Peperangan di Pekarangan Rumah
Zee Cho menyetir dengan penuh perhatian, melirik sesekali ke arah Beomgyu yang duduk di kursi penumpang. Wajah Beomgyu terlihat lelah, tetapi ia tetap memandang ke luar jendela, pikirannya terjebak dalam peristiwa sebelumnya di sekolah.
Ketika ponsel Zee Cho berbunyi, ia menjawabnya dengan cepat melalui sambungan suara di dalam mobil. Suara tegas Jenderal Han terdengar di sisi lain.
"Jenderal, kami butuh kau di sini sekarang." kata Jenderal Han. "Kami baru saja menemukan lokasi markas lama Eclipse. Kau harus datang ke lokasi yang aku kirim."
Zee Cho mendengus kecil, jelas tidak senang. "Aku sedang bersama Beomgyu. Aku harus membawanya pulang terlebih dahulu."
"Jenderal, ini tidak bisa ditunda. Tempat ini mungkin sudah ditinggalkan, tapi kami menemukan sesuatu yang harus kau lihat sekarang, kami tidak yakin dapat membawanya dengan selamat ke markas." balas Jenderal Han dengan nada mendesak.
Mendengar itu, Zee Cho terdiam. Rahang dan genggaman tangannya di setir mengeras, dan tanpa berpikir panjang, ia berkata, "Baik. Aku akan segera ke sana."
Beomgyu, yang mendengar percakapan itu, melirik ayahnya dengan penuh tanya. Namun, sebelum ia sempat bertanya, Zee Cho sudah berbelok tajam, mengarahkan mobil menuju lokasi yang dikirimkan oleh Jenderal Han.
Mobil berhenti di depan sebuah gedung tua yang terletak di daerah terpencil. Bangunan itu tampak seperti pabrik atau gudang lama yang sudah lama ditinggalkan, dengan dinding yang penuh coretan dan pintu besar yang berkarat. Di sekitarnya, beberapa kendaraan militer dan polisi terparkir rapi, menunjukkan bahwa tempat ini sedang diawasi ketat.
Zee Cho menoleh ke arah Beomgyu sebelum keluar dari mobil. "Tetap di sini. Jangan keluar dari mobil ini, apa pun yang terjadi. Pengawal pribadiku akan menjagamu."
"Ayah, tempat apa ini?" tanya Beomgyu dengan nada penasaran.
"Ini bukan urusanmu, Gyu." jawab Zee Cho tegas. Tanpa menunggu jawaban dari putranya, ia membuka pintu mobil dan keluar, meninggalkan Beomgyu bersama seorang pengawal bersenjata yang berdiri di samping mobil.
Di luar, Jenderal Han sudah menunggu Zee Cho bersama beberapa detektif senior. Mereka menyambutnya dengan ekspresi serius. Setelah berbicara sebentar, mereka semua masuk ke dalam gedung, meninggalkan Beomgyu sendiri di dalam mobil.
Beomgyu duduk diam di kursinya, matanya terus memandangi bangunan tua di depannya. Entah kenapa, hatinya terasa tidak tenang. Tempat ini terasa familiar, seolah-olah ia pernah ke sini sebelumnya, tetapi ia tidak bisa mengingat kapan dan dimana.
"Kenapa aku merasa seperti ini?" gumamnya pelan, menatap dinding berkarat yang terlihat dari kaca mobil. Ia mencoba menggali ingatannya, tetapi hanya kekosongan yang muncul.
Pengawal di luar menoleh ke dalam mobil melalui jendela yang terbuka. "Tuan muda, Anda baik-baik saja?"
Beomgyu hanya mengangguk, meskipun pikirannya jauh dari kata tenang.
Setelah menunggu cukup lama, pintu mobil akhirnya terbuka. Zee Cho masuk dengan langkah cepat, wajahnya terlihat tegang dan tanpa berkata apa-apa. Ia memerintahkan pengawal yang berjaga di luar untuk kembali ke posisinya di kendaraan militer, sementara ia sendiri duduk di kursi pengemudi.
Beomgyu menoleh ke arah ayahnya, mencoba membaca ekspresinya. Namun, tatapan mata Zee Cho yang penuh dengan kemarahan dan kekecewaan membuatnya ragu untuk mengatakan apa pun.
Tanpa sepatah kata pun, Zee Cho menyalakan mesin mobil dan langsung melaju meninggalkan lokasi markas lama Eclipse. Keheningan di dalam mobil terasa begitu tegang, seolah ada sesuatu yang sangat besar terjadi.
Beomgyu duduk diam di kursi penumpang, matanya melirik ke arah ayahnya yang fokus menyetir dengan rahang yang mengeras. Jelas ada sesuatu yang tidak beres, tetapi ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam gedung tadi.
Pikirannya terus memutar pertanyaan yang ingin ia lontarkan, tetapi setiap kali ia membuka mulut, tatapan dingin Zee Cho yang terpancar dari sudut matanya membuatnya mengurungkan niat.
Meski suasana di dalam mobil sangat sunyi, pikiran Beomgyu penuh dengan spekulasi. Ia meremas ujung bajunya dengan gugup, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Tetapi perasaan bahwa sesuatu yang besar sedang terjadi membuat jantungnya berdegup lebih cepat.
Sesekali, ia mencuri pandang ke arah Zee Cho. Wajah ayahnya terlihat lebih tua dari biasanya, garis-garis kelelahan dan amarah jelas terlihat. Tangannya menggenggam setir dengan begitu erat, seolah sedang mencoba menahan diri agar tidak meledak.
AGEN5 ; {D124M4}
Mobil berhenti di pekarangan rumah keluarga Zee Cho. Lampu luar rumah menyala lembut, memberikan suasana yang biasanya damai. Zee Cho dan Beomgyu keluar dari mobil dengan langkah pelan. Penjaga rumah berjalan mendekat untuk membukakan gerbang dan menawarkan diri untuk memarkirkan mobil mereka.
"Tidak perlu. Aku akan pergi lagi setelah ini." ucap Zee Cho singkat, suaranya datar namun tegas.
Ia berjalan mendekati Beomgyu, yang masih tampak sedikit lemah setelah kejadian di sekolah. Ketika Beomgyu mencoba melangkah sendiri, Zee Cho memapahnya dengan lembut namun penuh kewaspadaan.
"Ayah, aku tidak apa-apa. Aku bisa jalan sendiri." ujar Beomgyu, mencoba meyakinkan.
Namun, Zee Cho tidak menjawab apa-apa. Ia hanya terus menuntun Beomgyu menuju pintu masuk rumah, memastikan putranya aman.
Ketika mereka hanya tinggal beberapa langkah lagi dari pintu utama, tiba-tiba suara tembakan keras memecah kesunyian malam.
DOR!
Zee Cho dan Beomgyu langsung berhenti, tubuh mereka menegang. Dengan cepat, keduanya menoleh ke arah sumber suara, hanya untuk melihat pemandangan yang mengerikan: penjaga rumah mereka sudah tergeletak di tanah, dengan bersimbah darah.
Di samping tubuh penjaga itu, dua orang berdiri. Mereka berpakaian serba hitam dengan masker menutupi sebagian wajah mereka, hanya menyisakan mata tajam yang memandang lurus ke arah Zee Cho dan Beomgyu.
"Gyu, masuk ke dalam." ucap Zee Cho dengan suara tenang namun penuh otoritas.
"Ayah... siapa mereka?" tanya Beomgyu, suaranya hampir bergetar.
"Tidak ada waktu untuk bertanya. Masuk ke dalam. Sekarang!" perintah Zee Cho.
Namun, Beomgyu tetap berdiri di tempat, matanya terpaku pada dua orang itu yang perlahan mulai melangkah maju.
"Gyu." suara Zee Cho meninggi. "Masuk ke dalam rumah. Sekarang."
"Aku tidak bisa membiarkanmu sendiri!" balas Beomgyu dengan nada keras.
Zee Cho menatap putranya tajam, lalu memanggilnya dengan nama lengkapnya, sesuatu yang jarang ia lakukan.
"Choi Beomgyu! Masuk ke dalam rumah sekarang! Lindungi Ji Ah, Jessica, dan semua orang di dalam. Hubungi polisi atau siapa pun yang bisa membantu. Dan dengar baik-baik-kalau situasinya semakin buruk, bawa mereka dan pergi dari sini."
Beomgyu membuka mulutnya untuk membantah, tetapi nada suara ayahnya tidak meninggalkan ruang untuk diskusi. Ia akhirnya mengangguk dengan berat hati, meskipun rasa khawatir terus menghantuinya.
Sebelum pergi, Beomgyu menatap ayahnya dengan mata yang penuh dengan emosi. "Hati-hati, Ayah." katanya pelan.
Zee Cho tidak menjawab. Ia hanya menepuk bahu Beomgyu sekali sebelum mengarahkan pistolnya kepada dua sosok misterius di depan mereka.
Dengan langkah cepat, Beomgyu berlari masuk ke dalam rumah. Jantungnya berdegup kencang, dan pikirannya terus memutar berbagai kemungkinan buruk yang bisa terjadi.
Begitu Beomgyu masuk ke rumah, ia dengan cepat menutup dan mengunci pintu utama. Nafasnya masih terengah-engah, tubuhnya dipenuhi luka ringan yang ia dapatkan sepanjang hari itu. Tanpa berpikir panjang, ia mendorong lemari sepatu yang berada di dekat pintu untuk menahan pintu tersebut dari kemungkinan dibuka paksa.
"Beomgyu, apa yang terjadi?! Suara apa itu?!" suara Ji Ah terdengar, penuh dengan kekhawatiran.
Di tengah ruangan, Ji Ah, Jessica, dan beberapa pembantu rumah berdiri dengan wajah tegang. Suara tembakan yang terdengar dari luar membuat mereka semua ketakutan.
Beomgyu menoleh ke arah para pembantu dan berteriak dengan nada perintah, "Kunci semua pintu dan jendela sekarang! Jangan biarkan ada celah sedikit pun terbuka!"
Pembantu-pembantu itu segera berlari untuk melaksanakan perintah Beomgyu, meskipun wajah mereka penuh kebingungan dan ketakutan. Beomgyu kemudian berlari menuju tangga untuk naik ke kamarnya, tetapi Ji Ah langsung menahan tangannya.
"Beomgyu! Apa yang terjadi? Kau terluka? Dan di mana Ayahmu?!" Ji Ah bertanya dengan nada tinggi, matanya menatap penuh kekhawatiran pada luka-luka kecil yang terlihat di tubuh putranya.
Beomgyu berhenti sejenak, mengatur napasnya yang masih berat. "Mah, tidak ada waktu untuk bertanya. Ayah sedang menghadang mereka di luar!" jawabnya dengan nada tegas.
"Mereka siapa?!" Ji Ah semakin panik, menggenggam tangan Beomgyu lebih erat.
Beomgyu menatap ibunya dengan serius. "Aku tidak tahu pasti siapa mereka, tapi mereka sudah membunuh penjaga rumah! Mamah harus segera menghubungi polisi sekarang juga, dan bersiap untuk pergi dari sini. Kalau situasinya semakin buruk, kita harus meninggalkan rumah ini."
"Apa?! Mamah tidak akan meninggalkan Ayahmu sendirian di luar sana!" balas Ji Ah dengan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya.
"Mamah!" Beomgyu menaikkan suaranya sedikit, suaranya penuh emosi. "Ini perintah Ayah! Dia memintaku untuk melindungi kalian dan memastikan kalian semua aman. Percayalah padaku. Hubungi polisi sekarang!"
Ji Ah terdiam, tetapi akhirnya mengangguk pelan meskipun hatinya penuh keraguan. Ia berjalan ke arah meja untuk mengambil ponselnya.
"Jessica." panggil Beomgyu, nadanya lebih lembut namun tetap tegas.
"Gua butuh bantuan lu. Ambil senjata tajam apa pun dari dapur-pisau, gunting, apa saja. Jika ada yang mencoba masuk, pukul saja dengan apapun. Lu bisa melakukan itu, kan?"
Jessica mengangguk dengan gemetar. Meskipun hatinya penuh ketakutan, ia tahu bahwa ia tidak punya pilihan lain. "Baik, aku akan melakukannya."
Beomgyu menepuk bahu Jessica, mencoba memberi dukungan. "Bawa Mamah dan semua pembantu ke pintu belakang rumah. Berkumpullah di sana. Gua akan menyusul."
Setelah memastikan Jessica memahami instruksinya, Beomgyu langsung berlari menuju ruang kerja Zee Cho. Ia tahu ayahnya menyimpan senjata di sana, sesuatu yang bisa digunakan untuk melindungi keluarganya jika keadaan semakin memburuk.
Napasnya masih terengah-engah ketika ia membuka pintu ruang kerja dan segera mencari lemari tempat senapan itu disimpan. Dengan cepat, ia memasukkan kode kombinasi ke dalam brankas kecil yang terletak di sudut ruangan. Brankas itu terbuka dengan suara klik pelan, dan di dalamnya, Beomgyu melihat sebuah senapan laras pendek serta beberapa kotak peluru.
Tanpa ragu, ia mengambil senapan tersebut dan memuat pelurunya dengan cepat. Tangannya sedikit gemetar, tetapi ia tahu bahwa ia tidak punya waktu untuk ragu.
"Ini bukan waktunya untuk takut." gumamnya pada dirinya sendiri.
Setelah mengambil senapan dari ruang kerja ayahnya, Beomgyu segera mengeluarkan ponselnya. Dengan tangan gemetar dan pikiran yang berkecamuk, ia langsung mencari kontak teratas yang dapat dihubungi, dan itu adalah Soobin, anggota AGEN5 yang ia percayai sepenuhnya.
Panggilan tersambung. Butuh beberapa detik sebelum suara Soobin terdengar di ujung sana.
"Soobin! Rumahku sedang diserang!" suara Beomgyu terdengar tegas, meskipun diselimuti ketegangan.
"Apa?! Beomgyu, apa yang terjadi?" Soobin bertanya, suaranya terkejut.
"Tidak ada waktu untuk penjelasan panjang. Bawa bala bantuan ke rumahku sekarang juga! Jemput keluargaku di halaman belakang rumah. Lindungi mereka dan bawa mereka ke tempat aman!" Beomgyu memberi perintah cepat.
"Soal itu, apa-"
Beomgyu tidak menunggu jawaban dari Soobin. Ia langsung mematikan telepon dan memasukkan ponselnya ke dalam saku. Tidak ada waktu untuk berdiskusi atau ragu. Situasi ini hanya memberinya satu pilihan: bertindak.
Beomgyu segera berlari ke arah pintu belakang, tempat Ji Ah, Jessica, dan para pembantu rumah sudah berkumpul. Di dekat mereka, sebuah mobil terparkir di dekat pintu keluar halaman belakang. Nafas Beomgyu masih terengah-engah, tetapi ia berusaha tetap tenang.
"Siapa di antara kalian yang bisa mengemudikan mobil?" tanya Beomgyu cepat, menatap wajah-wajah tegang yang berdiri di sekitarnya.
Salah satu pembantu, seorang pria paruh baya, dengan ragu mengangkat tangannya. Tangannya gemetar, tetapi keberaniannya terlihat dari sorot matanya. "Saya bisa, Tuan muda."
Beomgyu mengangguk dan menyerahkan kunci mobil kepadanya. "Baik, dengarkan aku baik-baik. Tunggu di sini. Bala bantuan akan segera datang untuk membantu kalian. Tapi jika salah satu tembakan mengenai kaca rumah atau situasinya semakin tidak terkendali, kendarai mobil ini dan bawa semua orang pergi ke kantor polisi terdekat. Jangan menunggu lebih lama."
Pria itu mengangguk dengan cepat. "Baik, Tuan muda."
Beomgyu kemudian menoleh ke arah Jessica, yang berdiri dengan pisau besar di tangannya. Matanya dipenuhi ketakutan, tetapi ia berusaha terlihat tegar.
"Jessica." panggil Beomgyu, suaranya lebih lembut.
Beomgyu meletakkan tangannya di bahu Jessica. "Dengar, Jess. Lu harus menjaga Mamah dan semua orang di sini. Gua tau lu bisa melakukannya. Soobin dan bala bantuan lainnya akan datang sebentar lagi, jadi tetap tenang. Jangan khawatir."
Jessica mengangguk pelan, meskipun jelas bahwa ia masih sangat khawatir. "Tolong, berhati-hatilah, Kak."
Beomgyu mengangguk, dan segera pergi dari sana. Meninggalkan Ji Ah yang terduduk lemas, ia menutup wajahnya dan menangis, begitu banyak yang ia khawatirkan, memikirkan tentang dirinya yang begitu lemah sehingga membiarkan suaminya dan putra satu-satunya pergi melakukan hal yang sangat berbahaya dan mengancam nyawa.
AGEN5 ; {D124M4}
Dengan senapan di tangan, Beomgyu meninggalkan halaman belakang dan kembali menuju bagian depan rumah. Langkahnya mantap meskipun rasa takut masih menghantuinya. Ia tahu bahwa keputusannya ini berisiko, tetapi ia tidak punya pilihan lain. Ayahnya sedang menghadapi para penyerang sendirian, dan Beomgyu tidak akan membiarkan Zee Cho bertarung tanpa bantuan.
Ketika ia mendekati pintu depan, ia bisa mendengar suara tembakan yang semakin jelas. Beomgyu mempercepat langkahnya, bersiap untuk bergabung dalam pertempuran yang sedang berlangsung di luar.
Saat Beomgyu akhirnya sampai di halaman depan, ia melihat Zee Cho sedang berlindung di balik salah satu mobil militer yang terparkir. Pria itu dengan tegas membalas tembakan dari dua pria berpakaian hitam yang terus menembakinya dari berbagai sudut.
"Ayah!" teriak Beomgyu, berlari ke arah Zee Cho sambil menunduk untuk menghindari peluru.
Zee Cho menoleh sekilas ke arah putranya, ekspresi wajahnya berubah menjadi marah. "Kenapa kau kembali ke sini, Gyu?! Aku bilang tetap di dalam rumah!"
"Aku tidak bisa membiarkan Ayah sendirian!" balas Beomgyu, mengambil posisi di samping ayahnya dan mengarahkan senapannya ke salah satu penyerang.
"Ini bukan waktunya untuk berdebat!"ucapnya, membuat Zee Cho menghela nafas, lalu kembali fokus pada pertempuran.
Untuk pertama kalinya, Zee Cho dan Beomgyu bertarung bersama. Meskipun Zee Cho terus mengawasi putranya dengan khawatir, ia tidak bisa memungkiri bahwa Beomgyu memiliki keberanian dan ketepatan yang luar biasa.
Beomgyu berhasil menembak salah satu penyerang di bahu, membuatnya terjatuh dan tidak bisa melanjutkan serangan. Namun, dari arah lain, suara langkah kaki semakin mendekat. Beomgyu menyadari bahwa mereka tidak hanya berhadapan dengan dua orang-ada lebih banyak penyerang yang datang dari arah gelap.
"Ayah, ada lebih banyak dari mereka." bisik Beomgyu, mencoba memberi peringatan.
"Aku tahu." balas Zee Cho. "Kita harus bertahan sampai bantuan datang."
Suara tembakan menggema di udara, memecah ketenangan malam yang sebelumnya damai. Cahaya kilatan senjata api menerangi pekarangan rumah keluarga Zee Cho yang kini berubah menjadi medan pertempuran sengit.
Zee Cho berlindung di balik sebuah mobil militer, sesekali menembak ke arah para penyerang yang mencoba mendekat. Di sampingnya, Beomgyu bergerak dengan sigap, senapan di tangannya bergetar ringan setiap kali ia menembak.
Beomgyu bergerak dengan kecepatan dan ketepatan yang luar biasa, seolah-olah medan perang ini adalah tempat di mana ia seharusnya berada. Setiap kali ia menarik pelatuk, tembakannya selalu tepat mengenai target. Seorang penyerang yang mencoba mendekat dari sisi kiri langsung terjatuh setelah peluru Beomgyu menghantam bahunya.
"Ayah, ada satu lagi di belakang pohon besar itu." ucap Beomgyu begitu tenang sambil mengarahkan senapannya ke arah pohon di sebelah kanan.
Tanpa ragu, ia melepaskan tembakan. Peluru itu menembus batang pohon, mengenai kaki pria yang bersembunyi di belakangnya. Pria itu jatuh dengan erangan kesakitan, membuat Zee Cho melirik ke arah putranya dengan rasa terkejut.
"Gyu, bagaimana kau tahu dia ada di sana?" tanya Zee Cho sambil terus menembak ke arah yang lain.
"Refleksi dari genangan air di tanah." jawab Beomgyu cepat, tidak melepaskan pandangannya dari medan perang. "Aku melihat bayangannya bergerak."
Zee Cho terdiam sesaat. Ia tidak menyangka putranya memiliki insting setajam itu, sesuatu yang bahkan membuat seorang Jenderal besar seperti dirinya terkesima.
Di tengah tembakan yang terus menghujani pekarangan, salah satu penembak musuh berhasil mengambil posisi di atap dinding pagar gerbang. Pria itu mengarahkan senjatanya ke arah Zee Cho, bersiap melepaskan tembakan.
Namun, Beomgyu dengan cepat menyadari bahaya itu. Ia melihat bayangan pria tersebut di kaca mobil yang retak di depannya.
"Ayah, menunduk!" teriak Beomgyu.
Zee Cho langsung menunduk tanpa bertanya, dan Beomgyu mengangkat senapannya dengan cepat. Tembakan tajam meluncur dari laras senjatanya, mengenai penembak itu tepat di dadanya sebelum ia sempat melepaskan peluru. Pria itu jatuh dari atap dengan suara keras.
Zee Cho menoleh ke arah Beomgyu, matanya membelalak karena kagum. "Gyu... kau..."
Beomgyu tidak menjawab, ia kembali fokus ke arah medan perang.
Meskipun Beomgyu dan Zee Cho berhasil melumpuhkan beberapa penyerang, jumlah musuh tampaknya tidak habis-habis. Setiap kali satu orang jatuh, dua orang lagi muncul dari kegelapan, membawa senjata yang lebih besar dan lebih berbahaya.
Beomgyu mulai merasa napasnya semakin berat. Dadanya naik turun dengan cepat, dan peluh membasahi wajahnya. Ia tahu bahwa kondisinya semakin memburuk, tetapi ia terus memaksakan diri. Saat ia mencoba melindungi Zee Cho dari serangan mendadak, ia merasakan pandangannya mulai berkunang-kunang. Tangannya yang memegang senapan mulai gemetar.
"Beomgyu?!" tanya Zee Cho, menyadari perubahan pada putranya.
Beomgyu mengangguk lemah, meskipun jelas bahwa ia sedang berjuang keras untuk tetap berdiri. "Aku... aku baik-baik saja, Yah." jawabnya, meskipun suaranya terdengar terputus-putus.
Namun, Zee Cho tidak yakin. Ia bisa melihat bahwa Beomgyu mulai kehilangan konsentrasi. Beberapa kali, Beomgyu tampak ragu saat membidik, sesuatu yang sebelumnya pernah terjadi dalam pelatihan, saat putranya mulai kehabisan tenaga.
Situasi semakin memburuk. Peluru Beomgyu dan Zee Cho sebentar lagi habis, dan mereka hanya bisa berlindung di balik mobil untuk menghindari tembakan musuh yang terus menghujani mereka.
Zee Cho mengumpati dengan frustrasi."Di mana bala bantuan?! Mereka seharusnya sudah sampai sekarang!"
Tiba-tiba, salah satu peluru musuh menghantam kaca rumah, menimbulkan suara pecahan yang memekakkan telinga. Beomgyu yang mendengar itu langsung menoleh. Ia tahu bahwa ini adalah sinyal bagi keluarganya untuk segera pergi.
Di kejauhan, ia melihat mobil mulai melaju dari halaman belakang rumah, membawa Ji Ah, Jessica, dan para pembantu rumah menuju tempat yang lebih aman.
"Gyu, biarkan mereka pergi! Fokus di sini!" seru Zee Cho, mencoba menarik perhatian Beomgyu kembali ke medan perang.
Namun, Beomgyu menggeleng tegas. "Tidak, Ayah. Aku harus memastikan mereka pergi dengan aman."
Beomgyu berdiri dari tempat perlindungannya, mengambil senjata dari musuh yang sudah tergeletak. Ia menggunakannya untuk mengalihkan perhatian para penembak, sementara matanya memindai para musuh yang mengarahkan senjata ke arah mobil keluarganya.
"Jangan berani-berani menyentuh mereka." gumam Beomgyu, sebelum ia mulai menembak dengan presisi luar biasa.
Satu per satu penembak tumbang di tangannya. Beomgyu bergerak cepat, memanfaatkan instingnya yang tajam untuk menebak posisi musuh yang bersembunyi. Ketepatannya tidak diragukan lagi; semua tembakannya mengenai sasaran.
Ketika mobil akhirnya sudah cukup jauh dan tidak lagi berada dalam jangkauan tembakan musuh, Beomgyu menghela napas berat. Namun, sebelum ia bisa kembali berlindung, sebuah suara membuat tubuhnya menegang.
"Arghhh!" Suara Zee Cho yang penuh rasa sakit menggema, memecahkan konsentrasi Beomgyu.
Beomgyu langsung menoleh, matanya membelalak ketika melihat ayahnya tengah bergumul dengan salah satu musuh. Pria itu memegang pisau besar, yang kini telah menyayat kaki Zee Cho hingga darah mengalir deras.
"Ayah!" teriak Beomgyu, panik.
Ia segera mengarahkan pistolnya ke arah musuh tersebut, tetapi tangan gemetar dan pandangannya yang mulai buram membuatnya kesulitan untuk membidik dengan tepat. Perkelahian sengit antara Zee Cho dan musuhnya membuat situasi semakin rumit.
Beomgyu mencoba menarik napas dalam-dalam, tetapi dadanya terasa semakin sesak. Pandangannya semakin kabur, dan suara-suara di sekitarnya mulai terdengar samar. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tetap fokus, tetapi tubuhnya mulai kehilangan kendali.
Tepat saat Beomgyu akan menarik pelatuk, suara tembakan lain terdengar, menghantam musuh yang menyerang Zee Cho. Pria itu terhuyung ke belakang sebelum akhirnya jatuh tersungkur ke tanah.
Tembakan itu diikuti oleh beberapa tembakan lainnya, yang melumpuhkan musuh lain di sekitar mereka. Sirine mobil polisi terdengar semakin dekat, dan cahaya lampu biru berkedip-kedip di kejauhan.
Bala bantuan akhirnya datang.
Beomgyu menghela napas lega dan menjatuhkan pistolnya. Tubuhnya terasa lemah, tetapi ia memaksa dirinya untuk berjalan menghampiri Zee Cho.
"Ayah..." panggilnya pelan, suaranya hampir tidak terdengar.
Zee Cho menoleh ke arah Beomgyu, tetapi ekspresinya tiba-tiba berubah menjadi panik. Matanya melebar, dan ia berteriak dengan nada penuh kepanikan, "Beomgyu, awas! Di belakangmu!"
Beomgyu tidak sempat bereaksi. Sebuah suara pelan berbisik di telinganya, membuat bulu kuduknya meremang. "Kena kau."
Detik berikutnya, rasa sakit luar biasa menghantam punggungnya. Sebuah kayu besar dipukulkan dengan keras ke tubuhnya hingga kayu itu patah dan hancur berkeping-keping. Beomgyu terjatuh ke depan, rasa sakit di punggungnya menjalar ke seluruh tubuh.
Terdengar suara tembakan keras yang menggema, dan pria yang menyerang Beomgyu langsung terjatuh ke tanah, darah mengalir dari tubuhnya. Beberapa anggota bala bantuan berlari mendekat untuk mengamankan area, tetapi itu tidak cukup cepat untuk mencegah apa yang sudah terjadi.
"Beomgyu! Beomgyu!" teriak Zee Cho, suaranya penuh dengan rasa putus asa.
Beomgyu mencoba bangkit, tetapi tubuhnya tidak merespons. Nafasnya semakin berat, dadanya terasa sesak seperti dihimpit batu besar. Pandangannya mulai gelap, dan suara Zee Cho yang memanggil namanya terdengar semakin jauh.
"Ayah..." bisiknya pelan, sebelum akhirnya tubuhnya terkulai lemas di tanah.
AGEN5 ; {D124M4}
Gimana untuk chapter kali ini :))
Maaf ya kalau ngerasa bosan, karena chapter kali ini pun sukses tembus 3000+ kata hehe
Jangan lupa vote dan komen biar aku makin semangat updatenya >_<
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro