untuk memastikan semua fungsi vitalnya terjaga. Berdiri di samping, Damien memandang keponakannya dengan penuh rasa prihatin, mengingat pertemuan pertama mereka di kamp pelatihan.

Saat berumur 7 tahun, kehidupan Beomgyu berubah drastis setelah mengalami kecelakaan hebat yang hampir merenggut nyawanya. Selama dua tahun, ia harus menjalani perawatan penuh di rumah sakit, dan bahkan setelah keluar, ia masih harus menjalani uji coba medis dan rawat jalan selama hampir setahun. 

Alih-alih menjalani hidup normal setelah sembuh, ia memohon kepada ayahnya, Jenderal Zee Cho, untuk masuk ke kamp pelatihan muda khusus yang dikelola pamannya, Choi Damien. Meski awalnya menolak, Zee Cho akhirnya setuju setelah Damien berjanji untuk menjaga Beomgyu. 



AGEN5 ; {D124M4}



"Ayah, izinkan Gyu masuk ke kamp pelatihan Paman Damien." pinta Beomgyu dengan suara tegas, meskipun tubuhnya yang kecil terlihat begitu rapuh.

Zee Cho menatap putranya dengan tajam, berusaha memahami apa yang ada di pikiran anaknya. "Tidak, Beomie. Kau baru saja sembuh. Tubuhmu belum siap untuk hal seperti itu."

"Berhenti panggil 'Beomie' sekarang panggilnya 'Gyu'! Beomie itu terdengar lemah, aku bukan anak yang lemah!" bentak Beomgyu kecil

Zee Cho tertawa kecil, "Bukankah memang benar, kamu itu masih terlalu lemah." 

"Maka dari itu, aku ingin menjadi kuat, Ayah. Gyu ingin bisa melindungi orang-orang seperti yang Ayah lakukan." balas Beomgyu tanpa ragu.

Zee Cho menggeleng. "Itu bukan tempat untukmu. Kau tidak mengerti betapa beratnya pelatihan itu."

Namun, Beomgyu tidak menyerah. Hari demi hari, ia terus membujuk ayahnya, menunjukkan betapa besar tekadnya. Ketika Zee Cho mulai kehabisan cara untuk menolak, Damien akhirnya turun tangan.

"Aku akan menjaganya." kata Damien dengan nada serius, menatap Zee Cho. "Aku tahu kau khawatir, tapi Beomgyu adalah anak yang berbeda. Tekadnya luar biasa. Biarkan dia mencoba."

Zee Cho akhirnya mengalah, meskipun dengan berat hati. Ia tahu bahwa jika ada seseorang yang bisa menjaga Beomgyu di kamp pelatihan, orang itu adalah Damien.


Di usia 10 tahun, Beomgyu tiba di kamp pelatihan yang terletak di daerah terpencil, dikelilingi oleh hutan lebat. Udara dingin dan suasana yang sunyi membuat tempat itu terasa mengintimidasi.

Damien berdiri di depan gerbang kamp dengan tangan terlipat di dada, menunggu keponakannya turun dari mobil.

"Selamat datang di kamp pelatihan." kata Damien dengan nada tegas. "Ini bukan tempat untuk bermain-main, Gyu. Kalau kau tidak serius, lebih baik kau kembali sekarang."

Beomgyu menatap pamannya dengan penuh tekad. "Aku akan bertahan, Paman. Aku janji."

Damien tersenyum tipis, lalu memimpin Beomgyu masuk ke dalam.

Hari itu, Beomgyu diperkenalkan kepada anak-anak lainnya yang sudah lebih dulu berada di kamp pelatihan.

"Beomgyu, ini Yeonjun dan Soobin." kata Damien, memperkenalkan dua anak laki-laki yang berdiri dengan sikap tegap. "Mereka sudah di sini selama setahun seperti anak lainnya. Namun, mereka berdua memiliki pemahaman yang luar biasa dari anak lainnya. Yeonjun, Soobin, tolong bantu anggota termuda kita ini saat disini."

Yeonjun adalah anak yang lebih tua, dengan aura kepemimpinan yang kuat. Wajahnya menunjukkan kepercayaan diri, dan ia menyambut Beomgyu dengan senyum ramah. "Hai, aku Yeonjun. Selamat datang di kamp."

Beomgyu mengangguk ragu, masih merasa canggung. "Aku Beomgyu."

Soobin, yang sedikit lebih pendiam, hanya mengangguk pelan. "Aku Soobin. Jangan khawatir, kau akan terbiasa di sini."

Yeonjun tertawa kecil. "Ya, mungkin setelah beberapa kali hukuman dari Paman Damien."

Damien, yang mendengar itu, melirik Yeonjun dengan tajam. "Dan aku akan memastikan kalian semua mendapat hukuman kalau tidak menunjukkan hasil yang bagus."

Yeonjun langsung diam, sementara Beomgyu menelan ludah, menyadari betapa seriusnya pelatihan di tempat itu. 

Tahun-tahun berlalu, dan Beomgyu mulai terbiasa dengan kerasnya pelatihan. Ia bekerja keras untuk mengimbangi kekurangan fisiknya, memanfaatkan kecerdasannya dan refleksnya yang tajam untuk unggul dalam berbagai latihan.

Setelah dua tahun, Damien membawa dua anak baru ke dalam tim pelatihan: Hueningkai dan Taehyun. Anak ini berasal dari pelatihan yang dilakukan di markas lain, namun berhasil ditarik oleh Damien karena kemampuannya yang luar biasa.

Hueningkai adalah anak yang lebih muda, dengan sifat ceria dan penuh semangat. Ia langsung menyapa Beomgyu dengan senyuman lebar. "Hai, aku Hueningkai! Kau bisa panggil aku Kai! Wahh, Kau terlihat keren saat menembak."

Beomgyu, yang awalnya canggung dengan pujian itu, hanya tersenyum kecil. "Terima kasih. Aku Beomgyu."

Taehyun, di sisi lain, memiliki sikap yang lebih serius meskipun usianya masih muda. Ia mengamati Beomgyu dengan cermat sebelum berkata, "Aku Taehyun. Kau pasti yang terbaik di sini, kan?"

Beomgyu mengangkat bahu. "Aku hanya mencoba melakukan yang terbaik."

Setelah lima tahun menjalani pelatihan intensif di kamp milik Damien, akhirnya tiba saatnya untuk menilai hasil dari kerja keras Beomgyu, Yeonjun, Soobin, Hueningkai, dan Taehyun. Damien, yang selama ini memimpin pelatihan dengan tangan besi, merasa yakin bahwa mereka berlima telah siap untuk menghadapi dunia nyata.

Di suatu pagi yang dingin, Damien memanggil kelima anak itu ke aula utama kamp. Semua peserta pelatihan lainnya berkumpul di aula, berdiri dalam barisan yang rapi. Mereka semua tahu bahwa ini adalah momen besar—momen di mana untuk pertama kalinya sebuah tim akan "diluluskan" dari pelatihan dan dikirim ke misi pertama mereka.

Damien berdiri di depan aula, mengenakan seragam hitam dengan lambang khusus di dada kirinya. Di belakangnya ada bendera kamp pelatihan dengan simbol pedang dan bayangan elang. 

Ketika Beomgyu dan teman-temannya tiba, Damien melangkah maju dan memandangi mereka satu per satu. Wajahnya menunjukkan kebanggaan yang jarang terlihat.

"Kalian berlima." kata Damien dengan nada tegas, "adalah tim pertama yang berhasil menyelesaikan seluruh pelatihan di kamp ini. Kalian telah menunjukkan kekuatan, kecerdasan, dan keberanian yang luar biasa. Tapi di atas semua itu, kalian telah membuktikan bahwa kalian bisa bekerja sebagai satu kesatuan, saling melindungi, dan saling mempercayai."

Mata semua peserta pelatihan yang lain terpaku pada Beomgyu, Yeonjun, Soobin, Hueningkai, dan Taehyun. Mereka adalah anak-anak terbaik di kamp ini, dan tidak ada yang meragukan kemampuan mereka.

"Mulai hari ini, kalian bukan lagi peserta pelatihan. Kalian adalah Tim The Shadow." lanjut Damien. "Ini adalah nama tim kalian untuk misi pertama. Jika kalian berhasil, nama ini akan menjadi lambang kehormatan kalian."

Beomgyu dan teman-temannya saling pandang, perasaan bangga dan gugup bercampur di dalam hati mereka. Ini adalah langkah pertama mereka menuju dunia nyata.

Setelah misi pertama tim The Shadow dilakukan, Damien tidak bisa menahan rasa bangganya terhadap tim yang ia bentuk. Malam itu, Damien menelepon Zee Cho. Di ruang kantornya, dengan laporan misi di tangannya, ia berbicara dengan kakaknya melalui sambungan video.

"Kak, aku tahu kau akan menolak ini, tapi aku sudah mengambil keputusan." kata Damien sambil menatap layar dengan tegas. "Aku ingin Beomgyu menjadi pemimpin tim ini."

Zee Cho, yang berada di ruangan kantornya sendiri, langsung mengernyit. "Damien, Beomgyu masih terlalu muda untuk itu. Dia baru saja menjalani misi pertama. Kau tidak bisa memberikan tanggung jawab sebesar itu kepadanya."

"Terlalu muda? Kak, aku sudah melatih ratusan anak selama bertahun-tahun, tapi tidak ada yang seperti dia. Dia bukan hanya pintar, tapi dia punya jiwa kepemimpinan yang alami. Anak-anak lain menghormatinya, dan dia tahu cara mengarahkan mereka."

Zee Cho terdiam, tetapi wajahnya menunjukkan bahwa ia masih ragu.

Damien melanjutkan, "Aku tidak mengatakan ini karena dia keponakanku. Aku mengatakan ini karena dia layak mendapatkannya."

Setelah perdebatan panjang, Zee Cho akhirnya setuju dengan berat hati. 

Damien memanggil Beomgyu, Yeonjun, Soobin, Hueningkai, dan Taehyun ke kantornya. Di sana, ia memberikan pengumuman besar.

"Kalian telah membuktikan diri sebagai tim yang hebat." kata Damien dengan nada serius. "Mulai sekarang, kalian tidak lagi disebut Tim The Shadow. Kalian akan menjadi AGEN5, tim khusus yang bekerja di bawah perlindungan dan tanggung jawab penuh TSSI."

Damien tersenyum kecil. "Nama ini mewakili kalian berlima sebagai agen elit. Kalian adalah tim pertama yang aku bentuk, dan kalian akan menjadi tim percontohan untuk generasi selanjutnya."

Beomgyu menatap Damien dengan mata yang sedikit melebar. "Dan... siapa yang akan menjadi pemimpin tim ini?"

Damien menatap langsung ke arah Beomgyu. "Kau."

Semua anggota tim menoleh ke Beomgyu dengan ekspresi terkejut, tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang membantah. Mereka tahu betapa layaknya Beomgyu untuk posisi itu. 

Mulai saat itu, AGEN5 resmi terbentuk, menjadi tim elit yang bekerja di bawah pengawasan langsung TSSI. 



AGEN5 ; {D124M4}



Damien keluar dari ruangan ICU dengan wajah yang sedikit tenang setelah melihat kondisi Beomgyu yang kini stabil. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat empat anak didiknya yang berdiri di ujung lorong, menatapnya dengan ekspresi terkejut.

"Paman Damien?!" seru Hueningkai dengan nada melengking, membuat perhatian Damien langsung tertuju padanya.

Sebelum Damien sempat menjawab, Hueningkai sudah berlari ke arahnya dan melompat untuk memeluknya seperti anak kecil yang bertemu kembali dengan sosok ayah. "Paman! Ini benar-benar kau! Kupikir kau tidak akan kembali lagi ke Korea!"

Damien tertawa kecil, menepuk kepala Hueningkai. "Huening, kau masih sama. Masih seperti anak kecil yang selalu ingin perhatian."

Hueningkai melepas pelukannya, tersenyum lebar meskipun matanya terlihat sedikit merah. "Tapi aku sudah lebih kuat sekarang! Aku bisa bertarung lebih baik daripada sebelumnya."

"Benarkah?" Damien mengangkat alisnya, matanya penuh canda. "Aku tidak yakin. Kau masih terlihat seperti anak kecil di mataku."

Di belakang Hueningkai, Yeonjun, Soobin, dan Taehyun melangkah mendekat dengan cara yang lebih dewasa, meskipun rasa kagum dan nostalgia terlihat jelas di wajah mereka.

Yeonjun tersenyum kecil, mencoba bersikap tenang meskipun jelas ia terkejut melihat gurunya yang terkenal keras ada di hadapan mereka lagi. "Paman Damien. Sudah lama sekali."

"Soobin." Damien memanggil nama pemuda tinggi itu, "kau semakin tinggi saja, wah.. kau juga terlihat lebih dewasa sekarang."

Soobin tersenyum. "Terima kasih, Paman. Aku mencoba menjalankan peran seperti yang kau ajarkan."

Damien lalu menatap Taehyun, yang berdiri sedikit di belakang, tetapi dengan tatapan yang tetap percaya diri. "Dan Taehyun. Kau memang sudah terlihat dewasa sejak kecil, sekarang sifatmu itu cocok dengan tubuhmu ini."

Taehyun mengangguk ringan. "Lama tidak jumpa, Paman." Damien tertawa kecil, merasa bangga dengan apa yang mereka semua capai.

Hueningkai melepas pelukannya "Tapi kenapa kau ada di sini, Paman? Bukannya kau masih ditugaskan di luar negeri?"

Damien tersenyum kecil, lalu berkata, "Aku dipanggil kembali untuk membantu menangani situasi ini. Kalian tau sendiri ini menyangkut keluargaku juga."

Damien melangkah perlahan menjauh dari mereka, berhenti sejenak untuk menatap langit pagi yang mulai cerah melalui jendela rumah sakit. Senyumnya kembali terbit, samar namun penuh makna. 

"Kalian semua sudah tumbuh. Tapi saat melihat kalian seperti ini, aku merasa kembali ke masa itu. Saat kita semua di kamp, kalian penuh semangat dan terkadang keras kepala... Aku rindu hari-hari itu."

Hueningkai tersenyum lebar. "Kami juga rindu, Paman."

Damien menoleh sebentar ke arah mereka, lalu berkata dengan nada bercanda, "Jangan rindu. Hukuman push-up di kamp itu tidak akan terasa indah lagi jika kalian mengingatnya."

Keempat anak didiknya tertawa, suara mereka bergema di lorong rumah sakit. Sejenak, suasana tegang yang melingkupi mereka berubah menjadi kehangatan nostalgia. Di tengah ancaman besar yang menanti, kenangan akan masa-masa pelatihan mereka menjadi pengingat betapa jauh mereka telah melangkah bersama. Dan betapa kuatnya mereka saat menjadi satu tim.








AGEN5 ; {D124M4}

Chapter kali ini kita rehat dulu dari yang serius-serius kayak kemarin ya hehe

Biar bacanya ga tegang terus :))  

(Ini alasan authornya aja emang malas mikir plot rumit untuk sementara wkwk)

Oh ya, mari kenalan dulu dengan Paman Damien kesayangan AGEN5

Cakep banget WOY!

Ekhem, udah ya kenalannya jangan lama-lama :)


Semoga kalian menikmati vibe santai ini, dan jangan lupa vote dan komentar biar aku makin semangat nulis! 

>_<


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro