Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 6. Extraordinary

"Extraordinary. Kamu luar biasa cerdas menyelesaikan persoalan trigonometri turunan. Bagaimana bisa?"

Tristan menyerah, dia mengalihkan pandangan dari buku biologi yang sedang dibacanya. Lima menit sesudah jam istirahat, ulangan biologi akan dimulai dan dia butuh ketenangan menyerap informasi. Tapi, Amelia merasa harus untuk mengajaknya mengobrol. Mengulang pertanyaan lima kali. Hingga akhirnya melonjak senang setelah Tristan memerhatikan.

"Kamu selalu belajar tiap hari?" tanya Amelia dengan mata berkilat antusias.

Tristan mengangkat alis. "Tugas pelajar adalah belajar." Waktunya istirahat yang bisa digunakan sebaik mungkin untuk belajar, kini terbuang sia-sia karena Amelia.

Amelia menghela napas. "Kamu selalu begini ke semua orang, ya?"

"Begini bagaimana?"

"Kamu selalu enggak ramah begini sama orang-orang," kata Amelia dengan lengkung senyum yang sulit Tristan artikan.

"Siapa bilang? Gue ramah kok," kata Tristan kembali menekuni isi buku.

"Kamu enggak ramah." Amelia ngotot.

"Gue ramah!"

"Ya... ya... kalau kamu ramah," Amelia tak meneruskan kalimatnya. Dia menggeratak isi tasnya. Mengeluarkan kotak makan dan botol minuman. "Kamu harus makan ini."

Bola mata Tristan membulat. "Lo jualan makanan?"

Amelia tertawa terbahak. Jenis tawa yang Tristan tidak sukai karena didalamnya terdapat nada pelanggaran aturan, tidak etis, dan menolak norma kesopanan. "Aku enggak jualan. Ini buat kamu sebagai ucapan terima kasih karena mengantar sepeda motorku kemarin."

Tristan mengangguk. Namun bergeming. Jangankan memegang sendok untuk menyuap, memegang kotak makannya saja tidak. Kembali membuka halaman buku yang tadi belum selesai dibaca. Dan di depan hidungnya muncul satu sendok penuh nasi dan lauk. Dia menoleh ke kanan. Amelia tersenyum.

"Kalau kamu enggak mau makan. Aku suapin," kata Amelia ringan.

Tristan mengerutkan kening. "Gue enggak mau. Atau nanti aja."

"Nanti keburu bel. Kamu enggak suka nasi dan ayam goreng? Ada telur balado juga kalau kamu mau," ujar Amelia sambil meletakkan sendok ke dalam kotak dan berencana memotong telur.

"Enggak perlu. Sini gue makan," kata Tristan mengalah. Dibanding harus mendapat suapan dari Amelia. Dia sudah punya mama, jadi tidak perlu ada seseorang cewek yang berperilaku layaknya ibu terhadapannya.

Tristan langsung menarik kotak makan. Tak sampai sepuluh menit, makanan sudah habis. Tristan sengaja mengabiskan makanan dengan cepat. Tidak ingin terus ditatap oleh Amelia. Dia mengembalikan kotak makannya. Setidaknya Amelia tidak akan berisik lagi. Memang tidak berisik, tapi menganggu lewat tatapannya.

Amelia mengamati sedemikian rupa. Tristan mencoba tak peduli, tapi tidak berhasil. "Lo bikin pundak gue pegel. Jangan ngelihatin gue lagi," katanya ketus.

"Kamu sopan banget, ya?" tanya Amelia dengan tatapan polos. Meski di dalamnya terkandung banyak makna.

Tristan sudah memahami makna apa yang Amelia maksud. "Lo mau gue bilang makasih? Tadi kan gue udah bilang, gue enggak mau. Terus lo maksa."

"Kamu kelihatan kelaparan. Buktinya kamu marah-marah. Rata-rata, orang marah itu karena kelaparan," sahut Amelia datar.

Tristan mengatupkan kedua rahangnya kuat-kuat. Mengutuki diri sendiri karena berhasil memakan makanan Amelia. Sekarang dia harus terjebak obrolan tidak penting yang benar-benar membuang waktu. Mencoba menahan diri, Tristan tidak menggubris. Meredam kekesalan.

Sepulang sekolah, Tristan cepat-cepat membebaskan diri dari kelas. Berjalan ke arah perpustakaan. Tempat di mana dia bisa bersembunyi tanpa ditanya apa yang sedang dia lakukan. Sendirian keliling koridor kelas itu jauh lebih menyedihkan dibanding terpenjara bersama buku. Makanya Tristan menunggu sampai satu jam lebih. Biasanya selepas jam pulang, ada yang menunda-nunda pulang. Alasannya nongkrong.

Anak lain mengabiskan waktunya dengan mengobrol ngalur-ngidul tanpa tujuan yang jelas. Sedangkan Tristan memilih untuk mengabiskan waktunya untuk berpikir. Sedikit lagi lulus. Ingin sekali membuka buku dan tenang belajar. Tapi, itu bisa dilakukan di rumah. Dua harus membersihkan kelas dulu. Mengecek.

Begitu lewat satu jam, Tristan keluar dari persembunyian. Beruntung pustakawan sedang keluar, Tristan langsung menyelinap tanpa ditanya. Dia naik ke lantai tiga. Patroli di seluruh kelas satu. Bersih. Hanya ada sampah kertas dan tulisan yang belum dihapus dari papan tulis. Tristan langsung mengangkat sampah kertas dan menghapus papan. Kembali ia menuruni tangga, ke lantai dua, tempat kelas dua. Sesuai dugaan. Kotor. Kelas dua memang fasenya nakal. Mau tak mau, Tristan membersihkannya. Menyapu. Tidak perlu dipel karena masih wangi.

Terakhir, Tristan ke lantai dasar, tempat seluruh kelas tiga. Ada taplak yang belum sempat terlipat, cepat-cepat Tristan merapikannya dan melempar ke atas laci. Tak disangka, kucing bertopi melompat turun di depan hidung Tristan. Terkejut, dia mencoba menghindar.

"Pergi!"

Justru kucing itu malah bersembunyi di salah satu kolong meja dan bersiap tidur. Gigi Tristan bergemeletuk. Mau tak mau dia meninggalkan kucing yang tersebut. Tristan mengecek kelas lain. Hingga berakhir di kelasnya sendiri untuk menutup pintu. Tapi gerakan tangannya terhenti. Seorang cewek sedang menelungkupkan mukanya ke atas meja, beralaskan kedua lengan. Bahunya bergerak naik turun seirama pernapasan.

Tristan menghampiri, menyentuh pundak. "Amelia?" panggilnya.

Cewek itu belum bergerak. Terpaksa Tristan menguncang tubuhnya, hingga kepala Amelia terangkat. Wajahnya kusut tapi masih menyisakan rona cerah seperti biasa. Matanya masih sayup-sayup mencoba membuka.

"Lo dijemput?" tanya Tristan.

Amelia menggeleng. Dia mengecek jam di pergelangan tangan dan memekik. "Udah jam setengah enam sore?"

Kening Tristan mengerut. "Emang iya. Gue pulang duluan. Bagus deh lo bangun jadi enggak dikunci di dalam kelas."

Dengan gerak perlahan, Tristan berbalik badan. Beranjak pergi ke pakiran. Amelia mengikuti langkahnya. Tidak mampu menjajari hingga tertinggal di belakang. Sesampainya di parkiran, Tristan melepaskan pengaman dan mengecek sepedanya.

"Aku pulang bareng kamu, ya?" pinta Amelia. Ucapannya lebih mirip pernyataan dibanding pertanyaan. Ia bahkan melompat diboncengan.

"Pulang sendiri aja. Atau telepon bodyguard lo yang kemarin itu," protes Tristan.

Tristan tercengang ketika Amelia meloncat berdiri. "Tadi aku minta buat pulang. Sengaja. Soalnya pas aku mau menyapu kelas, petugas sekolah bilang kalau kamu yang biasanya bersihan. Aku kaget. Kamu rajin banget. Untuk membuktikan kebenarannya, aku menunggu kamu. Sampai ketiduran," jelasnya.

"Kalau gitu lo sekarang bisa telepon bodyguard. Minta buat jemput," sahut Tristan masam.

Amelia cemberut. "Kamu enggak mau mengantar, ya? Ya sudah, biar aku naik angkot saja," katanya kecewa.

Sesaat Amelia beranjak, Tristan spontan meraih kelingking cewek itu untuk menahannya. Jemari mungil tersebut bahkan hilang dibalik genggaman telapak tangan Tristan.

"Jangan! Supir angkot sering ugal-ugalan," kata Tristan. Kalimat itu bahkan terasa pahit saat diucapkan.

Mata Amelia berbinar. "Kalau begitu, kita harus segera pulang bersama."

Tristan tidak bermaksud akan mengantarnya. Tapi, Amelia berpikir seperti itu. Tristan ingin menjelaskan bahwa dia bisa naik kendaraan lain selain angkot, tapi tidak ada kata yang keluar dari mulut. Amelia sudah membonceng, mencengkram ujung-ujung seragam Tristan.

Bukan tanggung jawabnya untuk mengantar cewek yang pulang lebih sore dari jam pulang sekolah. Itu salah Amelia sendiri. Tapi, kemungkinan mamanya tidak akan membiarkan hal seperti ini terjadi. Seolah sebuah kewajiban cowok untuk mengantar cewek pulang.

Maka, Tristan mulai mengayuh sepeda. Mendengarkan instruksi Amelia untuk memilih arah. Begitu mengerti, ia menyuruh Amelia diam saja. Dan cewek itu malah hilang kesadaran. Pipinya menempel dipunggung Tristan. Genggaman tangan yang tadi di ujung seragam kini melingkar erat dipinggang. Ingin sekali Tristan melepaskan jerat tersebut, tapi tidak ingin mengambil risiko terjatuh bersama di tengah jalan.

Kemampuan sepeda untuk menyalip celah tidak bisa diandalkan sekarang. Bersama dengan jam pulang kantor, kendaraan bermotor roda empat memenuhi setiap jengkal celah. Sepeda Tristan bahkan terjepit. Di antara trotoar dan mobil. Sesaat menoleh, Tristan mengomel. Mobil itu hanya berisi satu orang. Sudah jelas kemacetan di Jakarta karena manusianya egois. Pengemidi itu bisa naik motor, naik angkutan umum atau sepeda agar tidak menyebabkan macet.

Dengan dongkol, Tristan memaki udara. Tidak ingin energinya sia-sia jika hanya untuk mengomel pada tiap mobil menyebalkan yang hanya berisi satu orang tersebut. Amelia bergerak menggelisahkan.

"Amelia, lo ambil masker di dalam tas gue," perintah Tristan. Menyadari posisinya yang berada satu meter dibelakang truk sampah. Knalpot yang polusinya ke mana-mana.

Tanpa bertanya, Tristan bisa merasakan Amelia mengacak-acak isi tas. Kali ini Tristan tidak keberatan tasnya digeledah oleh seorang cewek.

"Terima kasih," kata Amelia dibelakang.

Tristan menggumamkan sama-sama dan meringsek maju saat kendaraan bermotor bergerak. Menyusuri jalanan sore dengan perasaan lebih tenang dan luar biasa dari biasanya. Berbeda karena Amelia yang menemani pulang. Atau karena Tristan tidak lagi merasa sendirian. Keduanya menghangatkan hati Tristan meski sejenak.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro