Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

AYG -15- Pertemuan part II

===========
-15- Pertemuan part II
===========

Hari Minggu kali ini tampak berbeda dengan biasanya. Karena Minggu ini, Hendra akan bertemu dengan Marissa, ibunya.

Mobil yang ditumpanginya bersama Anto dan Mayang memasuki area tempat tinggal Marissa. Kedua orangtuanya memang ikut serta. Tentu saja mereka hadir untuk menyambung tali silaturahmi karena dulu Marissa, Mayang dan Anto pernah jadi satu keluarga.

Hendra dan kedua orangtuanya sudah tiba di rumah Marissa. Mereka bertiga langsung turun dari mobil. Setelah dipastikan mobil sudah aman, Hendra mengajak Mayang dan Anto melangkah menuju teras rumah. Tiba di sana, Hendra langsung mengetuk pintu.

Tak lama pintu terbuka lalu muncul perempuan berhijab toska di ambang pintu. "Kak Hendra? Ayo masuk, Kak. Ibu lagi di dapur."

"Iya, Gita."

Hendra, Mayang dan Anto memasuki rumah itu. Mereka bertiga duduk di sofa ruang tamu. Gita pamit untuk memanggil ibunya.

Tak lama, dari arah dapur muncul perempuan berhijab paruh baya. Perempuan itu, siapa lagi kalau bukan Marissa. Melihat ibunya yang datang, Hendra langsung berdiri, disusul Mayang dan Anto.

Marissa masih terpaku di tempatnya. Bukan karena tidak mau menemui anaknya, tapi karena ada laki-laki yang berdiri di samping anaknya itu. Laki-laki yang mengajarkan tentang arti cinta dan perpisahan. Laki-laki yang dulu tidak mau egois mempertahankannya. Laki-laki yang namanya masih selalu ia sebut di setiap doa.

Hendra akhirnya menghampiri Marissa. Begitu sudah berdiri di hadapan ibunya, Hendra meraih tangan ibunya lalu menciumnya agak lama. Apa yang dilakukan Hendra mengingatkan Marissa dengan Alvi.

"Ibu...."

"Alva...."

Marissa dan Hendra saling berpelukan, menangis bersama. Akhirnya setelah dua puluh dua tahun berpisah, Marissa bisa bertemu dengan anaknya. Marissa kembali merasakan pelukan sama seperti yang Alvi lakukan semasa hidupnya.

Hendra mengurai pelukannya lalu menyeka air mata menggunakan jemarinya. Setelah itu Hendra membimbing Marissa duduk di sofa. Kemudian Hasan datang.

"Maksud kedatangan kami ke sini, kami ingin menyambung tali silaturahmi yang sempat terputus, sekaligus mempertemukan Hendra dengan ibunya." Anto membuka suara. "Maaf, kami sudah biasa memanggilnya Hendra, bukan Alva. Maaf, saya baru membuka identitas dia yang sebenarnya, juga baru tahu kalau Alvi sudah meninggal."

"Mbak Marissa kenapa nggak pernah kasih tahu kalau Alvi sudah nggak ada? Mas Anto berhak tahu kabar ini," tanya Mayang kepada Marissa.

Marissa menarik napas. Memang selama berkomunikasi dengan Mayang, Marissa tidak pernah menyinggung soal Alvi. "Kepergian Alvi menjadi pukulan berat buat saya. Apalagi dia pergi tanpa tahu kalau dia punya saudara. Saya nggak tahu harus memulainya dari mana untuk menyampaikan kabar buruk itu." Marissa merasakan matanya memanas. Dan di saat itu pula Marissa merasa tangannya dipegang oleh seseorang. Marissa menoleh, mendapati Hendra yang tersenyum padanya.

"Semasa hidupnya, Alvi anak yang baik," ujar Hasan. Pandangannya menerawangan, kembali mengingat anaknya yang sudah damai itu. "Alvi termasuk anak yang ceria. Tidak satu pun hari yang terlewat tanpa tawa. Alvi suka sekali dengan basket sampai akhirnya saya buatkan lapangan kecil di rumah untuk dia latihan. Tapi saat Ataxia itu datang, keceriaannya perlahan surut. Alvi berubah menjadi sosok pendiam dan murung. Alhamdulillah mendung di wajahnya tidak berlangsung lama karena dia memiliki teman-teman yang selalu menghiburnya. Alvi perlahan bangkit dan kembali bersinar. Jujur saja saya bangga mempunyai anak seperti Alvi."

Semua yang mendengar cerita Hasan pun terharu dan bangga. Terutama Hendra, dia tidak bisa membayangkan betapa sulitnya perjuangan Alvi melawan Ataxia. Betapa sulitnya hidup dengan keterbatasan fisik. Hendra pun bersyukur karena hanya alergi yang kadang mengganggu aktifitasnya.

"Bu, mau nggak anterin aku ke makam Alvi? Setidaknya aku bisa tahu makamnya walaupun aku nggak pernah lihat orangnya," kata Hendra.

Marissa mengangguk. "Ibu mau, Nak."

"Bolehkah kami berdua ikut? Kami juga mau tahu makam Alvi," tanya Anto.

Marissa menatap Hasan untuk meminta persetujuan dari suaminya itu. Setelah Hasan mengangguk, Marissa berkata, "Kalian boleh ikut."

***

Setelah menempuh perjalanan dari rumah dengan jalan kaki, Marissa, Hendra, Anto dan Mayang tiba di tempat pemakaman umum.

"Ini makam Alvi," kata Marissa, tangannya menunjuk sebuah makam berumput rapi yang bernisan nama anaknya.

Anto kemudian berjongkok di sisi makam Alvi. Tangannya menyentuh batu nisan bertuliskan riwayat anaknya itu. Dadanya disergap rasa sesak. Anto tidak menyangka bahwa dia akan bertemu dengan Alvi dalam keadaan yang sudah berbeda.

"Maafkan Papa, Alvi. Papa baru datang ke sini. Maaf karena dulu waktu kamu sakit, Papa nggak ada di samping kamu."

Marissa melipat kedua tangannya di dada. Lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Rasa sesak itu juga menyergap dadanya. Dia tahu rasanya tidak bertemu dengan anak kandungnya sendiri.

Setelah bermonolog di depan makam Alvi, Anto bangkit. Saat itu juga Mayang menyentuh bahu suaminya, menyalurkan kasih sayangnya melalui usapan lembut.

"Kalian mending pulang aja. Aku mau ngomong berdua aja sama Alvi," pinta Hendra.

"Emangnya kamu tahu jalan pulang?" tanya Mayang.

"Kan nanti aku bisa tanya orang, Ma."

"Nggak pa-pa, Ma. Kita biarin Hendra di sini," ujar Anto. Mayang menurut.

Akhirnya, Mayang, Anto dan Marissa meninggalkan Hendra di makam. Marissa berjalan di belakang Anto dan Mayang. Kedua matanya memperhatikan pasangan itu. Marissa masih ingat, dulu tanpa sepengatahuan Nyonya Arumi, Anto mengajak kedua istrinya jalan-jalan di kebun teh. Dan Anto mengandeng tangan kedua istrinya.

Sekarang, hanya tangan Mayang yang Anto pegang. Marissa sudah merelakannya.

Mayang membisikkan sesuatu di telinga suaminya. Setelah itu Mayang berjalan mendahului Anto dan Marissa, tepatnya membiarkan suaminya bicara berdua dengan Marissa. Hanya berdua, rasa canggung menyelimuti pasangan yang pernah mengarungi biduk rumah tangga. Marissa menundukkan kepala, tidak berani menatap mantan suaminya itu.

Anto berdehem sebentar. Lalu memberanikan diri bertanya, "Apa kabar, Ica?"

Marissa mendongak. Entah kenapa, sensasi setelah mendengar panggilan itu masih sama seperti dulu. "Seperti yang kamu lihat. Baik-baik aja."

Mau tak mau Anto bernapas lega. "Aku senang melihat kamu yang sekarang, Ca. Kamu udah bahagia sama suamimu. Nggak seperti waktu dulu sama aku."

"Aku dulu bahagia sama kamu, Mas," sanggah Marissa. "Dan sekarang aku jauh lebih bahagia karena kita nggak perlu memaksakan apa yang seharusnya tidak perlu dipaksakan. Dulu, aku memang mau kamu yang selalu ada di sampingku. Tapi melihat kamu terus membantah ibu kamu, itu menyakitkan buat aku. Aku yakin, bersama Mayang, kamu tidak perlu lagi berperan menjadi anak yang durhaka."

"Apa kamu nggak menyesal dengan keputusanmu?"

"Sama sekali nggak," jawab Marissa mantap. "Untuk apa aku menyesalinya? Kamu bukan pusat hidupku. Perpisahan kita membuat aku sadar, tidak selamanya cinta dapat kugenggam utuh."

"Jujur saja, awalnya aku nggak mau ketemu kamu lagi. Karena aku nggak mau membangkitkan luka lama. Tapi Tuhan justru memilih kita dipertemukan lagi melalui Hendra," ujar Anto. "Maafin Hendra kalau dia sempat nggak percaya sama kamu sampai melakukan tes DNA. Anak itu kalau udah penasaran memang suka keterlaluan. Waktu masih kecil dia makan berbagai macam seafood karena dia penasaran kenapa setelah makan jadi gatal-gatal. Dia nekat masuk ke jurusan kedokteran gara-gara penasaran dia itu sakit apa. Padahal dokternya udah bilang kalau dia nggak ada penyakit serius. Mungkin sakitnya itu karena dia juga merasakan apa yang Alvi rasakan dulu."

"Kamu nggak perlu minta maaf. Wajar kalau Alva seperti itu. Dan kamu tenang aja Mas, aku nggak akan ganggu kalian. Aku—"

"Kamu boleh ketemu Hendra kapan pun kamu mau, Ca," potong Anto, seakan tahu apa yang akan diucapkan Marissa. "Walaupun kita udah cerai, kamu masih berstatus ibunya. Aku mau kita sama-sama melihat Hendra memakai jas putih. Aku yakin sekarang Hendra jauh lebih semangat meraih cita-citanya karena ada kamu."

Seulas senyum terbit di sudut bibir Marissa. Dia merasa lega sekarang. "Makasih, Mas."


A/N
Berpisah pas lg sayang-sayangnya tuh emang gak enak :(

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro