Yang Kedua
Agar kamu tahu aku belum mati, janganlah kamu mati lebih dulu. Kita sama-sama berjuang di sini. Kamu dengan kehidupanmu yang tidak pernah kuketahui, aku dengan segala ruang-ruang kelas untuk menghabiskan hari. Aku paling suka membaca buku yang diterpa cahaya sore dari jendela kaca patri. Huruf-huruf jadi tampak hidup, jadi terang, dan sesekali meleleh. Kupikir itu masalah tinta, padahal ada yang lebih penting lagi ketika aku menoleh ke atas. Rupanya di loteng itu ada arwah-arwah yang menangis. Itu memang tidak sederas hujan meski cukup membuatku harus berguling ke bawah meja.
Mereka meratap. Menuding Tuhan atas segala kesialan yang menimpa mereka. Apakah boleh begitu, aku tidak tahu. Aku tidak pernah diajarkan untuk menyalahkan Tuhan. Bukankah Tuhan memang akar mula dari segalanya, tetapi kitalah yang meneruskan? Bukankah setiap pilihan ada di tangan kita?
Ingin sekali aku mendengar apa pendapatmu. Sampai waktunya tiba, sampai kamu pulang, aku sudah akan menyiapkan makan malam terbaik buat kita, dan perbincangan yang panjang. Belakangan ini orang-orang lebih sering lapar sementara tidak ada makanan yang memadai untuk semuanya. Jadi, mereka mulai memakan apa pun yang tersedia. Bersyukurlah kamu karena masih memiliki diriku. Atau, aku yang harus bersyukur karena memilikimu sebagai tempat penampungan jiwaku.[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro