Kawan(Baru)
Langkah-langkah panjang yang seolah tak ada akhirnya itu akhirnya membawaku ke hutan pinus di akhir tepian kota. Di depan gerbangnya yang telah berkarat tampak sebuah papan dengan tulisan BAHAYA dan DILARANG MASUK. Jadi sudah jelas aku akan masuk dan menghadapi bahaya tersebut sebab para polisi tidak akan mau melakukannya. Mungkin satu-dua hewan liar bukan masalah bagi mereka, tapi desas-desus yang sempat kudengar di sepanjang jalan tadi bisa saja lebih membuat mereka enggan.
Itu adalah hutan yang penuh dengan orang-orang bunuh diri. Seperti hutan Jepang yang pernah aku lihat di televisi sebuah bar, di hari ketika aku belajar bahwa betapa mengherankannya manusia yang jatuh cinta, hari ketika aku belum membalas sapaan si orang asing dari jendela, hari sebelum aku menemukannya tewas. Jadi kupikir, tidak apa menemukan satu-dua mayat lagi atau arwah-arwahnya sebab mereka tak akan menggotongku ke sel penjara mana-mana. Namun, tak satu pun makhluk yang kusebutkan muncul selain seorang anak kecil di balik semak yang tak kusebutkan.
Setelah aku telaah baik-baik, ia adalah anak manusia utuh dengan wajah pucat ketakutan dan sebilah pisau dalam genggamannya. Kemudian mata yang sedang melotot awas itu beralih padaku hingga membuatnya terjengkang akibat keterkejutan dahsyat. Babi!? Ia berteriak sambil menodongkan pisau. Oleh karena aku tidak punya kawan, dan aku tak terlalu memahami bagaimana interaksi seharusnya terjadi, seruan babi!? itu biasa saja. Malahan mungkin itu adalah jenis sapaan baru. Selamat babi! … atau babi, semuanya! Perkenalkan, namaku ….
"Oh demi Tuhan! Konyol sekali! Hanya orang biasa," desis si anak laki-laki. Dia kembali berjongkok di belakang semak dan mengisyaratkanku untuk mendekat. Katanya ada babi buas berkeliaran di sekitar sini, di jam ini. Lalu kutanya memangnya kenapa. Dia melotot lagi. "Tentu saja karena, kalau Anda berdiri mencolok seperti itu, Anda bakal diseruduk, atau babinya lari dan aku tidak jadi makan."
Aku heran karena anak itu tampaknya masih sekolah dasar atau menengah. Badannya kecil tetapi tangkas. Rambut ikalnya mencuat ke sana-ke mari seperti orang yang habis kena badai topan, tapi bajunya biasa saja. Dia pakai mantel tebal lusuh yang nyaris menenggelamkan tubuhnya. Bagaimana cara dia berburu dengan pakaian seperti itu dan senjata selain senapan? Oh ya, aku punya pistol. Jadi aku mengeluarkan benda itu untuk diberikan kepadanya.
Dia melotot (lagi). Anak-anak rupanya suka melotot. Separuh berbisik dia bertanya, Bagaimana bisa Anda punya pistol di kota ini!? Aku terdiam. Tentu aku bukan berasal dari kota ini, dan pistolku sudah dipakai untuk membunuh dua manusia. Boleh berikutnya babi. Kubilang, Pakai saja.[]
Mau rapat, bentwar ya
7.57 pm
Airu
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro