(Bukan)Kopi yang Bening
Cahaya merah-biru teredam di balik gorden kamar yang kututup. Bunyi sirine tidak lagi bergema di sepanjang jalan perumahan itu, tetapi jelas ada derap langkah berat yang mendekati rumahku. Tak lama, langkah itu disusul ketukan tegas dari pintu depan dan suara pria. Polisi, mungkin, atau apa pun pekerjaan mereka. Aku tidak punya kenalan. Aku tidak tahu bagaimana interaksi yang benar. Jadi aku kebingungan sambil mendekap suratmu, menunggu-nunggu andaikan sebaris kalimat di sana berubah menjadi petunjuk.
Namun, tulisan yang sudah tergores di atas kertas mustahil berubah atas kehendak siapa-siapa, bahkan kehendakku. Dan polisi di pintu depan mulai mendesakku dengan suara yang agak bikin ngilu … ditambah bisik-bisik heboh dari luar … orang yang berlalu-lalang … lampu menyilaukan … aku tidak sanggup.
Maka kutemukan seorang pria yang sedang mengambil ancang-ancang tepat ketika aku membuka pintu. Dia terkejut. Petugas lain di belakang atau di sisinya pun sama. Dia kembali tegak, merapikan pakaian dan topinya, memperkenalkan diri. Katanya dia polisi bernama Tuan–entah siapa. Kemudian orang di sebelahnya adalah asisten–entah siapa. Mereka ingin minta keteranganku soal jasad wanita–entah siapa--yang baru ditemukan hari ini di rusun seberang jalan. Seseorang–entah siapa–bersaksi bahwa akulah yang terakhir tampak di sekitar unit beliau (Alm.).
Namun karena aku diam saja, dia meminta izin untuk bertemu sebentar. Boleh kopi, kalau ada, Dia memberi saran. Sementara dia dan rekan-rekannya memasuki ruang tamu, aku pergi ke dapur dan melihat sekotak kopi bubuk. Ini jadi aneh sekali sebab aku tak suka kopi meski orang yang sejenis denganku notabene suka (aku hanya bertanya-tanya apakah kamu yang suka kopi) … sebab aku juga tidak tahu macam-macam kopi atau apa spesialnya.
Ingatkah kamu waktu aku masih berada di dunia bukan ini yang entah bagaimana sedang hujan salju? Aku singgah di sebuah kedai kecil yang menjual hanya kopi. Tapi kemudian mereka menyajikan secangkir air sebening kristal yang mana mustahil buat sebuah kopi. Yang mana keberadaan kedai itu saja sudah sangat anomali.
Aku menyajikan secangkir kopi sungguhan karena berwarna hitam pekat sesuai warna kopi di meja. Si polisi lantas meminumnya dengan tegukan yang tidak sabar, tapi ia tidak tersedak. Ia justru tertegun sekian lama sampai para rekannya keheranan. Beliau kini meletakkan cangkir itu kembali dan menatapku. Katanya, inilah kopi paling tidak enak yang nyaris membuatku tak lagi ingin minum kopi. Jadi, Tuan, siapa nama Anda tadi?[]
6.57 pm
Airu, ngantuk dan tidak snaggup lahi
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro