Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

AYG -23- Dinner (tak) Romantis

============
-23- Dinner (tak) Romantis
============

Setelah kejadian yang menggegerkan seantero fakultas itu, Ira akhirnya menyuruh Hendra untuk tidak menjemputnya di fakultas. Alasannya karena Ira tidak ingin menjadi pusat perhatian.

Hendra
Hari Sabtu, kamu ada acara?

Satu pesan masuk dari Hendra sekitar dua jam yang lalu dan Ira baru saja membacanya setelah mandi.

Me
Nggak ada. Memangnya ada apa?

Hendra
Dinner yuk! Kamu mau, kan?

Me
Mau. Tapi saya yg milih tempat sama makanannya. Gimana? Kamu setuju?

Hendra
Oke. Jadi, saya cuma bawa badan sama mobil nih?

Me
Iya. Pokoknya kamu tenang aja. Semuanya aman sama saya.

Begitu sudah tidak ada balasan dari Hendra, Ira bergegas keluar dari kamar. Pada saat yang sama Raya juga keluar dari kamar.

"Raya," panggil Ira. "Aku boleh minta bantuan?"

"Bantuan apa, Kak?"

"Nanti malam aku mau dinner sama Hendra. Ukuran sepatu kita kan sama, nah aku mau pinjem sepatu kamu, boleh kan?"

"Boleh banget, Kak. Cie yang mau dinner."

"Apaan sih!"

"Cie...."

Raya berlalu untuk mengambil sepatu miliknya. Sedangkan Ira mulai fokus mencari restoran di web browser. Jika kalian bertanya kenapa Ira lebih memilih meminjam daripada membeli sendiri, jawabannya sudah pasti Ira tidak mau menghamburkan uang hanya untuk sepasang sepatu yang dipakai semalam saja. Beberapa sepatu miliknya yang belum pernah terpakai sudah dijadikan kado ulang tahun.

Raya kemudian muncul dengan membawa sepasang sepatu hak tinggi.

"Ini ukurannya berapa?" tanya Ira.

"Tujuh belas, Kak."

"Hah? Itu tinggi banget, Ray. Aku nggak biasa pakai heels."

"Yang di kamar malah lebih tinggi dari sepatu itu. Kakak mau?"

"Nggak. Yang ini aja."

***

Tepat pukul tujuh malam, Hendra tiba di kost-an Ira. Begitu sudah mematikan mesin mobil, Hendra mengeluarkan ponsel dan menekan aplikasi hijau bergambar gagang telepon.

Me
Saya udah di depan. Kamu keluar, ya.

Mendapat centang abu-abu dua, Hendra menaruh ponsel di dasbor lalu keluar. Sambil menunggu Ira, Hendra mengecek penampilannya sebentar di kaca spion.

"Lama nunggunya?"

Hendra menoleh ke sumber suara. Dalam sekejap laki-laki itu terpana melihat penampilan Ira malam ini. Rambut panjangnya dibuat sedikit bergelombang pada bagian ujungnya dan seperti biasa diberi aksen jepit rambut kepala Doraemon di bagian poni. Tubuh gadis itu dibalut dress A line berwarna biru muda, serasi dengan kemeja yang dikenakan Hendra malam ini.

Hendra memandang Ira tanpa kedip hingga tanpa sadar ada Raya yang sedari tadi berdiri di samping Ira.

"Cieee, janjian pakek warna biru muda nih."

"Enggak," jawab Ira dan Hendra serempak.

"Kompak amat Mas sama Mbaknya. Mending aku cabs aja deh daripada jadi nyamuk." Raya melengos masuk.

Begitu Raya tidak ada, Ira mulai merasa canggung di depan Hendra.

"Berangkat sekarang?"

Ira tergagap. "Eh, iya."

Ira berjalan menuju mobil Hendra, sedikit kesulitan karena tidak biasa menggunakan sepatu hak tinggi. Hendra membukakan pintu mobil untuknya. Mendapat perlakuan seperti itu, Ira mengucapkan terima kasih. Ketika Ira sudah masuk, giliran Hendra yang duduk di depan kemudi dan mulai menyalakan mesin mobil.

"Kok kita bisa samaan warna bajunya." Hendra membuka percakapan saat mobil melaju dengan kecepatan sedang.

"Kebetulan aja. Nggak usah terlalu dipikirin."

"Ya menurut saya ini agak gimana gitu, kita nggak pernah janjian tapi bisa sama. Apa itu namanya kalau bukan sehati?"

Ira tertegun.

"Apa sebaiknya mulai dari sekarang kita pakai aku-kamu aja? Biar kita kelihatan lebih akrab gitu," kata Hendra.

"Boleh."

"Habis dari sini ke arah mana?"

"Kamu lurus aja habis itu belok kanan. Nanti kelihatan kok tempatnya."

"Oh oke."

Kemudian mengheningkan cipta pun dimulai. Hanya terdengar suara penyiar radio yang sengaja Hendra nyalakan.

Lima belas menit kemudian mereka berdua sudah tiba di restoran karena kondisi jalanan lengang. Hendra dan Ira turun dari mobil secara bersamaan. Ketika hendak melangkah, Ira merasa tidak nyaman dengan sepatunya. Begitu sudah siap, Ira mulai berjalan lagi. Namun tiba-tiba gadis itu terhuyung ke depan dan hampir saja jatuh jika Hendra tidak memegang tangannya.

"Ira, kamu kenapa?"

Ira melepas sepatu sebelah kirinya. Sepatu tersebut sudah tidak layak pakai lagi karena pada bagian hak-nya patah.

"Ya ampun Ira, kok bisa patah?"

"Sebenarnya ... Aku nggak biasa pakai heels."

"Kalau nggak biasa kenapa makai? Untung kaki kamu nggak keseleo. Kayaknya di mobil ada sandal. Sebentar."

Hendra bergegas menuju mobilnya untuk mengambil sandal yang dimaksud. Begitu sudah ketemu, Hendra kembali menghampiri Ira.

"Pakai sandal ini nggak papa, kan?" Hendra menyodorkan sepasang sandal jepit berbentuk kepala doraemon.

"Aku sih nggak papa. Tapi kamu ... Apa nggak malu jalan sama cewek yang pakai sandal jepit?"

"Kenapa kamu tanya aku? Aku nggak papa. Kamu kan pakai sandal jepit bukan telanjang. Jadi buat apa aku harus malu?"

Hendra berjongkok di hadapan Ira, lalu melepaskan sepatu sebelah kanan dan menggantinya dengan sandal doraemon miliknya. Agak kebesaran di kaki gadis itu. Setelah itu Hendra pun berdiri.

"Daripada kamu maksa pakai heels biar tampil perfect masih nyaman pakai sandal itu, kan?"

Ira menggangguk.

"Ayo masuk!"

Hendra merangkul tangan Ira. Lalu mengajak gadis itu masuk ke restoran. Begitu sudah masuk, puluhan pasang mata langsung tertuju pada sandal yang dikenakan Ira. Ira tersenyum kikuk, tetapi pemuda di sebelahnya terlihat biasa saja.

Keduanya berjalan menuju meja yang sudah Ira pesan sebelumnya. Begitu sudah sampai dan duduk, pelayan menghampiri meja mereka. Ira pun memesan dua makanan dan minuman.

"Tempatnya enak. Pinter kamu," ujar Hendra

"Emangnya kamu belum pernah ke sini?"

"Aku baru pertama kali ke sini sama kamu."

"Gombal."

"Serius."

Tak butuh waktu lama, pelayan datang membawa pesanan Ira.

"Enak nih kayaknya."

Hendra mengambil garpu dan pisau. Lalu mulai memotong steak-nya, memasukkan potongan itu ke dalam mulut. Beberapa saat setelah makanan itu tertelan, tubuhnya bereaksi gatal-gatal. Karena penasaran, Hendra kembali menyantap makanan tersebut. Begitu suapan ketiga habis, Hendra meletakkan garpu dan pisaunya.

Melihat Hendra meletakkan garpu dan pisau, juga menggaruk tengkuk, membuat Ira berhenti menyantap makanannya dan menatap Hendra.

"Ira. Ini steak apa ya kalau boleh tahu?" Hendra akhirnya bertanya.

"Steak udang."

Hendra terkesiap. Pantas saja setelah memakan steak itu, badannya jadi gatal-gatal.

"Maaf Ira, aku ke luar sebentar."

"Ke mana?" seru Ira begitu Hendra keluar dengan langkah terburu-buru. Ira kemudian meminta bill kepada pelayan. Selesai urusan pembayaran, Ira bergegas mencari Hendra.

Ternyata Hendra sedang berada di mobilnya dan seperti sedang mencari sesuatu. Ira menghampirinya.

"Hendra--astaga, badan kamu kenapa?" Ira terpekik kaget begitu melihat wajah, leher, serta kedua tangan Hendra terdapat bintik-bintik merah.

"Ira, aku lupa bilang kalau sebenarnya aku alergi udang. Dan apesnya, obat yang biasa aku minum nggak ada."

Detik itu juga, jantung Ira berhenti berdetak. Perasaan bersalah muncul perlahan.

"Kita cari apotek sekitar sini aja," usul Ira, "Kamu tahu resep obatnya, kan?"

"Tahu."

"Oke. Kalau begitu biar aku yang nyetir mobil kamu. Takutnya kalau kamu yang nyetir nggak fokus malah jadi bahaya."

"Iya, bener kata kamu." Hendra menyerahkan kunci mobilnya pada Ira. Lalu dudik di samping jok sopir. Disusul Ira yang baru saja duduk, memasang sabuk pengaman dan mengatur napas agar tidak panik, Ira mulai menyalakan mesin. Kakinya perlahan menekan pedal gas.

***

A/N

Aku suka pas nulis bab ini wkwkwk

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro