Sudah sekian lama aku hidup sendiri tanpa seorang pun di sisiku. Itu sesungguhnya tak terlalu menyedihkan jika kamu secara literal sendirian. Namun, betapa banyaknya manusia di muka bumi ini lantaran tak seorang pun yang bersamaku. Ya itu juga akibat kamu sekonyong-konyong pergi tanpa berkabar. Meninggalkanku yang kini hilang arah dan tujuan.

Musim panas seharusnya jadi amat berkesan buatku, juga buatmu, juga buat orang-orang. Hawa panas yang menjalari setiap ujung kota turut membakar semangat anak-anak ketika memasuki liburan. Aku melewati masa itu. Aku dan mereka pergi ke kolam renang yang amat biru warnanya, jernih bagai kristal, seolah menggodamu untuk segeralompatsaja. Jadi anak-anak mengambil ancang, berlari, lalu menceburkan diri hingga air tumpah ruah ke segala arah. Para ayah dan ibu duduk santai di pinggiran, di bawah payung lebar, minum es limun. 

Tapi seperti yang kubilang: ini jadi menyedihkan karena aku sendirian saat ada banyak manusia di sana. Soalnya kamu tidak ada. Liburan itu tak lagi jadi menyenangkan, tahu? 

Itu salah satu alasan kenapa aku rela menembus badai angin musim gugur malam ini demi mencarimu. Tapi sejak langkah pertamaku keluar dari rumah, tak sampai-sampai kutemukan jalan setapak menuju kota. Segalanya hitam. Berkabut. Hanya siluet-siluet pohon pinus raksasa yang mampu kulihat. Satu-satunya cahaya berasal dari belakang-–dari rumahku rupanya!--sementara yang lain tinggal kegelapan.

Aku tidak tahu apakah setiap manusia tersesat ketika mencari sesuatu yang dia kasihi. Apakah manusia merasakan embusan angin yang begitu dingin, yang perlahan menyusup ke dalam urat nadi dan membekukan tubuh dari dalam, menyisakan hanya rasa mati. Apakah jalan-jalan pencarian itu teramat susah. Apakah seluruh usaha itu sudah terlambat.

Barangkali pengembaraan ini tidak berakhir di mana-mana … atau justru sama sekali belum dimulai sedari awal?[]

Sori belum sempat jalan-jalan ke cerita lain atau cek komen. Airu ngantuk berat. Ciao.

8.49 pm
Airu