(Akhirnya)Pertemuan Ini
Aku terbatuk-batuk hingga memuntahkan air dan terbangun. Sekujur tubuhku basah kuyup. Dingin sekali. Dadaku terasa begitu sesak seolah air-air pernah memenuhinya beberapa waktu lalu. Namun, di antara segala rasa penderitaan nyeri itu, pandanganku yang buram perlahan makin jelas, dan jelas, hingga dapat kulihat seseorang yang amat dekat. Bukan hanya amat dekat. Keningnya bahkan telah menyentuh keningku dan ia mendekapku dengan erat.
Maaf.
Pernyataan lirih itu terdengar olehku, entah berasal darinya, atau dari benakku, atau entah siapa. Bukankah aku tak mengenal siapa pun selain kamu … yang aku bahkan tidak tahu apa wujudmu. Tetapi dia sekarang hadir di hadapanku di atas pasir putih yang sesekali bersinggungan dengan ombak biru ini, dan langit yang juga masih biru, tetapi sedikit lembayung. Lagi-lagi ia mengatakan maaf dan mendekapku makin erat. Kurasakan hangat tubuhnya dan kerinduan, kesedihan, kebencian, tetapi ada kasih yang begitu dalam.
Sekian panjang perjalanan yang telah aku lalui yang seringkali ditemani iringan musik–mungkin ukulele, harmonika, okarina, atau apa saja–tetapi kali ini hening sekali. Hanya bunyi deburan ombak yang menghantam tiang dermaga dan hamparan pasir (dan kami), dan keramaian iring-iringan camar yang bersiap pulang. Namun kemudian lamat-lamat kudengar isak tangis yang teredam di dadaku. Dia menangis. Sementara aku masih bergeming tanpa bergerak sedikit pun hingga wajahku menghangat. Aku juga menangis, tapi aku masih diam. Enggan menggapai pundaknya dan mengusap lembut. Enggan membalas pelukan. Enggan melihat.
Sudah selama ini kamu pergi, hm? Kamu meninggalkan harta untuk memenuhi kebutuhanku, tapi meninggalkanku tanpa mengajarkan hasrat apa pun. Apa kamu pikir aku bisa terus hidup jika seperti itu? Aku tentu lebih memilih hidup di sebuah dunia sureal sembari menulis surat-surat tentang jiwa, tentang kiamat, tentang kehidupan dan kematian, yang kudapat bukan dengan bantuanmu. Kemudian kamu membalas suratku di pagi hari ketika aku merasa begitu nyata dan memandang dunia dari jendela kamarku. Kamu membalas surat-suratku dengan satu lembar surat yang seolah memberi kabar bahagia. Tunggulah saya, sebentar lagi.
Lalu sekarang, ketika aku sudah putus asa dan hendak menghentikan pengembaraan(pencarian) itu, kamu menyelamatkanku. Padahal ingin sekali kusudahi segala pencarian dan penantian itu. Dan sekarang kamu yang menangis penuh penyesalan, dan kerinduan, dan kasih yang sama dalamnya dengan yang kurasakan. Tetapi masalahnya adalah aku bukan lagi anak lelaki suci yang kamu asuh beberapa tahun lalu. Aku sudah memilih jalan lain yang mengotori tanganku, dan jalan itu kamu pulalah yang memberikannya padaku.
Kamu memberikan harta untuk memenuhi kebutuhanku tanpa mengajariku tentang hasrat. Kamu menguburkan pistol itu di pekarangan belakang rumah tanpa mengajariku tentang akibat. Kamu hanya bilang supaya aku memggunakan ini jika tak lagi punya pilihan. Dan sesungguhnya aku tak pernah punya pilihan selain menggunakan itu untuk membunuh diriku sejak kamu pergi ….
Tapi kutahan-tahan agar kamu tahu aku belum mati.
Agar kamu tahu aku belum mati sehingga kamu akan kembali. Asuhlah aku seperti ketika aku kecil, aku mencintaimu. Sayangilah aku seperti ketika aku kecil, aku mencintaimu. Temanilah aku seperti ketika aku kecil, aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Sangat-sangat mencintaimu. Namun, pada empasan ombak yang terakhir menerjang kita, aku melepas pelukanmu sehingga kamu menengadah. Aku mencium keningmu dengan amat lama sebelum bangkit dan terhuyung-huyung menjauh dari sana. Kamu tak memanggil. Aku juga tak mendengar. Hanya desauan angin dan suara air laut yang menemaniku pergi ... tanpa senjata, harta, darah, dan penyesalan yang berlarut-larut.
Aku memang tak menemukanmu: kamu yang menemukanku. Tapi tujuanku hanya sampai kita bertemu. Tidak kurang ... tidak lebih.[]
8.10 pm
Airu
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro