Agar kamu mengira aku belum mati, aku sengaja berbohong selama ini. Ingatkah aku pernah bicara soal kepercayaan? Itu pun kalau kamu membaca suratku. Itu pun kalau kamu bertemu temanku sebelum jiwanya direnggut. Karena tak ada lagi tempat aman di sini. Semua itu dusta. Ruang-ruang kelas, pengajar yang hebat, teman yang baik, makanan ... memangnya yang seperti itu nyata? Kamu pasti bermimpi siang bolong.

Aku hanya sudah terlalu muak. Aku tidak sanggup lagi hidup di masa ini. Tidak tanpamu yang entah pergi ke mana dan tak kunjung kembali. Tidak dengan lusinan orang sinting di sekelilingku. Jadi aku hanya membual. Aku hanya
mengatakan omong kosong dengan embel-embel agar kamu tahu aku belum mati—padahal salah! Munafik!

Aku mati sudah sejak lama.

Sejak surat pertama yang dikirim kepadamu, Sayangku, aku sudah menjual jiwaku. Karena jiwa ini tak berisi apa pun kecuali kehampaan. Lubang hitam. Apakah kamu perlu mempertahankan sesuatu yang sejak awal tidak berwujud? Jiwa ini tak lebih dari sekadar sarang dosa-dosa, yang jika aku biarkan bertahan lebih lama, akan menampung lebih banyak. Satu-satunya penyuci jiwaku adalah kamu tetapi kamu pergi entah ke mana. Inilah mengapa kita semua menjadi kacau. Inilah mengapa kamu tidak ditakdirkan untuk memiliki pilihan.

Maafkan aku.[]