AYG -21- 30 Hari Bersama Alva
============
-21- 30 Hari Bersama Alva
============
Sampai tiga hari Mita dan Jojo melancarkan aksi diamnya. Ira tidak tahu lagi harus dengan cara apa agar Mita dan Jojo mau mendengarkannya. Melalui chat, Sarah selalu bertanya pada Ira apakah masalah di hari resepsi itu sudah selesai apa belum. Jika belum selesai juga, Joni akan turun tangan.
Ira tahu, Jojo dan Mita hanya kecewa karena Danu melanggar peraturan yang dibuat sendiri. Tentang perasaan, Ira yakin kalau Jojo pasti tahu jika perasaan tidak ada yang salah. Perasaan Danu memang tidak salah, hanya saja waktu dan tempatnya yang salah. Sungguh Ira tidak menyadari bahwa perhatian yang selalu berikan Danu adalah bentuk dari cinta laki-laki itu.
***
Setelah kelas berakhir, Ira berniat mendatangi kafe untuk menghilangkan pusing akibat masalahnya yang belum tuntas. Saat hendak memasuki kafe tersebut, Ira bertemu dengan Hendra.
"Mau ke sini juga?" tanya Hendra.
"Iya."
"Ya udah kalo gitu bareng aja. Ayo."
Ira mengerjap. Ragu menerima tawaran pria itu, tapi kakinya justru melangkah sejajar dengan langkah kaki Hendra.
Begitu mendapat tempat yang kosong, Ira dan Hendra duduk saling berhadapan. Pramusaji datang. Hendra memesan kopi sedangkan Ira memesan jus mangga.
"Nomor saya sudah kamu simpan?" Hendra bertanya.
"Yang belakangnya berapa?"
"123."
"Oh. Nomor itu yang nelpon saya waktu kelas berlangsung, sampai saya kena marah dosen."
Hendra terkesiap. "Jadi kamu nggak angkat telepon saya karena lagi ada kelas? Kalau begitu, saya minta maaf."
Ira bergeming.
Lima belas menit kemudian, pramusaji datang membawakan pesanan mereka. Ketika gelas minumannya diletakkan di meja, Ira teringat peristiwa salah minuman.
"Apa kamu sering datang ke sini?" tanya Ira tiba-tiba.
"Nggak, sesekali aja. Kenapa emangnya?"
Ira memilih tidak menjawab. Apa iya waktu itu minumanku ketuker sama punya Hendra?
"Saya terakhir ke sini dua bulan yang lalu. Saya juga pernah pesan kopi tapi yang datang malah jus mangga."
Ira terbelalak. "Jadi itu... minuman kamu?"
"Hah?" Hendra terkesiap. Matanya tertuju pada gelas jus mangga Ira. Oh! Hendra tahu sekarang. "Jadi waktu itu minuman kita yang ketuker? Kok bisa kebetulan gitu...."
Lagi, Ira memilih untuk tidak menjawab.
"Menurut kamu, kenapa kita di pertemukan secara kebetulan?"
Alih-alih menjawab, Ira justru melempar pertanyaan, "Kenapa?"
"Karena Tuhan mempunyai seribu cara untuk memberitahu kalau kita ini berjodoh," jawab Hendra seraya memandang Ira.
"Apa hubungannya minuman ketuker sama jodoh?"
"Seperti yang saya katakan barusan. Kita tidak akan pernah tahu dengan cara apa kita bertemu dengan jodoh."
"Kenapa kamu yakin kalau saya ini jodoh kamu?"
"Karena sebelum kita ketemu, saya sudah ketemu kamu lebih dulu."
"Di mana?"
"Di mimpi." Hendra menyeruput kopinya. "Asal kamu tahu, peristiwa di tempat parkir itu termasuk bagian dari mimpi saya."
Setelah itu, Ira meraih gelas minumannya. Mengaduk jus menggunakan sedotan lalu menyeruput sedikit. Kepalanya semakin berdenyut. Sebisa mungkin Ira berusaha untuk tidak mempercayai apa pun yang dikatakan Hendra. Termasuk perihal tentang jodoh dan kebetulan.
Ira meletakkan gelasnya di meja. "Jujur, saya bingung. Kita baru saja ketemu dan tiba-tiba bahas jodoh. Saya heran, kenapa kamu bisa seyakin itu?"
"Saya jatuh cinta sama kamu, Ira."
Ira memandang Hendra tanpa kedip. Entah dia harus senang atau marah mendengar pernyataan cinta dari pria yang baru dikenalnya beberapa hari yang lalu.
"Maaf kalau saya terlalu cepat mengatakan ini. Saya tahu kamu belum siap membuka hati kamu untuk laki-laki lain. Tapi yang harus kamu tahu, hidup ini terus berjalan. Jangan berlarut-larut dalam kesedihan. Alvi tidak akan pernah kembali. Dia sudah tenang sekarang."
"Kamu pikir mudah melupakan seseorang yang berarti buat kamu? Tahu apa kamu tentang saya dan Alvi?" Tanpa disadari suara Ira meninggi saat melontarkan pertanyaan itu.
"Saya memang nggak tahu jelasnya hubungan kamu sama Alvi dan saya juga nggak akan menyuruh kamu melupakannya. Melupakan bukan pilihan yang baik. Lagipula saya hanya menyampaikan apa yang saya rasa dan saya nggak menuntut kamu menjawab sekarang."
Ira memutar bola matanya. "Sekarang mau kamu apa?"
"Saya mau kamu ikuti tantangan saya. Dalam tiga puluh hari ke depan, saya akan buat kamu jatuh cinta sama saya. Apa kamu bersedia?"
Membuatnya jatuh cinta dalam waktu tiga puluh hari? Yang benar saja! Hendra pasti sedang mabuk praktikum. "Kamu yakin?"
"Saya belum pernah seyakin ini sama perempuan. Saya hanya mau kenal kamu lebih jauh."
Mendengar pengakuan Hendra, Ira tidak tahu harus berkomentar apa. Apakah dia harus bahagia karena menjadi wanita yang pertama? Ira rasa tidak perlu.
Ira memilih menandaskan minumannya. Lalu berkata, "Kasih saya waktu untuk berpikir. Setelah saya yakin, saya akan hubungi kamu."
Setelah itu, Ira bangkit dan beranjak pergi menuju kasir. Bicara dengan Hendra membuat pusing di kepalanya semakin mendera. Sekarang Ira hanya butuh ketenangan dengan segera angkat kaki dari kafe.
Namun nasib berkata lain. Di kasir, Ira harus berjibaku dengan antrian. Meskipun antrian tidak panjang, tetap saja memakan waktu lama karena kasir hanya membuka satu loket saja. Ketika tiba gilirannya, tiba-tiba ada tangan yang mengangsurkan kartu debitnya dari arah belakang. Spontan Ira menoleh ke belakang dan terperanjat begitu tahu kalau Hendra yang melakukannya.
"Sekalian sama punya saya."
Tak lama penjaga kasir mengembalikan kartu debit Hendra berikut selembar kertas bukti pembayaran. Ira masih terpaku di tempatnya. Apa yang dilakukan Hendra mengingatkan Ira dengan secuil peristiwa di sekolah dulu. Saat Ira lupa membawa uang padahal sudah memesan makanan dan Alvi yang membayar semua pesanannya.
"Saya tunggu jawaban kamu. Semoga tidak lama."
Suara Hendra mengembalikan Ira ke masa kini. Saat itu juga Ira melihat Hendra sudah keluar dari kafe. Ira segera menyingkirkan diri dari kasir karena masih ada antrian di belakangnya.
***
"Kak Ira tumben baru pulang?"
Itu suara Raya yang Ira dengar pertama kali saat menginjakkan kaki di ruang tv kost-kost-annya pada jam empat sore. Ira pun memilih bergabung dengan Raya yang sedang menonton acara reality show.
"Kak Ira, aku ijin numpang curhat?"
"Kamu mau curhat aja pakai minta ijin segala."
"Aku kan takut nambah beban Kakak. Sekarang kan Kak Ira lagi berantem sama temen-temen Kakak."
"Kalau nanti aku bisa bantu, ya nggak masalah. Emangnya kamu mau curhat apa?"
"Tadi ada cowok mau ngajak aku pedekate, Kak. Katanya dia suka sama aku dari kelas sebelas. Terus aku belum nerima pedekate dia. Menurut Kakak, aku harus gimana? Terima apa nggak?"
"Saran aku, terima aja. Lagian baru pedekate ini. Kalau misalnya cocok lanjut ke tahap berikutnya, kalau nggak cocok ya sudah jadi sahabat." Setelah mengucapkan kalimat itu, baru Ira menyadari bahwa saran itu juga berlaku untuk dirinya.
"Tapi Kak, kalo nanti aku baper tapi dianya malah pergi, gimana Kak?"
"Selama proses itu, kamu jangan baper. Jangan baper maksudnya, jangan berharap lebih dia akan jadian sama kamu. Ingat-ingat aja dalam hati, kamu lagi mengenal dia."
"Menurut Kak Ira, kapan kita boleh baper?"
"Kalau udah pacaran. Tapi sekali lagi, jangan berlebihan. Kalem aja."
Raya manggut-manggut. "Oh gitu, ya. Oke, aku paham sekarang."
"Aku ke kamar dulu, ya, Ray. Mau mandi."
Ira beranjak meninggalkan Raya yang kembali tenggelam dengan tayangan televisi. Di kamar, Ira mengeluarkan ponsel. Membuka aplikasi Whatsapp lalu mencari nomor Hendra. Sebelum mengetik kalimat untuk Hendra, Ira menghirup napas lalu membuangnya.
Saya hanya mau kenal kamu lebih jauh.
Kalimat Hendra terlintas dibenak Ira. Hanya berkenalan, tidak ada salahnya bukan? Toh jika nanti tidak cocok jadi pasangan, bisa jadi sahabat.
Ira pun akhirnya mengetik satu kalimat yang membuka jalan masa depannya.
****
"Tuh kan gue bilang juga apa. Anita suka sama lo. Lo sih dibilangin batu."
Ibas menyeruput kopi susu buatannya. Saat ini Hendra memang sedang berada di kontrakan Ibas. Hendra mencerikan semuanya pada sahabatnya itu.
"Anita salah mengartikan perhatian gue selama ini. Gue juga dulu nggak jaga jarak sama dia."
"Cewek sama cowok kalo sahabat deket pasti bakal ada salah satu di antara mereka yang jatuh cinta. Terus gimana nasib Anita?"
"Ya gue nggak bisa nerima dia lebih dari sahabat. Masa mau gue paksa?"
"Iya juga sih."
Ponsel milik Hendra berdering nada pesan. Hendra segera membuka kunci layar ponselnya. Satu pesan dari gadis yang ia temui beberapa jam yang lalu menarik perhatiannya.
Saya mau ikuti tantangan kamu.
Senyum semringah tercetak jelas di bibir Hendra. Sampai-sampai Ibas dibuat bingung melihat tingkah sahabatnya itu.
"Lo kesambet apaan sih? Senyum-senyum sendiri. Hiiiiiii."
"Ada deh."
"Yaelah, pake rahasia segala. Sok iye lo!"
"Biarin." Hendra bangkit dari kursi. "Gue pulang ya. Mau tidur."
"Masih sore ini. Ngapain tidur?"
"Mau ketemu bidadari di mimpi," jawab Hendra sambil berlalu. Dan Ibas hanya bisa geleng-geleng kepala.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro