Pernahkah kamu bayangkan sebuah tubuh tanpa jiwa? Jika tidak bergerak maka disebut mayat. Jika bergerak maka disebut mayat hidup. Manusia yang berlalu-lalang di sekelilingku tampaknya adalah mayat hidup. Bukan karena aku bisa melihat ada-tidaknya jiwa mereka secara gamblang. Bukan sepenuhnya. Kamu pun bisa tahu lewat cahaya yang terpancar dari mata mereka ....

Coba perhatikan. Apakah itu sepasang mata usang yang memandang dunia dengan cara konvensional, atau sepasang mata yang memandang dunia sebagaimana bayi baru lahir, yang sesungguhnya kedua versi ini sama-sama buram. Namun lain halnya bila kamu melihat dunia dengan apa pun selain mata. Seperti kata seorang kawan lama ini: hanya dengan hati kita bisa melihat dengan benar, apa yang penting tidak akan tampak oleh mata.

Jadi ketika aku naik ke puncak menara yang punya pemandangan terbaik di kota, aku tak lagi heran jika mendapati ketiadaanmu. Tidak ada kamu di antara lautan manusia ini. Tidak ada, tapi bukan karena kamu tidak nyata. Karena mungkin saja kamu bukan manusia (aku harap begitu) kamu bisa berupa makhluk atau bukan makhluk. Walaupun aku sendiri tidak tahu wujud apa lagi yang mampu menulis surat dengan begitu indah. Begitu memesona. Seolah barisan kalimat itu–tunggulah saya. Sebentar lagi–adalah mata yang menatapku dengan teduh, tetapi kejam sekali, tetapi juga indah. 

Telah kukatakan bahwa manusia bisa menjadi mayat atau mayat hidup. Terutama bagi orang yang tidak tahu-menahu tujuan dia hidup di dunia ini. Seperti eksistensi yang kusebut aku ini. Maka ingatkah kamu ketika pagi itu aku bangun meninggalkan berbagai mimpi buruk di belakang … lalu kutemukan suratmu dan membaca … timbul lagi keinginan kuat itu.

Karena kamu membuatku yakin. Karena kamu adalah harapanku. Karena demi menemukanmulah ... Kasihku ... aku ingin terus hidup.[]

Airu
8.47 pm

Rokudenashi-Gaze
ロクでもない体が
陽に焼けてついに明かされる僕ら
産声を上げた
出来立ての愛で
君と見つめ合った
酷く 酷く美しい眼差しだから
今生きたいと思った