SURPRISE VISIT
Dear, Lilly
Terakhir kali lo masih jelas keberadaanya, lo menyarankan gue untuk menyentuh layanan internet dan alat komunikasi lainnya agar bisa keep in touch. Well, sebenarnya alasan gue nggak mau menggunakan sarana itu semua untuk tetap terhubung sama lo adalah karena gue tidak ingin merasa terlalu terikat dan membutuhkan lo. Toh, dengan bercerita masalah gue tidak akan selesai begitu saja, kan? Tapi akhirnya gue sadar nggak semua yang ada di hidup ini bisa berjalan seperti keinginan dan rencana matang gue.
Kalau lo bisa lihat gue yang dengan emosionalnya menulis buku harian, yakin seratus persen sekarang lo pasti sedang tertawa. Lo akan dengan menyebalkan bilang kalau ternyata Samara Harmandir yang konon anti sosial itu ternyata butuh teman juga. Dan untuk membuat lo tambah senang, gue sedang berharap lo bisa menemukan buku ini suatu hari dan tertawa karena ternyata teman lo ini punya kualitas cengeng.
Ketika Sam merasa harinya berjalan lambat dan menyebalkan, Lilly adalah orang pertama yang sadar dan akan berusaha membuat Sam bercerita tentang apa yang membuatnya penat. "Kita udah berteman sejak SMP, masa lo masih aja nggak mau cerita ke gue?"
Seperti ditulis Sam di buku harian yang baru dibelinya saat pulang sekolah tadi, ia tak ingin membiasakan diri untuk selalu bercerita pada Lilly tentang masalahnya. Selain ia berusaha untuk tak pernah percaya seratus persen pada orang asing, Sam juga tak yakin siapa yang bisa menjamin rahasianya akan selalu aman. Apalagi melihat Lilly punya banyak teman dan sering hangout dengan anak-anak lainnya. Siapa tahu Lilly keceplosan? Atau malah sengaja membeberkan cerita tentang kehidupan Sam yang membosankan?
Oh, Sam tahu dia akan dicap jahat karena punya pemikiran jelek tentang temannya. Tapi kebanyakan orang pasti setuju dengan kalimat: jika musuh terhebat yang ada di dalam hidup ini-selain diri sendiri-adalah teman yang tahu segalanya. Ya, kan? Lagipula, Sam juga meyakini jika kalimat, "jangan bilang siapa-siapa ya, ini rahasia," hanyalah kalimat yang akan diteruskan ketika cerita itu dibeberkan pada orang lain. But we're talking about Lilly, yang rasa ingin tahunya sangat besar dan selalu punya cara untuk mendapatkan informasi yang dia inginkan. Dan yah, walaupun sudah berusaha untuk tidak terlalu terbuka dengan Lilly, Sam tetap saja bercerita tentang hidupnya.
It's been a very long day at school. Hari ini ada dua kuis di kelas matematika dan Bahasa Spanyol yang cukup membuat Sam berpikir keras untuk menyelesaikannya. Belum lagi loker Lilly diberi hiasan dan dipenuhi bunga untuk peringatan empat minggu cewek itu menghilang-udah berasa penghormatan terakhir saja. Dan Kai. Perkenalan yang terjadi beberapa saat lalu itu sebenarnya tak seharusnya dimasukkan dalam daftar panjang kenapa hari ini Sam merasa lelah luar biasa. Tapi Kai bukanlah cowok sembarangan. Setidaknya begitulah citranya di sekolah.
Baru saja Sam akan memulai ceritanya tentang bagaimana hari ini membuatnya ingin berendam di bathtub dengan air hangat sambil memutar salah satu piringan hitam Tony Bennet ke Lilly, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Suara langkah ibu disertai kalimat, "ada temanmu di bawah," membuat tangannya otomatis menutup buku harian berwarna kuning lembut dengan gambar bunga lili itu dan memasukannya ke dalam laci meja.
"Teman?" Selain Lilly tidak ada anak di sekolah yang cukup dekat dengan Sam hingga mengunjunginya ke rumah. Kemungkinan jika itu Lilly pun kecil, karena kalau dia yang datang ibu tak akan perlu memberitahu Sam seperti ini. Lilly pasti akan masuk ke kamar tanpa mengetuk dan langsung duduk di tempat tidur Sam seperti kamar ini miliknya sendiri.
"Ibu juga nggak yakin kalau itu teman kamu," ibu kini berdiri tepat di belakang Sam. Dengan nada seperti menebak beliau menyebutkan jika 'teman' yang datang itu, "namanya Kai. Kalau ibu nggak salah dengar."
"Dia bukan temanku, Bu. Kan ibu juga tahu kalau temanku cuma satu."
Sebenarnya apa yang membuat Kai dengan lancang mengunjungi Sam ke rumah? Sepertinya adegan Sam yang tak pusing-pusing menjabat tangan Kai, dan langsung ngeloyor di sekolah tadi sudah sangat menjelaskan jika Sam benar-benar tidak ingin terlibat apapun dengan Kai. Bahkan untuk hanya sekedar membalas jabat tangan.
Melihat Sam yang tak juga bergerak dari tempat duduknya, akhirnya ibu pun mengambil keputusan, "Mbak, tolong bilang sama tamunya kalau Sam nggak bisa diganggu." Setelah percakapan lewat interkom itu selesai, ibunya kembali berjalan ke arah meja belajar, duduk di tepi meja sambil bertanya dengan raut wajah ingin tahu, "memangnya dia siapa sih, Sam?"
"Yang jelas anak Byron, tapi bukan temanku."
Jika berhadapan dengan ibu seperti ini, Sam merasa seperti sedang bercermin. Kata orang, Sam adalah cetak biru dari Karina Warsa. Keduanya sama-sama punya wajah bulat dengan kulit putih yang didapat dari nenek moyang Sam yang asli Tionghoa. Juga mata tak terlalu besar, hidung kecil, bibir kemerahan yang tak terlalu tebal, bahkan rambut hitam super lurus dengan model potongan long bob yang sama. Perbedaan antara ibu dan Sam hanya postur tubuh saja. Jika tinggi Sam menjulang seperti ayah, ibu kebalikannya. Makanya kadang kalau jalan berdua, ibu yang di usia empat puluh ini masih terlihat muda lebih sering dikira saudaraan dengan Sam. Dan sebenarnya sih, Sam diam-diam berharap di usianya yang keempat puluh besok dia bisa terlihat muda seperti ibu sekarang.
Baru saja ibu hendak membuka mulut, sepertinya ingin mengorek lebih jauh tentang cowok bernama Kai yang datang tiba-tiba ke rumah, asisten rumah tangga Sam muncul di bibir pintu. Dengan suara pelan dan tak enak ia mengatakan, "maaf Bu, ada pesan penting buat Mbak Samara." Ibu langsung memberikan instruksi masuk dengan tangannya, kemudian dengan takut-takut si mbak menyampaikan pesan dari Kai yang berisi ancaman itu, "katanya kalau nggak mau nemuin, besok berita sangat sangat sangat penting-masnya suruh saya menekankan ini ke Mbak Sam, tentang cinta Mbak Samara ke tetangga loker barunya bakal tersebar di seluruh sekolah."
***
"Nama Arav keluar, and there she goes." Sam memandang cowok kurus itu dengan tatapan tajam, tapi sepertinya hal itu tak mempan untuk membuatnya menyingkirkan senyum menyebalkan disertai nada sok ramahnya. "Evening, Samara."
"What are you doing here?" Tanya Sam berusaha menyembunyikan emosinya dengan nada datar.
"Visiting you, as you can see." Katanya santai, seperti kunjungan ini sudah terbiasa terjadi. Ia kembali duduk di sofa hitam ruang tamu, menyesap minum yang disuguhkan kemudian melayangkan senyum pada Sam lagi. "Lo pakai short dan baju rumah begini aja manis ya, Samara."
"Gue nggak punya waktu buat ngeladenin apapun permainan lo..."
Belum selesai Sam berbicara, cowok itu sudah memotong, "ah, sebenarnya gue mau minta tolong lo buat bantuin tugas ekonomi." Tanpa mempedulikan Sam yang sama sekali tak menunjukkan keramahan, Kai malah mengambil buku dari dalam tasnya. "Gue tahu lo jago banget tentang ekonomi."
"Gue nggak bisa."
"Lo nggak punya pilihan," katanya sedikit mengancam dengan senyum penuh makna yang diberikannya pada Sam itu.
"Gue nggak takut dengan apapun yang bakal lo lakuin besok, oke? Silakan sebarkan apapun informasi yang lo punya, gue nggak peduli." Sam kemudian sengaja mempermanis nada bicaranya untuk mengucapkan, "good bye, Kai."
Tanpa peduli Kai pergi atau tidak, Sam berjalan kembali ke dalam. Ia hendak naik tangga menuju ke kamarnya ketika ibu buru-buru mencegahnya. Nafas ibu terlihat sedikit memburu setelah mengejar langkah Sam tadi. Sambil berusaha menormalkan ritme nafasnya kembali, beliau bertanya, "memangnya Arav siapa sih, Sam?"
Sam tahu ibu pasti hanya ingin mengkonfirmasi hasil curi dengar dan pengetahuan singkat yang berhasil didapatkan saat si mbak berbicara di kamar. Ia juga sangat yakin ibu sebenarnya sudah bisa mengkaitkan semua informasi itu dan menarik kesimpulan, tanpa perlu bertanya lagi. Jadi sepertinya Sam tak punya alasan untu berbohong menjawab pertanyaan ibu. Ia pun berterus terang menjawab pertanyaan tentang Arav itu dengan, "cowok yang aku suka."
Mata ibu langsung membelalak, wajahnya terlihat antusias. "Kamu nggak pernah bilang sama ibu kalau punya gebetan."
"Karena Sam memang nggak punya."
"Cerita dong sama ibu tentang Arav. Paling nggak kasih tahu ciri-cirinya seperti apa? Ibu benar-benar nggak nyangka kalau robot kesayangan ibu ini ternyata punya cowok idaman juga."
"Aku mau siap-siap ke apartemen ayah, Bu."
Ibu berdecak sebal, "dasar! Besok pulang sekolah bilang sama ayahmu kalau ibu mau jemput ya."
Biar ibu bisa cari tahu tentang Arav dan bagaimana perasaan Sam untuk cowok itu? Thank you very much but no. Tapi daripada obrolan ini makin panjang dan dia kena tegur ayah karena terlambat, Sam hanya mengangguk seadanya kemudian mempercepat langkah untuk segera sampai ke kamarnya. Sesampainya di kamar bercat serba putih itu, Sam menyempatkan untuk kembali duduk di meja belajar, membuka buku harian barunya dan dengan cepat menulis:
Lil, lo pernah cerita ke siapa tentang crush gue ke Arav?
Sekarang gue benar-benar berharap bisa telepon lo atau kirim chat untuk bisa dapat penejelasan kenapa berita itu bisa diketahui cowok bernama Kai. Karena lo tahu sendiri, selain lo nggak ada yang tahu kalau gue suka Arav sejak SMP. You'd better not telling anyone about that.
Sam menarik nafas sesaat sambil melihat deretan kalimat yang berhasil ia tuliskan dengan perasaan kesal tadi. Ia kemudian bersandar, berusaha untuk berpikir jernih untuk mencari tahu bagaimana Kai bisa tahu tentang rasa sukanya pada Arav itu.
Setahu Sam, Lilly dan Kai memang pernah beberapa kali hangout bareng dengan teman-teman lain. Dia juga tak pernah absen ikut ke pesta yang dibuat Kai, bahkan pesta ulang tahun ketujuh belas yang diadakan tak beberapa lama sebelum pesawat Lilly hilang itu. Tapi dari cerita Lilly, tak ada seorang pun yang benar-benar kenal dan pernah mengobrol panjang dengan cowok bernama lengkap Samuel Kairo Asthabrata itu. Dan katanya sih, Lilly sebenarnya tak pernah secara langsung mengobrol dengan Kai.
"Tahu kan, teman lo ini nggak bisa kekurangan party? Jadi gue ikut-ikut aja. Lagian ya, Sam, Kai terkenal selalu mengadakan party yang bertabur dengan anak-anak konglomerat gitu. Kali aja kan, gue bisa pacaran sama salah satunya jadi nggak perlu capek-capek kerja buat cari duit?" Sam ingat betul kalimat yang diucapkan Lilly saat mereka sama-sama sedang berbaring di ruang kesehatan itu. FYI, Sam waktu itu beneran sedang kram perut karena PMS. Sedangkan Lilly? Sebenarnya masih pusing sisa-sisa hangover, cuma dalihnya sama guru sih, masuk angin.
Alasan asal itu ditambah dengan alasan lain yang saat itu membuat Sam akhirnya mengerti kenapa Lilly tak pernah menolak untuk terus datang ke pesta yang terkenal tak pernah menyediakan minuman 'normal' itu. "Yang lebih logis sih, kalau lo muncul di salah satu party atau event apapun yang diadakan seorang Kairo Asthabrata atau orang-orang dari klan itu dan memanfaatkannya dengan baik, lo bakal dapat banyak koneksi untuk apapun keperluan lo. So, selama ada undangan, kenapa nggak?"
Jadi kecil juga kemungkinan Lilly keceplosan atau bahkan dengan sengaja menceritakan hal ini ke Kai. Lagian, siapa Sam sampai Lilly mau cerita-cerita soal dirinya ke Kai? Nggak ada untungnya.
Where the hell are you, Lilly-Rose Tejeda?
Ia yakin sekali kalau Lilly ada disini, besok akan ada pembicaraan panjang tentang Kai dan penelusuran motif kenapa cowok itu tiba-tiba mengenalkan dirinya pada Sam sampai-sampai harus mengadakan kunjungan seperti ini.
___________
Hi, everyone ketemu lagi sama Sam. Di cerita ini aku berusaha untuk kasih lebih banyak sneak peek buat sosok Kai. Gimana menurut kalian? Next chapter kira-kira Kai bakal bongkar rahasia Sam atau nggak, nih?
Oya, untuk part selanjutnya, aku rencananya bakal kasih tahu cast yang cocok untuk sosok Kai, Sam, Arav, dan Lilly! Kalau kalian ada bayangan siapa yang cocok 'memerankan' empat tokoh utama di AYG ini, kasih tahu aku ya~ *wink*
Anyway, terima kasih udah baca, ya. Jangan lupa vote dan komennya!
Sampai ketemu di hari Selasa!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro