[ 4 ] - Kiamat yang Sesungguhnya
::: Ahad, 4 Februari 2024 :::
Buatlah cerita dengan tema apocalypse
(Apocalypse secara genre/subgenre merujuk pada 'kiamat')
• • • o O o • • •
[ Short Story ]
Apa dunia benar-benar telah menjemput kiamatnya? Aku tidak tahu sampai Ibu yang perutnya menggembung besar kala itu menjelaskan dengan lembut, "Kiamat itu saat dunia mengalami kehancuran besar, nak."
"Memangnya saat ini dunia belum hancur? Lalu, bangunan-bangunan yang dibom itu artinya apa? Apakah langit memang berwarna merah? Seharusnya langit berwarna biru indah, 'kan? Atau itu hanya dongeng belaka?"
Ibu masih memelukku. Kami berada di keramaian. Manusia yang memakai rompi berwarna kerjanya bolak-balik dari pagi menuju pagi, seraya membawa manusia lain yang dipenuhi warna karena debu dan darah sendiri.
Aku dan Ibu tak jauh berbeda. Hanya karena sudah mendapat penanganan, kami bisa bebas bergelung di sudut tenda tanpa perlu pengawasan berlebih.
Ramai. Tangis dan teriakan tak luput dari sela-sela pendengaran. Tapi konversasi kami berlangsung seolah tengah berada di ruang kedap suara, tanpa adanya distraksi kemanusiaan.
"Kiamat terjadi ketika semuanya hilang."
"Ayah, Nenek, Paman Lufti, Bibi Hauba, Kakak Ahmed dan Kakak Malda sudah tidak ada. Mereka hilang. Ataukah belum bisa disebut hilang kalau sisa tubuh mereka masih ada tapi berhamburan di reruntuhan sana?"
"Elyas, nak ... " isak menghampiri. Air mata Ibu mulai bercucuran. Ah, kupikir setelah semua yang terjadi, Ibu sudah tidak bisa menangis lagi. Namun aku bersyukur dia masih bersikap layaknya manusia normal. Masih bisa tersedu.
Sementara aku sudah tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Pilu lelah bertandang ketika manikku menangkap puluhan kantung mayat berdatangan dan dihampar begitu saja di lapangan luas depan tenda-tenda relawan. Bangunan rumah sakit di belakang rasa-rasanya tak cukup lagi menampung korban yang terus bertambah; tak berhenti, apalagi berkurang.
Kalam takbir, istighfar, hingga tauhid tak luput sedetik pun diucap dari mulut-mulut yang lalu-lalang. Dan sudah sangat beruntung; karena bila ada di kondisi tersial, maka yang kau dengar tiap lima menit sekali adalah ledakan, debuman, hingga kepulan asap di titik-titik tercecer di kejauhan sana.
"Hei Elyas, segera masuklah ke dalam tenda! Ibumu mencarimu, tapi dia tidak boleh banyak bergerak," itu suara Kakak Ilham, salah satu relawan asal negeri Indonesia. Dia satu-satunya yang mengenal kami lebih dekat, karena relawan lain terlalu sibuk dengan jam terbang mengurus korban lain seperti kami.
Malam kembali menguasa. Aku masuk tenda dan segera melipir ke bagian sudutnya. Wanita bersandang burka hitam menyender, terlihat lelah akibat perut yang kian membengkak. Aku mengelusnya sesekali. Kata Ibu, aku yang akan menamai adik baruku ini.
"Nusreta. Lahir atau matinya akan menjadi tanda kemenangan," jangan tanya dari mana asal pembendaharaan kosakataku. Delapan tahun cukup bagiku belajar akan sesuatu meski di tengah ketegangan, sebelum di bulan Oktober lalu, segalanya menjadi terlampau pecah.
"Kalau laki-laki?" tanya Ibu.
"Hareem. Lahir atau mati, dialah yang terhormat," kataku lagi.
Aku yakin Ibu tersenyum simpul di balik burkanya, "Terdengar seperti kamu begitu mengharapkan adik perempuan ya."
Adik perempuan ya? Mungkin saja. Namun, aku tergemap di detik kemudian. Apakah benar itu sebuah harapan? Aku masih bisa berharap, ternyata?
Malam kali ini adalah yang paling damai kurasa sejak tiga pekan lalu kami menjadi pendatang. Entah karena orang-orang di sini sedikit menurunkan tendensi kepanikan, tak adanya suara ledakan, atau memang dari hatiku saja yang tiba-tiba mendapat embusan angin Yaman.
"Ibu?"
"Ya El, ada apa?" saling mendekap di kelap malam adalah rutinitas kami sejak mengklaim pojok tenda sebagai tempat hidup baru.
"Kenapa Ibu bersikukuh kalau dunia belum kiamat?"
Ibu terdiam. Mungkin dia lelah nian dibombardir oleh pertanyaan-pertanyaanku yang terkesan terobsesi pada hal bernama 'kiamat'. Lanjutku, "Kenapa Ibu masih ngotot tentang kiamat yang sesungguhnya adalah ketika semua manusia berkumpul di Padang Mahsyar?"
"Karena itu memang benar," mata dibalik tirai hitamnya menelaah. Menusuk. Lalu ... berkilat. Seperti menunggu kalimat itu keluar dari mulutku. "Padang Mahsyar yang sesungguhnya adalah tanah yang kita pijak saat ini. Jadi sekarang Ibu yang bertanya padamu, nak. Apakah, semua manusia, sudah berkumpul di sini?"
Kali ini aku yang dilanda bingung.
"Kak Ilham bilang ..." perlahan bibirku mengelaborasi, "Kakak Ilham bilang di Indonesia, negeri nan jauh di sana, keluarganya hidup sehat dan aman. Anak-anak bebas bermain di sana. Lalu ..."
Ibu menunggu, aku melanjutkan.
"Lalu, mereka, kaum yang menghasilkan gelimpangan mayat di luar tenda, masih hidup damai di berbagai benua terpisah. Semua manusia belum berkumpul di sini."
"Itu maksud Ibu sayang," sepertinya Ibu berpikir aku sudah paham sepenuhnya.
"Jadi, kapan itu akan terjadi? Kapan semua manusia akan berkumpul di sini?"
"Entahlah, hanya Rabb kita yang tahu," kata Ibu. Mataku terpejam, tetapi belum terlelap. Dalam kelam, aku masih mendengar suara Ibu. "Kalau bisa berharap, kamu maunya kapan?"
Mataku terbuka kembali. Dengan kecepatan yang sama, seolah satu jawaban memang sudah terprogram di otak, aku membalas, "Secepatnya. Agar orang-orang keji itu bisa merasakan sensasi berada di bawah bangunan yang hancur lebur. Agar Kakak Ilham bisa ketemu keluarganya, dan kita bisa bertemu Ayah, Nenek, Paman Lufti, Bibi Hauba, Kakak Ahmed, dan Kakak Malda juga. Tapi kita akan berada di dalam tenda ini, tenda yang aman, terlindung dari bom yang menyasar gedung-gedung."
Ibu menyambut dengan tepukan pelan yang berulang di kepalaku, isyarat supaya aku segera tidur. Kami terlelap bersama.
Tanpa bisa membuka mata di keesokan hari.
Karena tepat di pertengahan malam, ledakan beruntun memborbardir tenda-tenda relawan dan bangunan rumah sakit. Diusung asap, debu, api beserta teriakan tauhid yang bergema hingga kematian menjemput.
- Day 4: End -
• • • o O o • • •
Sampai sekarang rasanya tidak bisa berbuat apa-apa. Selain menangis. Selain mengiba. Selain berdoa.
Boikot dan bantuan dana masih belum cukup dirasa menghentikan genosida nyata ini.
Jadi apa yang bisa kita lakukan?
Bersuara.
Bersuara.
Bersuara.
Hentikan genosida ini dengan suara kita. Buka mata dunia terhadap distopia nyata yang terjadi kini. Khususnya, bangunkan umat Islam yang tertidur.
We are always stand with Palestine 🇵🇸
#freepalestine
#standwithhumanity
4 Februari 2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro