Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 2

[Sebulan sebelumnya...]


"Hi, babe." Seorang pria menyambutnya saat Reya keluar rumah. Pria itu menyembulkan kepalanya sedikit, dari jendela mobil. "Dengan gaunmu yang seksi itu, kamu bisa mendapatkan eksekutif muda malam ini, Mbak."

"Really?"

"Yap. Siap melupakan patah hatimu?"

Reya tertawa kecil. Gaun merah sebatas lututnya melambai dengan seksi. "Jonathan bisa bunuh aku kalau aku nggak datang ke acara dia."

"Lagipula kamu udah kelamaan berkutat dalam kesedihan."

"Ya. Kelamaan."

Gesank, nama sepupu yang menjemputnya itu, segera menjalankan mobilnya menuju sebuah restoran baru milik salah satu sahabatnya, tempat pesta malam ini digelar. Ini adalah malam pertama Reya kembali ke pergaulan setelah lebih dari dua minggu hanya berkutat dengan pekerjaan untuk melupakan patah hatinya.

"Nggak ada gunanya kamu depresi terus-terusan, Rey," Kata Gesank begitu mobilnya memasuki pelataran restoran. "Cara balas dendam ke Herdito itu gampang aja kok. Tunjukin aja kalau kamu tetap baik-baik aja setelah disakitin cowok. Me personally, itu tamparan keras buat cowok."

Reya tertawa kecil, sambil memukul lembut kepala sepupunya dengan clutch miliknya. "Sok punya pacar. Romantikamu kan mentok sama..."

"Tapi aku cowok, Mbak!"

"Iye, iye. Berisik."

 "Reyaaa darling!" Seorang gadis berambut ikal sepinggang yang memakai gaun hitam seksi berhambur memeluknya. "Gue pikir lo masih betah di bawah shower sambil ngabisin jatah tisu gue."

Reya tertawa lebar. Perempuan ini, Andini namanya, memang bukan tipe orang yang bisa bicara basa-basi. Beberapa malam sebelumnya, sahabatnya itu sudah mengirimkan SMS panjang lebar yang berisi makian-makian dan sebutan pengecut yang tak terhitung jumlahnya hanya karena Reya terlalu larut dengan patah hatinya. Padahal mereka tinggal serumah. Reya paham bahwa persekongkolan sepupu dan sahabatnya untuk membawanya keluar dari rumah adalah bukti bahwa masih banyak orang yang peduli padanya.

"Siap berpesta?" Tanya Andini.

Reya mengangguk. Andini berpaling pada Gesank. "Makasih ya udah bawa kakak lo ini keluar dari goa. Gue pikir dia udah mati."

Gesank tersenyum super manis. "Aku siap melakukan apapun untukmu, darling. By the way, you looks so pretty."

Andini mengibaskan rambutnya acuh. "I know." Jawabnya angkuh. "Nggak usah gombal sama gue. Gue nggak minat sama berondong."

"Oh, come on. Usia kita cuma beda dua tahun!"

Andini tertawa anggun. Lalu mnyentuh dagu Gesank dengan jemari lentiknya. "I am sorry baby, tapi lo tetap berondong buat gue. Mengerti?"

Gesank mengerang sedih. Andini tertawa. Di antara mereka, mau tak mau Reya ikut tertawa. Kadang dia tak tega melihat Andini mempermainkan sepupunya sedemikian rupa. Dua orang terdekatnya itu sudah sering jalan berdua. Barangkali, Reya menduga, mereka juga telah melakukan yang lebih jauh dari sekadar jalan berdua. Tapi tak ada label untuk hubungan itu. Gesank jelas tergila-gila pada Andini. Sepupunya itu sudah berhenti berkencan dengan cewek-cewek cantik sejak dia mengenalkannya pada Andini tiga tahun yang lalu. Sedang Andini juga jelas, seperti yang dikatakannya sendiri, tidak berminat menjalin hubungan dengan lelaki yang lebih muda darinya.

"Ayo. Gue dengar, Jonathan pesan anggur dari Swiss khusus buat acara malam ini. Dan katanya, hidangan di pesta ini dimasak special oleh chef terkenal. Gue nggak tahu siapa. Tapi kedengarannya wah banget. Yipyip! Mala mini kita bersenang-senang!" Andini berlonjak-lonjak seperti anak kecil. Sahabatnya itu memang selalu bersikap semaunya.

"Senang-senang gue sama lo biasanya beda, Din." Protes Reya. "Ekstrim."

Andini tertawa senang. "Ya, khusus hari ini, gue akan mengikuti senang-senang lo, darling. Lo mau apa? Diskusi soal masa depan negara? Atau soal keberlangsungan hubungan diplomatik kita dengan Amerika? Atau tentang kebahagiaan dengan B besar? Apapun yang kamu mau, sayang."

"Seks."  Celetuk Gesank.

Reya lagi-lagi mengangkat clutchnya dan memukul punggung Gesank dengan gemas, membuat pria itu meringis kesakitan. Sementara itu Andini tertawa lebar.

"Jangan merusak sepupumu yang suci ini, Ge." Komentar Andini datar.

Andini adalah teman sejak SMA. Mereka kuliah di jurusan dan kampus yang sama. Mereka juga tinggal di tempat yang sama yaitu sebuah rumah tua peninggalan Belanda milik keluarga Andini yang tidak terpakai. Keluarga besar Andini menyepi di daerah Bogor untuk mendapatkan udara yang layak setelah bertahun-tahun hidup di Jakarta. Rumah itu terlalu sayang jika dibiarkan terbengkalai tak berpenghuni. Karena itu sejak kuliah Andini mengajak Reya untuk menempati rumah itu bersama-sama, dan berbagi uang operasional saja. Selesai kuliah, Andini berkarir di bidang jurnalistik menjadi presenter berita sekaligus wartawan. Sementara Reya mendapatkan beasiswa untuk S2 dengan kewajiban mengajar di almamater setelah selesai.

Andini menggiring mereka bertiga ke sebuah meja di pojok, berdekatan dengan jendela besar. Malam ini adalah pesta launching sebuah restoran milik Jonathan. Restoran ini bergaya posmo, dengan desain interior yang modern dan glamour. Pas dengan menu-menu western yang ditawarkan. Reya selalu mengritik Jonathan karena terlalu fokus pada menu-menu western di restoran-restorannya. Padahal jika dikelola dengan baik, menu-menu timur dan makanan-makanan lokal, bisa menjadi menu mewah juga.

"Jonathan kerja sama dengan chef terkenal." Kata Andini. "Itu, yang jadi juri lomba masak yang di TV."

"Yang diadaptasi dari acara TV di Amerika." Tambah Gesank datar, sambil menggulir ponselnya.

"Tapi keren ini tempatnya." Komentar Reya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling restoran. Dari kejauhan, Jonathan yang sedang ngobrol dengan seorang pria yang berdiri membelakangi mereka melambaikan tangan. Reya balas melambai, dan kembali meneliti restoran baru sahabatnya itu. Malang tak dapat ditolak, pasangan baru muncul dari pintu kaca. Si cewek memeluk erat lengan si cowok. Mereka terlihat serasi dan bahagia.

Reya terpaku. Bisa-bisanya dua orang itu muncul di hadapannya tanpa basa-basi. Bisa-bisanya Herdito tetap berhubungan dengan Tiara setelah...

Dia merasakan remasan di tangannya.

"Hold on, Mbak. Tunjukan kalau kamu baik-baik aja." Bisik Gesank di telinganya.

"Hei looks! Itu dia chef yang gue maksud! Chef Rad!" Andini menunjuk-nunjuk heboh kea rah berlawanan. "Itu tuh, chef yang galak banget. Tapi seksi sih. Jomblo nggak ya dia?"

Reya hanya menoleh sebentar kea rah yang ditunjuk Andini, yaitu pria yang tadi mengobrol dengan Jonathan. Tapi pikirannya tidak fokus. Dia tahu Andini hanya sedang berusaha mengalihkan perhatiannya. Tapi hanya dua detik, dia kembali menatap pasangan bahagia itu.

Herdito bahkan belum minta maaf padanya.

Pria yang dimaksud menemukannya pada jarak tiga meter dari pintu restoran. Senyum bahagia lenyap dari wajahnya, digantikan ekspresi panik. Reya mempertahankan tatapannya. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan pria itu selanjutnya. Sesaat dia yakin Herdito akan menghampirinya. Dari wajahnya yang sedikit memelas, Reya merasa pria itu ingin mengatakan sesuatu padanya. Namun lima detik kemudian dia merasa hanya berilusi. Herdito dan Tara, sahabatnya dan mantan kekasihnya, berjalan kea rah yang berlawanan dengan posisinya saat ini. Keduanya tetap saling memeluk.

Reya tertawa kecil. "Semoga mereka bahagia." Katanya sarkatis. Lalu dihirupnya napas dalam-dalam. Entah mengapa, ada sedikit rasa lega di hatinya setelah melihat kedua pasangan baru itu dengan baik-baik. Dia mulai yakin bahwa apa yang harus dia lakukan hanyalah, keluar, dan melanjutkan hidupnya.

"Setelah semua yang Herdito lakuin ke elo, gue mau tanya satu hal Rey, lo masih cinta dia?" Tanya Andini. Gesank pamit untuk mencari minum. "Lo masih mengharapkan dia mencampakkan Tiara dan kembali ke pelukan lo? Lo masih merindukan dia?"

Reya mengedikkan bahu. "Kalaupun iya, bukan Herdito yang gue rindukan, Din." Jawabnya lirih. "Tapi kenangan Reya dan Herdito."

"Kenangan memang sering menjebak. Tapi sebaiknya, kenangan jadi kenangan. Jangan diubah jadi harapan, tapi jadikan pelajaran. Kalau lo mengubah kenangan jadi harapan, selamanya lo jalan di tempat. Nggak maju-maju."

Reya menghela napas lagi. Lalu mengambil karet di tasnya, dan mengikat rambut panjangnya asal-asalan. "True."

"Andini is always true."

Reya tertawa kecil. Hatinya terasa lebih ringan. Tangannya meraih rokok Gesank di atas meja. Diambilnya sebatang dan dinyalakannya. Reya sudah lupa kapan terakhir kali dia menyentuh nikotin. Barangkali saat usianya masih dua puluh. Pada hisapan pertama dia langsung terbatuk-batuk. Namun lama kelamaan dia kembali menjadi Reya usia dua puluh.

"Tapi sekarang gue paham satu hal, Din." Reya menghembuskan asap rokoknya kuat-kuat. "Cinta nggak sekeren yang gue pikirkan."

"Maksudnya apa, sayangku?"

Reya tertawa. "Lo tahu kan betapa gue mengagungkan cinta? Menurut gue, manusia hanya butuh cinta, dan dia akan bahagia. Cinta bisa menjaga sebuah hubungan dua orang. Cinta bisa membolak-balik keadaan. Hidup susah, asalkan dijalani bersama cinta, jadinya akan tetap bahagia. Well," Reya mengedikkan bahu. "gue harus berhenti nonton film-film Disney. Cinta nggak sehebat itu."

Andini menggenggam tanganku. "My dear, jangan mengambil kesimpulan saat lo sedang marah dan kecewa."

"Tapi benar kan Din? Yang gue simpulkan barusan, kan lo juga sering mengatakan hal yang sama?"

Andini nyengir kecut. Tapi Reya tampaknya tidak benar-benar membutuhkan jawaban.

***




Reya menaiki tangga untuk mencapai balkon restoran, tempat yang selalu ditujunya setiap kali membutuhkan udara segar dan merefresh otak. Tempat ini adalah sebuah kafe biasa sebelum Jonathan yang gemar berinvenstasi mengakuisisinya dan menjadikannya resto fine dining yang megah ini. Tempat itu terletak di menara sebuah gedung tinggi. Dari balkonnya, Reya bisa melihat lampu-lampu Jakarta dari ketinggian dan merasakan angin malam yang panas. Tempat itu sepi. Hanya ada beberapa orang yang sedang merokok dan pelayan kafe yang lalu lalang.

Mengabaikan sedikit pening di kepalanya, Reya merapatkan jaket milik Gesank yang dia pinjam dan ditariknya sebuah kursi terdekat ke pinggir dinding sebatas pinggang. Menopangkan tangannya di dinding kayu itu, Reya memejamkan matanya, berusaha menikmati angin segar. Bibirnya tersenyum kecil. Seharusnya dia melakukan hal ini sejak dulu. Berinteraksi dengan orang-orang terdekatnya membuat perasaannya membaik. Atau sebenarnya alkoholah yang membuatnya merasa lebih santai, entahlah.

"Teman saya pernah bilang bahwa cinta itu bahasa penghalus dari hasrat. On the other words, love, just like santaclause, doesn't exist."

Reya membuka matanya dan mendapati seorang pria berdiri di sebelahnya, menatap lampu-lampu Jakarta dengan gelas anggur di tangan kirinya. Sebelah tangannya yang lain tersembunyi di saku celana. Keterbatasan cahaya membuat Reya kesulitan mengidentifikasi penampilan pria itu. Namun secara perhitungan cepat, dia tahu pria ini cukup menarik.

Pria asing itu menoleh, dan tersenyum. "Maaf, saya diam-diam menyimak percakapan kalian." Katanya, tanpa menghilangkan senyum. Lalu pria itu mengulurkan tangan. "Radina.

Reya mengedikkan bahu. "Kalaupun ada, cinta bukan penentu segala sesuatu." Lalu dia membalas jabatan pria itu. "Reya."

"Tapi orang bilang cinta adalah makanan bagi suatu hubungan. Like..." Pria itu mengangkat sebelah alisnya. "ketika sebuah hubungan dilandasi oleh cinta, hubungan itu akan tahan banting. Cinta adalah senjata untuk menghadapi segala macam situasi. Susah senang, semua bukan masalah selama masih ada cinta." Pria itu tersenyum lagi. "Nama yang indah."

Reya tertawa kecil. "Anda terlalu banyak menonton drama Waltz Disneys." Jawabnya. "Dan Anda lupa bahwa masih ada kisah setelah tulisan 'the end'." Itulah yang kulakukan selama ini, tambah Reya dalam hati. Terjebak dalam ilusi tentang cinta abadi. "Thanks," Tambahnya.

"Dongeng-dongeng itu bagus bukan? Menyebarkan virus optimisme dan nilai-nilai moral. Seenggaknya kita jadi tahu bahwa selalu ada reward atas apa yang kita lakukan."

"Ya, tapi nggak realistis."

"Well, kamu merasa cinta tidak realistis?"

"Tidak juga."

"Lantas?"

Reya menggaruk ujung hidungnya. "Yang saya nggak percaya adalah, peran cinta sebagai dasar dari hubungan dua manusia. Cinta bisa datang dan pergi. Cinta bisa menghilang dengan begitu tiba-tiba, sama seperti kedatangannya yang juga kadang tiba-tiba. Jadi, bagaimana kita menjadikan sesuatu yang serba nggak pasti itu sebagai tolok ukur?"

"Kenapa? Bukankah hubungan dua manusia sebaiknya memang didasari cinta? Misalnya, pernikahan."

Reya merapatkan jaketnya, lalu menoleh mengedarkan pandangannya ke penjuru balkon. Tenggorokannya terasa kering. Saat seorang pelayan melintas, Reya meminta air mineral. Pelayan itu mengangguk, dan melirik sekilas pada pria di sampingnya. Lalu mengangguk lagi. "Komitmen itu artinya janji, bukan? Sebuah janji untuk menepati atau melakukan apa yang telah disepakati. Rasanya aneh sekali jika sebuah komitmen didasari oleh hal setidak pasti cinta. Cinta bisa datang dan pergi, tapi komitmen mengharuskan kita mengabaikan itu."

"I see." Radina menyesap anggurnya. "Lalu menurutmu, apa yang bisa mendasari komitmen?"

"Ya komitmen itu sendiri." Reya tersenyum. "Komitmen seharusnya bisa mendasari dirinya sendiri."

Radina balas tersenyum. "Jadi, kamu mau bilang bahwa pernikahan bisa hadir tanpa cinta?"

Reya berpikir sejenak. "Saya pikir, ya. Cinta bisa datang belakangan. Lagipula, cinta bisa menghilang. Apa kamu yakin orang-orang yang berhasil mempertahankan pernikahan mereka itu masih saling mencintai?"

"Memangnya tidak seperti itu?"

Reya tidak segera menjawab. Saat itu, pelayan kafe datang membawa botol mineral pesanannya.

 "Budhe saya cerita. Rasa cintanya ke suami sudah menghilang sejak tahun kelima pernikahan mereka. Setelah itu yang tertinggal hanya pengabdian. Dan kasih sayang untuk anak-anak mereka."

"Jadi menurut kamu pernikahan itu tidak perlu cinta?" Ulang Radina.

"Mungkin tidak seperti itu. Tapi saya pikir cinta bukan segala-galanya dalam pernikahan. Lebih penting rasa saling menghargai. Dan komitmen pada apa yang telah mereka sepakati bersama."

"Menarik. Tolong jelaskan."

"Saya tidak ingin seperti budhe saya yang menganggap pernikahan adalah pengabdian. Saya ingin hubungan kami berjalan dua arah. Tidak ada yang melayani atau dilayani. Saya ingin hubungan yang akrab. Seperti persahabatan. Saya pikir dengan begitu hubungan akan awet."

"Kelak?" Radina mengangkat alis. "Jika begitu saya asumsikan kamu belum menikah. Benar?"

Reya menyeringai. "Tentu saja."

"Tapi kamu berencana menikah. Benar?"

Seringaian di wajah Reya semakin lebar. "Tentu saja." Jawabnya, mengulang kata yang sama. "Jika ada pria yang menawarkan kebebasan untuk saya, saya akan menikahinya."

"Hmm. Ini lebih menarik." Pria itu menggaruk dagunya. "Perempuan lain menginginkan ikatan aman sebagai penawaran sebuah pernikahan, tapi kamu menginginkan kebebasan?"

Reya mengangguk mantab. "Saya tidak menuntut cinta sejati pada pasangan saya. Saya lebih menginginkan rasa saling menghargai. Rasa saling menghargai akan membuat kita melihat pasangan sebagai subjek, bukan objek yang kita miliki. Saya tidak mau disamakan dengan celana dalam. Dan kebebasan adalah salah satu bentuknya." Reya terdiam sebentar, sebelum melanjutkan. "Saya punya pekerjaan. Saya punya minat dan ketertarikan pada suatu hal. Saya tidak ingin seorang pasangan yang berjanji memenuhi segala kebutuhan saya, tapi menyimpan saya di dapur dan di kamar."

"Itu artinya kamu juga membebaskan pasanganmu kan?"

"Tentu saja. Justru itu esensinya komitmen, Tuan." Reya tersenyum kecil, menyadari pemahaman yang baru saja hadir di pikirannya. "Dengan komitmen, seseorang bisa menghargai pernikahan. Dengan komitmen, orang mengerti batasan-batasan yang harus dia lakukan di luar. Hormati apa yang sudah Anda janjikan pada pasangan Anda, hormati apa makna pernikahan yang kalian sepakati. Dan kalian tidak memerlukan cinta untuk menjaga pernikahan tersebut." Reya terdiam sebentar. "Tapi tentu saja, hubungan itu kan untuk dua orang. Komitmen harus berasal dari keduanya, tidak bisa hanya dari satu pihak."

"Wah," Pria itu berdecak-decak. "rumit sekali isi pikiranmu, Reya. Saya seperti sedang di ruang kuliah."

Reya tersenyum salah tingkah. "Maaf. Saya tidak bermaksud..."

"Oh bukan-bukan. Tidak masalah. Menarik sekali menyimak pemikiranmu. Apakah kamu mengambil kuliah filsafat?"

Reya menggeleng. "Filsafat politik, ya."

"Kamu mahasiswa Ilmu Politik?"

"Betul."

Mahasiswa S3, tambah Reya dalam hati. Jika pria ini tahu usianya, sudah pasti dia mengerti mengapa dia mengeluarkan komentar pedas mengenai pernikahan. Reya menghela napas berat. Pasti itulah yang dipikirkan orang-orang. Perempuan, usia tiga puluh, single, sudah pasti menjadi sorotan.

"Jadi, jika seorang pria datang padamu, menawarkan sebuah kebebasan, memahami arti komitmen, berjanji akan mengizinkanmu meneruskan karirmu, melakukan apapun yang kamu suka, dan menjanjikan sebuah hubungan yang dua arah, tidak menuntut apapun selain kebebasan yang sama, tapi tidak punya cinta yang cukup untuk ditawarkan, kamu akan menerimanya?" Tanya Radina lagi.

"Mungkin. Tapi adakah pria seperti itu?"

"Kamu lucu, Reya."

"Saya tahu. Hidup hanya terdiri dari dua hal. Tragedi dan komedi. Tapi saya lebih suka menertawakan dua-duanya."

Selama lima menit kemudian mereka hanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Reya menatap cahaya lampu di kejauhan, dan dia melihat wajah Herdito di sana. Selama ini dirinya dan pria itu telah bersepakat tentang banyak hal. Herdito memiliki apapun yang diinginkan Reya pada pasangannya. Sementara keluarganya bertanya untuk apa dia menempuh pendidikan sampai jenjang doktoral toh nanti dia akan mendapat nafkah dari suami, Herdito selalu mendukung cita-citanya. Persamaan bidang pekerjaan membuat mereka bisa berdiskusi tanpa kendala. Herdito selalu menanyakan pendapatnya mengenai segala hal. Hal itu membuatnya merasa dihargai.

Reya menghela napas panjang. Hidupnya terasa sempurna lima tahun terakhir. Tapi ternyata kesempurnaan itu hanya seumur jagung. Herdito melupakan prinsip komitmen yang mereka sepakati.

"So tell me, Reya," Radina menghadapkan tubuh padanya. Dari keterbatasan cahaya, Reya melihat pria itu tersenyum. "what if I ask you to marry me?"

Selama lima detik Reya tidak memberikan respon apapun. Matanya mengerjap-ngerjap, seperti tidak yakin dengan sekelilingnya. Detik ke enam, tawanya meledak.

"Kamu lucu!" Katanya di sela-sela tawa.

Pria itu ikut tertawa. "Saya tahu. Tapi saya serius."

"Are you serious?"

"I am."

"Benar-benar serius?"

"Benar-benar serius."

"Nggak sedang bercanda?"

"Nggak sedang bercanda."

"Tapi kita bahkan nggak saling kenal!"

"Kita bisa kenalan sambil jalan."

Reya lagi-lagi mengerjapkan mata tak percaya. "Saya bahkan belum lihat wajah kamu dengan jelas."

Pria itu menghela napas. "Saya kawatir akan jadi masalah jika kamu melihat wajah saya." Jawab pria itu sambil memasang ekspresi menyesal. "Tapi saya yakinkan kamu bahwa saya tidak jelek-jelek amat. Setidaknya begitu kata Ibu saya. Dan pacar-pacar saya dulu."

"Oh my God! Apa kamu sering melamar perempuan di pertemuan pertama?" Reya membelalakkan matanya.

Radina tersenyum tipis. "Hanya padamu."

"Tapi kenapa?"

"Kamu membuat saya merasa qualified."

"Tahu apa kamu soal kualifikasi saya?"

"Saya laki-laki. Saya sudah cukup umur. Saya punya penghasilan yang cukup untuk rumah tangga. Saya sangat memahami komitmen seperti yang kamu bilang tadi. Saya menghargai kebebasanmu. Saya janji nggak akan melarangmu bekerja. Saya janji nggak akan melarangmu ini itu. Saya juga nggak akan menyuruhmu ini itu. Saya juga nggak mengharuskan kamu ke dapur. Dan yang terpenting," Pria itu mengedikkan bahu. "saya setuju dengan semua argumenmu soal cinta."

Reya ternganga. "Tapi...tapi kamu tadi terlihat pro..."

"Oh ya, saya cuma ngetes kamu. Kamu terlihat yakin dengan argumenmu. Jadi kamu memenuhi kualifikasi saya juga."

"Kualifikasi apa?"

Pria itu lagi-lagi tersenyum. "Reya, saya tidak punya cinta. Saya hanya punya apa yang saya sebutkan tadi. Jadi saya mencari perempuan yang bersedia saya nikahi," Radina memberi jeda satu tarikan napas. "tanpa cinta."

 Reya menatap pria di hadapannya tanpa kedip. Dicobanya mencari nuansa di wajah pria itu, untuk menjelaskan apa pria ini serius ataukah sedang menggodanya. Atau bahkan melecehkannya. Tapi Reya tidak menemukan ekspresi apapun. Pria itu juga menatapnya, dengan senyum tipis yang tetap tersungging di bibir. Ekspresi yang sama dia dapatkan sejak pertama kali pria ini mendatanginya.

"Baby?" Terdengar suara Gesank. Saat itu baru Reya mengalihkan matanya dari Radina. Gesank berdiri di belakang Radina, menatapnya sambil menngangkat alis. "ayo pulang. Jangan lupa besok kita ada perjalanan jauh."

Reya mengangguk dan mengangkat dua jarinya, meminta waktu dua menit. Lalu dia kembali pada Radina.

"Well, sir," Reya tersenyum lebar. "saya nggak tahu ini lagi di realityshow apa. But thanks for our nice chat. Saya harus pergi. Semoga bisa bertemu lagi di lain kesempatan."

Tapi saat Reya akan beranjak dari tempatnya berdiri, pria itu ikut bergerak untuk menghalangi jalannya.

"One second," Tahannya. "Reya, saya tahu kamu pasti menganggap saya bercanda soal tawaran tadi. Mungkin kamu juga berpikir saya nggak waras. Tapi saya benar-benar serius." Pria itu terdiam sebentar, seperti sedang mempertimbangkan banyak hal. "Begini saja. Tolong kamu pikirkan. Besok bisa kita bertemu di sini? Jika kamu bersedia, kita bisa bicarakan langkah-langkah selanjutnya. Dan jika kamu tidak bersedia, kita bisa berteman dan diskusi tentang hal-hal lain. What do you think?"

Reya megerutkan dahinya. Matanya lagi-lagi mengerjap. "Okay." Jawabnya tak yakin. "Minggu malam. Saya keluar kota akhir pekan ini."

"Ya. Minggu malam." Pria itu mengeluarkan kartu nama dari dompetnya. "Ini kartu nama saya. Jika Minggu kamu nggak menemukan saya di sini, tanya saja pada pelayan."

"Ok. Thanks. I have to go."

"Have a safe trip."

Reya tersenyum dan mengangguk, lalu menghampiri Gesank yang menatapnya dengan alir terangkat.

"Siapa?" Tanya Gesank.

"Eksekutif muda." Jawabnya asal. "Ngajakin nikah."

"WHAT?!"

***



Suara musik jawa terdengar sayup-sayup. Di halaman rumah, bapak-bapak sedang mengobrol riuh ditemani bergelas-gelas kopi hitam dan jadah bakar. Sementara di dapur, pada ibu sedang membungkusi penganan kecil untuk acara pernikahan besok pagi, sambil merumpi ke sana ke mari. Membicarakan tentang istri Pak anu yang ketahuan anu, atau anak Bu ini yang ternyata anu. Di tengah-tengah obrolan itu, Reya terjebak, sambil merangkai melati untuk hiasan kamar pengantin.

"Itu lho Mbak, Pak Dolah itu, mosok anak'e mulih wengi dijarke wae. Lha yen anakku wes tak ajar entek-entekan kuwi! Wong wadon kok senengane kluyuran wengi![1]".

"Kondhone Si Siwir bocah kuwi wis arep dirabekne. Lha yo wong pacare wes neng ngomah terus[2]."

"Padahal masih seumuran Tita itu. Baru lulus SMA."

"Kalau kamu gimana mbak? Kapan rencana mau nikah? Nak Dito kok nggak diajak ke sini?"

Reya yang sedang berusaha memasukkan benang dalam melati mendongak mendengar nama Dito disebut.

Budhe Sum, kakak tertua Ibunya, yang tak pernah bosan menanyakan hal yang sama setiap kali bertemu, menatapnya penasaran. Begitu juga dengan Budhe-budhe yang lain. Reya meringis.

"Belum ada rencana, Budhe."

"Lho umurmu udah berapa tho, nduk? Apa ndak ketuaan? Masa kalah sama anaknya Pak Dolah yang baru lulus SMA?" Sergah Bulik Is, adik bungsu Ibunya.

"Belum ketemu yang cocok, Bulik. Mau gimana lagi?"

"Lho memangnya Nak Dito kenapa?"

Reya menelan ludah. Rasanya dia enggan menjawab. Dia tahu jawabannya akan memancing ceramah panjang lebar. Tapi dia juga tahu bahwa kediamannya akan memancing ceramah yang jauh lebih panjang lagi. Satu-satunya solusi adalah dia pura-pura ingin kebelet. Tapi terlambat. Budhe Sum sudah memulai ceramahnya.

"Apalagi yang kamu tunggu tho, nduk? Buat apa ditunda-tunda kalau memang sudah ketemu yang cocok. Umurmu udah ndak muda lagi. Seumurmu Budhe udah punya Ginan, Tyas, sama Haryo. Kasihan adik-adikmu nggak bisa nikah sebelum kamu nikah."

"Lia sama Kiky boleh nikah duluan kok, Budhe."

"Lho lho! Ya ndak bisa gitu! Kita ini punya budaya. Budaya siapa itu? Yang muda nggak boleh ngelangkahin yang tua. Kalau adikmu yang nikah duluan, bisa-bisa kamu makin lama nikahnya."

"Ya kalau mereka udah dapat jodoh duluan, buat apa nungguin aku yang belum dapat jodoh?"

"Memang apa kurangnya nak Dito?" Tanya Bulik Is.

Reya mencebik kesal. Satu hal yang membuatnya malas pulang ke rumah adalah kecerewetan Budhe-budhenya ini. Padahal Ayah dan Ibunya sendiri tidak terlalu mencereweti statusnya. "Aku sama Dito udah putus, Budhe. Jadi aku nggak ada rencana nikah dekat-dekat ini."

"Masyaallah! Kenapa bisa putus? Susah lho nyari laki-laki kayak nak Dito itu. Baik, pintar, kebapakan, mapan. Kurangnya apa? Kalau Budhe jadi kamu wooo...tak taleni tenanan lanangan koyo bocah kuwi."

"Apa gunanya semua itu kalau dia nggak ngerti artinya komitmen, Budhe?"

Ucapan Reya membuat seluruh anggota forum percakapan terdiam. Tanpa memperdulikan keheningan mendadak itu, Reya memasukkan melatai terakhir untuk rangkaian yang ia buat. Lalu mengikat kedua ujung benang.

"Wealaaah nduk...nduk. Namanya juga lelaki. Yo wis wajar kalau ndak cukup satu. Sudah nalurinya. Lha wong jumlah lelaki sama perempuan juga ndak imbang. Yang penting lelaki harus tetap bertanggung jawab sama kita. Ibaratnya gini lho nduk, ndak apa-apa isinya bertebaran di mana-mana, asalkan botolnya balik ke kita. Gitu aja."

Mendengar kata-kata Budhe Sum, Reya membelalakan mata.

APA?

"Kita sebagai perempuan dikaruniai hati yang lebih luas. Lebih legowo. Kita harus jadi sosok-sosok kuat di belakang lelaki kita, yang bisa mendukung dan menerima mereka baik dan dan buruknya."

Kini Reya mulai manyun. Tangannya mulai tidak fokus, bukannya merangkai melati, malah meremas-remasnya gemas.

"Ndak usah muluk-muluk pengin pasangan yang sempurna, nduk. Toh kita juga ndak sempurna. Ndak usah muluk-muluk mengharap cinta sejati, tapi kamu harus ciptakan keabadian itu. Kamu harus bisa mengabdi pada suamimu. Melebarkan hatimu untuk memaafkan kekhilafannya, menjaga kehormatan mereka dengan kesucianmu, dan menguatkan tubuhmu untuk mendorongnya saat dia terpuruk. Itulah istri yang baik."

Dan bagaimana dengan aku? Suami seperti apa yang baik bagi seorang istri?

"Lagian umurmu udah ndak pantes buat pilih-pilih lagi. Kalau di sini, budhe yakin kamu nggak akan laku. Kasihan kan ibumu? Kasihan adik-adikmu. Itu si Lia udah berapa tahun pacaran sama Raga, ndak bisa nikah gara-gara nungguin kakaknya."

Oke, cukup.

Reya menghela napas panjang. Lalu metelakkan rangkaian melati di tangannya dengan hati-hati, lalu bangkit tanpa banyak bicara.

***


Reya menepuk bahu adik perempuannya perlahan. "Li, Mbak mau ngomong. Sini sebentar."

Lia yang sedang mencoba kebaya seragam keluarga menatapnya heran. "Kenapa, Mbak? Ntar dulu, aku lagi nyoba ini bajunya agak kegedean."

"Sebentar aja," Reya memaksa.

Lalu dia berjalan menuju salah satu kamar tidur yang berantakan penuh kotak-kotak makanan yang belum terisi. Di belakangnya, Lia mengikuti dengan kaki terseret karena kain kebayanya yang sempit.

Sesampai di kamar, Reya mengamati adik perempuannya itu. Lia lebih muda lima tahun darinya. Adiknya itu lulus kuliah tiga tahun yang lalu, dan bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta di Yogyakarta. Setelah Lia masih ada Ambar yang masih kuliah tingkat akhir di UGM. Mereka tiga bersaudara, perempuan semua.

"Kenapa Mbak?" Tanya Lia. Kedua alisnya bertaut, seperti menyelidiki sesuatu. "Hem. Aku tahu nih kalau mukanya Mbak Reya udah begini, pasti habis kena petuah dari Budhe-Budhe tho?"

Reya tersenyum kecut. "Ya gitu deh." Jawabnya malas-malasan. "Li, kamu sama Rayhan gimana?"

Kerutan di dahi Lia semakin bertambah. "Baik-baik aja. Emang kenapa Mbak?"

"Kalian serius?"

Lia tersenyum malu-malu. "Dibilang nggak serius juga nggak cocok Mbak, umurku udah segini. Bukan waktunya cinta monyet-cinta monyetan lagi."

"Dih, kamu nyindir Mbak ya?" Sembur Reya.

Adik perempuannya tertawa lebar. "Habis Mbak Reya sih! Nunggu apaan sih sama Mas Dito? Kapan meriiid? "

"Aku sama Dito udah putus."

Tawa di wajah Lia langsung lenyap. "Kenapa?"

Lalu Reya mulai bercerita, tentang bagaimana lak-laki yang sudah bersamanya selama lima tahun itu menghancurkan segala-gala yang mereka rencanakan. Tentang bagaimana dirinya mendapati Herdito tengah bergumul dengan perempuan lain di atas ranjang. Juga tentang bagaimana pria itu tidak menghubunginya sama sekali sampai hari ini. Selesai bercerita dua kakak-beradik itu sama-sama terdiam.

"Aku nggak nyangka Mas Dito bisa begitu." Kata Lia setelah beberapa saat terdiam. "Selama ini dia sempurna buat Mbak Reya."

"Selama ini," Reya mengulang kalimat adiknya. "ya. Selama ini."

"Sabar, Mbak. Aku yakin Mbak akan dapat yang lebih oke dari Mas Dito."

Reya tersenyum mendengar kata-kata adiknya. "Li, Mbak dengar dari Ibu, Rayhan udah ngelamar kamu?"

Pertanyaan itu kembali membuat Lia tersipu. "Iya, Mbak. Dari tahun lalu sih sebenarnya. Tapi baru bilang ke Bapak sama Ibu dua bulan yang lalu."

"Kamu udah siap nikah?"

Lia mengedikkan bahu. "Nggak tahu deh Mbak. Kalau nunggu siapnya, mungkin masih lama. Tapi aku yakin bisa belajar sambil jalan."

Reya tertawa sambil mencubit hidung adiknya. "Pintar kamu...Terus? Apa kata Ibu sama Bapak ke Rayhan?"

Sampai disini Lia memasang wajah sendu. "Yaa...tahulah Mbak, Ibu sama Bapak selalu ikut apa kata Pakdhe Jito. Mbak tahu sendiri gimana Pakdhe Jito sama Budhe Sri."

"Kamu belum boleh nikah?"

Lia mengangguk.

"Karena Mbak belum nikah?"

Lia tidak menjawab. Perempuan itu menatap kakaknya dengan ekspresi kawatir.

"Mereka bilang apa? Kalau kamu ngelangkahin Mbak, jodoh Mbak nanti makin seret, gitu?"

Lia masih tidak menjawab. Reya tertawa frustrasi.

"Dari semua hal yang aku raih selama ini, cuma satu indikator yang mereka lihat."

Lia tidak menjawab. Terkadang dia memang tidak mengerti pembicaraan kakaknya.

***


[1] Masa anak gadisnya pulang malam terus dibiarin aja. Kalau anakku sudah kuhajar itu. Anak perempuan kok hobinya keluyuran malam-malam.

[2] Katanya Si Siwir anak itu mau dinikahkan. Soalnya pacarnya tiap hari main ke rumah.




Hai!

Duh, gimana ya, nggak tahan buat nggak update cerita ini. Masalahnya, aku sendiri penasaran sama kisah mereka! Hahaha


Tapi kali ini serius, kawan-kawaaaan. Cerita ini baru akan aku update lagi kalau minimal ada 10 orang yang berminat baca. Yaa gimana yaa, aku butuh penyemangat untuk melanjutkan hidup Reya dan Radina. Huft. Jaaaaaadi, kalau kamu tertarik baca kisah ini, please-pleasee-pleaseeee, tinggalin komentar yaaa. Apa kek. Minimal 10 komentar (dengan demikian, kemungkinan kisah ini bakal slow update bangee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro