Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

AYG -28- Monumen Nasional Lagi


===========
-28- Monumen Nasional Lagi
===========

Nanti malam, Hendra resmi menginap di rumah Marissa. Kedatangan Hendra disambut baik oleh ketiga anak Marissa. Bahkan sudah lama mereka menanti-nanti Hendra, tapi baru kali ini kesampaian lantaran Hendra baru selesai skripsi.

Tentu saja suasana di rumah Marissa berbeda dengan rumahnya. Biasanya di ruang makan hanya ada dirinya, Mayang, dan Anto. Tetapi di rumah Marissa, ada Angga dan Rita yang meramaikan suasana, juga teriakan kesal Gita karena Angga mencomot makanan padahal belum cuci tangan.

"Kamu tidur di kamar ini, ya," kata Marissa. Menunjukkan kamar berukuran 4x2 meter yang terlihat rapi. Hendra dan Marissa duduk di tepi ranjang.

"Kamar ini pernah di tempati Alvi. Belum Ibu rombak karena sejak Alvi meninggal, Ira sering masuk ke sini."

"Ngapain Ira masuk ke sini?"

"Ibu nggak tahu, Nak. Karena baik Ibu maupun yang lain nggak mau mengusik dia. Tapi udah hampir sebulan ini Ira nggak ke sini, biasanya hampir setiap hari. Mungkin lagi sibuk sama komiknya."

"Jadi Ibu tahu kalau Ira mau nerbitin komik dari kisah dia dan Alvi?"

Marissa mengangguk. "Ira sempet minta izin sama Ibu karena mau mengubah sedikit alur ceritanya. Ibu sih setuju-setuju aja."

Marissa bangkit berdiri. "Kamu istirahat sana. Besok kita ngobrol lagi."

"Tapi Bu, boleh aku liat-liat isi kamar ini."

"Silakan, Nak. Anggap aja ini kamar kamu juga."

Setelah itu, Marissa keluar lalu menutup pintu. Hendra bangkit dan mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Tidak ada yang aneh dari kamar ini. Dan sepertinya barang pribadi Alvi masih utuh, karena Hendra melihat ada kursi roda yang terlipat di sudut kamar. Hendra beranjak ke meja belajar Alvi, meraba buku-buku yang berdiri kokoh di rak. Lantas mengambil asal buku yang di sana, buku paket biologi.

Hendra membolak-balik halaman buku tersebut. Terdapat tulisan tangan Alvi yang awalnya bagus lama-lama sulit dibaca, mungkin karena Ataxia yang semakin parah. Di halaman belakang, Hendra menemukan selembar foto. Hendra memungut foto tersebut.

Foto berukuran 3R menampilkan wajah yang mirip dengannya dan wajah gadis yang ia kenal. Keduanya berfoto di dekat tugu yang menjadi ikon kota Jakarta. Hendra membalikkan foto tersebut, ternyata di belakangnya ada sebuah tulisan tangan.

Dear, semoga kelak aku bisa ngajak kamu ke sini pas malam hari. Kita bisa liat lampu monas sama-sama. Tapi kalo aku udah nggak ada, semoga Danu, Jojo, atau Joni ngajak kamu ke sana :)

Hendra tertegun. Ide mengajak Ira ke Monas saat malam hari terlintas begitu saja. Tidak ada  salahnya mewujudkan harapan Alvi yang belum sempat dicapai sebelum meninggal.

***

Hendra lupa membawa baju ganti dari rumah. Ia baru menyadarinya saat akan berangkat mandi. Padahal di rumah, Mayang sudah berkali-kali mengingatkannya.

Hendra segan mengambil pakaian dari lemari Alvi. Statusnya di sini kan hanya sebagai tamu. Hendra tidak mau dianggap lancang karena sudah mengusik barang pribadi Alvi.

"Kamu kok masih di kamar? Katanya mau mandi?" Marissa menghampiri putranya.

"Aku lupa bawa baju ganti, Bu."

"Oh. Ya sudah kamu ambil aja baju di lemari ini. Semoga cukup ya di badan kamu soalnya Alvi dulu suka baju-baju longgar."

Hendra mengerjap tidak percaya. "Serius, Bu?"

"Iya. Kamu pakai aja baju Alvi."

"Makasih, Bu."

Hendra kemudian membuka lemari pakaian Alvi. Hendra mengambil T-shirt putih, jaket bomber warna biru, dan celana warna hitam.

***

Ira tampak senang setelah membaca pesan dari Hendra yang mengatakan akan mengajaknya ke suatu tempat. Ira segera bergerak cepat menuju kamar mandi.

Malam ini Ira mengenakan kaos dipadu dengan cardigan berwarna biru. Bawahannya celana denim panjang. Rambutnya dibiarkan tergerai dan hanya dihiasi jepitan Doraemon.

"Cie yang mau nge-date." Raya meledek begitu Ira keluar dari kamarnya.

"Apaan deh...."

"Kak Ira mau pergi, kan? Aku nitip martabak spesial ya, kak."

"Nggak mau, ah," kata Ira sambil ngeloyor pergi.

Raya cemberut. "Kak Ira ih, jahat!"

Ira sudah berdiri di depan pagar. Ia mengecek ponselnya. Pesannya lima menit yang lalu masih bertanda dua centang abu-abu. Mungkin Hendra masih ada di jalan, pikir Ira. Ngomong-ngomong, hari ini bertepatan dengan hari ke dua puluh sembilan.

Mobil yang ditunggu Ira pun datang. Hendra keluar. Seketika Ira terbelalak melihat jaket yang dikenakan pria itu. Jaket itu ... jaket yang biasa Alvi pakai saat sekolah.

"Ira, ayo masuk."

Tanpa Ira sadari, Hendra sudah membukakan pintu untuknya. Melihat mata Ira tertuju pada jaket yang ia kenakan, Hendra menyadari sesuatu. "Aku emang pakai jaket Alvi. Tadi aku ada di rumah Ibu dan lupa bawa baju ganti. Terus sama Ibu diizinin pakai pakaian Alvi. Untung muat."

"Oh gitu...." Ira grogi.

"Ayo. Nanti keburu tempatnya tutup."

"Oh iya."

Ira masuk ke mobil. Hendra menutup pintunya lalu duduk di jok depan. Hendra memacu kendaraannya menuju tempat yang pastinya membuat Ira senang.

Selama perjalanan, sesekali Ira melirik pemuda di sampingnya. Di mata Ira, malam ini ia seakan-akan melihat jelmaan Alvi secara nyata. Ternyata Tuhan mengabulkan permintaannya. Ira bisa melihat bahkan menyentuh Alvi sepuasnya.

"Ira, coba kamu lihat ke kaca."

Ira menurut. Setelah itu, Ira melihat sebuah tugu yang mirip lampion. Ira juga pernah ke sini, bersama dengan orang yang sama.

''Sayang sih, kita ke sininya gak pas malem. Kalo pas malem, dari sini kelihatan jelas lampu-lampu kota Jakarta. Bagus deh pokoknya,''

''Lain waktu, kita bisa ke sini lagi pas malam hari.''

Kini, Tuhan kembali mengabulkan doanya. Ira bisa melihat Monumen Nasional saat malam hari.

Mobil berhenti. Tanpa aba-aba, Ira turun dari mobil. Menatap takjub tugu yang kokoh berhiaskan lampu warna-warni. Memang sejak Alvi mengajaknya ke sini, Ira tidak pernah datang lagi. Apalagi mencoba datang saat malam hari.

"Mau coba naik ke puncak?"

Seakan dihipnotis, Ira menganggukkan kepalanya.

Selanjutnya yang Hendra lakukan adalah membeli tiket masuk untuk dua orang. Lalu mengajak Ira masuk ke ruang utama Monas. Ira dan Hendra menaiki lift untuk sampai ke puncak Monas. Batas waktu pengunjung adalah jam 21.00. Masih sisa tiga puluh menit.

Sampai di puncak, Ira disuguhkan pemandangan yang menakjubkan. Benar kata Alvi, dari puncak kita bisa melihat lampu-lampu penerangan rumah dan juga gedung. Bintang-bintang gemerlap turut menghiasi langit kota Jakarta.

"Akhirnya kita ke sini," gumam Ira yang didengar oleh Hendra.

"Kamu suka, kan?" tanya Hendra yang sedari tadi berdiri memperhatikan Ira.

Ira mengangguk.

Hendra menengok arloji di tangannya. Lima belas menit lagi jam sembilan. "Ira, kita turun yuk. Bentar lagi tutup nih."

Hendra berjalan lebih dulu menuju lift. Namun, langkahnya terhenti saat ia merasakan pelukan erat dari belakang.

"Aku tahu, kamu masih ada di sini. Kamu nggak ke mana-mana, apalagi ninggalin aku. Terima kasih untuk waktumu selama ini. Aku sayang kamu, Alvi."

***

A/N

Wayolo....




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro