Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

AYG -30- Bahagia Sekaligus Patah Hati

===========
-30- Bahagia Sekaligus Patah Hati
===========


Apa yang dikatakan Hendra malam itu membawa dampak buruk bagi Ira. Pasalnya semalaman gadis itu tidak berhenti menangis bahkan sampai pagi. Entah apa yang membuat Ira merasa sesedih itu. Yang jelas ketika Hendra memutuskan untuk pergi, Ira merasa kehilangan yang amat besar untuk kedua kalinya.

Sampai saat ini Ira tidak mengerti kenapa dia dipertemukan dengan Hendra, lalu tiba-tiba dipisahkan. Persis seperti apa yang dialami saat bersama Alvi dulu. Seakan-akan waktu tiga puluh hari tidak berarti bagi lelaki itu. Walau Ira juga tidak bisa menyangkal jika dia pernah terbayang-bayang Alvi saat bersama Hendra, seperti yang dikatakan lelaki itu.

Pintu kamar Ira di ketuk dari luar beberapa kali. Dengan terpaksa Ira bangkit dari ranjangnya. Tak lupa dia mengusap sisa air matanya sebelum membuka pintu.

"Eh Raya, ada apa?"

"Kak Ira sakit? Kok dari semalam nggak keluar kamar sampai jam segini. Ini kan hari Selasa. Kak Ira nggak ke kampus?"

"Emang jam berapa sekarang?"

"Jam sepuluh."

Ira termenung. Selama itukah dia menangis? Pasti sekarang Raya melihat kantung matanya dan wajahnya yang sembab karena air mata.

"Kak Ira beneran lagi sakit?"

"Enggak. Aku sehat." Tapi hatiku yang sakit, lanjutnya dalam hati.

"Tapi muka Kakak pucat. Apa Kak Ira semalam nggak tidur?"

Ira tidak menjawab.

"Kalau Kak Ira butuh teman cerita, aku mau jadi pendengar yang baik. Daripada masalah dipendam sendirian, yang ada malah tambah sakit. Itu kalau Kak Ira mau sih. Aku nggak maksa."

Raya benar, Ira memang butuh teman untuk berbagi. Sekarang Ira tidak mungkin memanggil Sarah atau Mita. Kedua sahabatnya itu sedang persiapan wisuda.

"Aku mau, Ray. Aku cuci muka dulu, ya."

***

Usai cuci muka dan menyisir rambutnya, Ira mengikuti Raya. Gadis yang sudah mengikuti ujian nasional itu memilih teras depan sebagai tempat yang cocok untuk berbagi cerita. Di tempat ini pula, Ira dan Hendra pernah membicarakan tentang masa depan mereka.

"Aku udah buatin teh hangat buat temen ngobrol." Raya menyuguhkan dua cangkir teh di meja.

"Makasih, ya."

"Sama-sama, Kak. Sekarang Kak Ira boleh cerita. Apapun yang mengganjal di hati keluarin aja."

Beberapa detik kemudian, dengan lancar Ira menceritakan semuanya pada Raya. Raya betul-betul menjadi pendengar yang baik, dia tidak sedikit pun menyela Ira.

"Kak, aku punya satu pengalaman yang pengen aku ceritain ke Kakak," kata Raya setelah Ira selesai cerita.

"Apa itu?"

Raya menyesap tehnya dulu sebelum bercerita. "Dulu waktu kelas sembilan, aku punya pacar. Bisa dibilang kami langgeng karena sampai kelas sebelas masih bareng. Setiap ada ribut-ribut kecil kami selalu bisa cepet baikan. Dia cowok yang pengertian, sabar banget menghadapi aku yang labil. Sampai akhirnya prahara datang saat kami mau merayakan anniversary yang ke-tiga. Dia kecelakaan motor. Terus koma sampai dua belas hari dan akhirnya dia meninggal. Waktu kejadian aku nggak tau sama sekali. Aku sempet ngambek sama dia karena dia nggak datang pas hari jadi kami dan HP dia nggak aktif. Lalu tiga hari setelah kejadian, mamanya baru ngabarin ke aku. Aku langsung ke sana dan nungguin dia sampai hari ke-dua belas. Begitu dia dinyatakan meninggal, aku nggak percaya. Aku goyang-goyangin badan dia, berharap dia bangun terus bilang Happy Anniversary. Walaupun aku tahu hasilnya nihil. Dia bener-bener pergi dan nggak akan pernah kembali lagi."

Raya kemudian mengeluarkan sebuah gantungan kunci beruang serta amplop berwarna merah jambu dari dalam kantung bajunya. "Kalau kecelakaan itu nggak terjadi, dia mau ngasih gantungan kunci ini. Terus amplop ini di dalamnya ada surat dari dia. Mungkin dia udah punya firasat, makanya dia nulis surat ini buat aku karena biasanya dia ngomong langsung. Di surat ini dia bilang, dia ngasih gantungan kunci biar bisa dibawa ke mana-mana. Terus nyuruh aku jangan sedih kalau tahun yang akan datang dia nggak bisa ngerayain anniversary lagi. Di situ aku bener-bener merasa kehilangan banget. Aku nggak nyangka kalau dia bakal pergi secepat itu."

Mata Raya berkaca-kaca, bahkan air matanya sudah hampir keluar tapi berhasil Raya tahan.

"Walaupun dia udah nggak ada, aku masih menjalin hubungan baik sama keluarganya. Mamanya tuh nggak kayak ibu-ibu di sinetron yang suka nyalahin orang atas kematian anaknya. Mamanya justru nyuruh aku buat ikhlasin anaknya, katanya biar jalan anaknya lapang. Aku salut sama ketabahan beliau. Makanya sampai sekarang aku cuma sekali datang ke makam dia. Bukan karena nggak sayang lagi, tapi karena aku mau belajar ikhlasin dia. Aku sadar mau sampai nangis nanah pun, dia nggak akan balik lagi. Mendoakan dia nggak harus di depan makamnya langsung."

Ira jadi teringat dengan Marissa. Marissa sama seperti mamanya pacar Raya. Selama empat tahun ini, Ira tidak melihat gurat kesedihan di wajah perempuan itu. Apa itu artinya Marissa sudah mengikhlaskan Alvi?

"Jadi sekarang kamu udah berhasil ngelupain dia?" tanya Ira untuk pertama kalinya.

"No, Kak. Aku sama sekali nggak berniat ngelupain dia. Kenangan tercipta bukan untuk dilupain, mau itu yang baik atau buruk." Raya kembali menyesap tehnya sebelum melanjutkan. "Kak... yang mau aku aku tegasin di sini, Kakak harus bisa berdamai dengan kenyataan. Mengikhlaskan sesuatu yang sudah terjadi. Yang aku pikirin saat itu, jalan hidupku masih panjang, nyawaku masih melekat di badan, jadi buat apa aku ngelakuin hal yang sia-sia? Aku tahu ikhlas pelajaran yang paling sulit, tapi kalau Kakak nggak berusaha sekarang, kapan lagi? Bukan orang lain yang bikin kita move on, tapi diri kita sendiri." Raya menarik napas. "Dan untuk soal Kak Hendra, aku rasa wajar kalau dia bisa bilang begitu. Walaupun mereka berdua punya wajah yang sama, tapi mereka berbeda."

Ira terdiam. Kata-kata Raya sungguh menohok hatinya. Jadi yang selama ini dia lakukan ternyata sia-sia. Memandang foto Alvi saat bangun tidur, rajin datang ke makam Alvi lalu menangis di sana, setiap malam selalu berdoa agar bisa bertemu Alvi di mimpi.

Kamu pikir mudah hidup di antara bayang-bayang orang lain?

Kalimat tajam itu kembali teringang di pikiran Ira. Sekarang gadis itu menyadari kesalahannya, walaupun sebenarnya Hendra juga keliru menilai perasaannya. Tidak semua yang Ira lakukan bersama Hendra selalu dikaitkan dengan Alvi. Tiga puluh hari itu, bukan waktu yang sia-sia bagi Ira.

***

Hasil dari curahan hatinya dengan Raya, membawa Ira ke masa sekarang. Dengan baju toga yang melekat di tubuhnya. Ya, hari ini tepatnya dua bulan kemudian, Ira berhasil mengejar skripsinya dan dinyatakan lulus dengan IPK terbaik.

Orangtua, teman-teman, bahkan Om Gunawan hadir di acara wisudanya, meski ada satu orang yang Ira harapkan kedatangannya di hari spesialnya ini. Ira tahu, dia sedang berjuang untuk mendapatkan gelar yang selama ini diharapkannya, seperti yang Ira ukir di softcase pemberiannya.

Begitu prosesi wisuda telah usai, Ira menghampiri kedua orang tuanya. Mencium tangan mereka secara bergantian.

"Selamat ya, Ira. Papa bangga sama kamu," ujar Wijaya.

"Mama juga bangga sama kamu," timpal Laras.

"Makasih kalian udah mau datang."

"Kamu nggak perlu bilang makasih. Itu udah jadi kewajiban Mama sama Papa buat membahagiakan kamu," ujar Laras.

Mendengar ucapan Laras, Ira tidak dapat membendung perasaannya lagi. Akhirnya Ira memeluk kedua orangtuanya.

"Om nggak dipeluk juga?"

Ira melepas pelukannya lalu menoleh ke belakang. Ira menghampiri Om Gunawan dan mencium tangannya sebentar.

"Selamat ya, Ira. Ternyata kamu udah besar. Badannya udah lebih tinggi dari Om."

"Om bisa aja."

"Wijaya, kapan anak gadismu ini mau kau nikahkan? Dia sudah besar sekarang," tanya Om Gunawan kepada Wijaya.

"Nanti kalau sudah ketemu jodohnya," jawab Wijaya. Lalu kedua lelaki paruh baya itu tertawa bersama.

"Om, aku belum mau nikah. Aku mau kerja dulu."

"Mau kerja dulu atau sedang menunggu seseorang...."

"Om kalo ngomong suka bener."

Itu barusan Jojo yang bicara. Dia datang bersama Joni, Sarah, dan Danu. Mita berhalangan hadir karena sedang berada di Singapura. Namun Mita tidak lupa mengucapkan selamat melalui video call.

"Ira tuh sebenernya lagi menanti seseorang Om, makanya nggak mau nikah sekarang," lanjut Jojo.

"Sok tau kamu, Jo," Ira berkilah.

"Siapa sih orang itu? Om jadi penasaran."

"Yang pasti ganteng, Om. Calon dokter pula."

"Jojo!" Ira geleng-geleng kepala. Mulut Jojo memang tidak diragukan lagi ke-ember-annya. Salah besar jika rahasia seupil sampai di telinga Jojo.

"Wah Wijaya, anak gadismu pandai mencari jodoh ternyata."

"Papa jadi penasaran, siapa sih calon dokter itu?"

"Bukan siapa-siapa, Pa. Jojo kok didengerin."

"Yakin nih bukan siapa-siapa? Nanti orangnya datang, skak mat kamu." Kali ini Danu yang bicara dan tawa mulai membahana. Ira mencebik. Om, Papa serta teman-temannya kompak meledek.

"Udah, ah. Kasian Ira, mukanya udah merah tuh," kata Sarah. "Gimana sekarang foto-foto aja, mumpung Ira masih pakai toga."

"Ide bagus," sahut Jojo. Kemudian Jojo mengeluarkan ponselnya, membuka fitur kamera lalu mengarahkannya ke depan. Foto dimulai dengan gaya formal, semi formal, sampai gaya absurd pun dibidik.

Usai berfoto bersama, tiba-tiba datang segerombolan mahasiswi. Di tangan mereka membawa sebuah buku yang Ira lihat adalah buku komik luncurannya. Komik amanah Alvi sudah terbit sebulan yang lalu. Kabar baiknya buku tersebut telah terjual sampai 5000 eksemplar dalam waktu dua hari saat masa pre order dan sekarang sudah tersebar di toko buku.

"Kak, minta tanda tangan dong."

"Aku juga. Kemarin ketinggalan PO."

"Aku juga!"

"Aku juga!"

Ira kewalahan menerima buku-buku di tangannya. Dia mulai menandatangani satu per satu. Ketika sudah selesai, ada satu mahasiswi memberikan sebuah kotak berpita berukuran kecil.

"Dari siapa?" tanya Ira.

"Kata yang ngasih, kalau udah dibuka pasti Kak Ira tahu hadiah itu dari siapa."

Ira yang sudah penasaran langsung membuka kotak tersebut. Isi kotak tersebut adalah softcase bermotif salah satu karakter komik miliknya. Ira tahu siapa yang memberikan hadiah itu.

Dari kejauhan, seorang laki-laki tersenyum memperhatikan Ira. Dia sudah lega karena hadiahnya sudah sampai ke tangan penerima. Meski dia hanya berani menatap Ira dari jarak berpuluh meter, doa darinya selalu dipanjatkan untuk gadis itu. Dan semoga jika waktunya sudah tepat, dia ingin bertemu dengan Ira.

***

A/N

Dear ibukosboongan thanks untuk pengalamannya. Tenang, aku udh ijin kok sama orangnya. Sori lama :)



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro