Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 14. Seandainya Aku Tahu

Begitu di parkiran, Tristan menyadari dari mana optimisme Agustus tadi. Ya, sekarang yang dilakukannya adalah mencari cewek tersebut. Tapi menjadi olahraga sia-sia saat dia tidak tahu di mana kelas cewek itu. Satu-satunya cara bertanya pada Amelia. Namun Alan sudah muncul di depan hidung saat Tristan mencoba mengajak Amelia bicara.

Dia tak mau melihat drama selanjutnya, jadi Tristan memutuskan untuk keluar tanpa ucapan apa pun.

Dan di sinilah dia, berdiri di samping pintu pagar. Berharap Agustus pulang lewat pintu depan, bukan pintu belakang dekat kantin.

Menit demi menit berlalu. Sudah berganti kaki kiri dan kaki kanan untuk menopang tubuh. Kadang menyilangkan tangan atau memainkan daun. Agustus belum muncul juga. Dalam hati Tristan berjanji dalam hitungan kelima jika cewek itu tidak muncul juga, dia akan pulang dengan berjalan kaki. Pilihan terbaik dibanding angkutan umum.

Satu... Dua... Tiga... Empat...

Tristan mengusap leher dan bergerak hendak keluar pagar. Saat terdengar sebuah suara dari belakang punggungnya.

"Tristan!" teriak Agustus.

Dengan harap-harap cemas, Tristan berbalik. Semoga memang dia yang menemukannya. Agustus berlari-lari menghampiri sambil mencengkram kedua tali tas.

"Lagi nunggu gue, ya? Mau ngajak pulang bareng?" tanyanya polos.

Tristan langsung keki. Ingin marah tapi wajah cewek didepannya sudah kelelahan. Lagi pula, bukan waktu yang tepat untuk berdebat.

"Kata Pak Satpam, kunci pengaman sepeda gue, lo yang nemuin. Mana?" tanyanya langsung menahan kedongkolan.

Salah satu ujung bibir Agustus tertarik ke atas, matanya bersinar cerah dan senyumnya sulit diartikan. Tristan sama sekali tidak mampu menerjemahkan raut wajah cewek itu. Antara jahil. Atau sengaja. Keduanya tidak lagi penting untuk dipertanyakan.

"Bener kan kata gue, lo pasti nyariin gue lagi!" Agustus berkomentar.

Mulut Tristan terbuka, namun dia kehilangan kata-kata. Bisa-bisanya cewek ini bicara seperti itu. Seandainya dia tidak memegang kunci pengaman sepeda, Tristan tak akan mengingatnya lagi.

"Nih, kuncinya. Bilang apa sama gue? Jatuh nih pas pagi." Agustus nyengir.

Tristan mendengus. "Makasih," katanya sambil lalu. Dia berjalan ke arah satu-satunya kendaraan di parkiran.

"Gue nebeng dong!" pinta Agustus sesaat Tristan sudah bersiap mengayuh sepeda.

Ada tiga alasan untuk menolak. Pertama, Agustus kok bisa nemuin kunci sepeda Tristan di parkiran kalau bukan bawa kendaraan? Kedua, kenapa bukan satpam aja yang menyimpan kuncinya? Ketiga, kenapa Agustus enggak langsung balikin kuncinya begitu tahu?

Sayang pertanyaan itu tidak berhasil dilontarkan, lantaran Agustus sudah melempar bokongnya ke boncengan. Dengan memegang kedua pundak Tristan tanpa rasa bersalah. Sambil sesekali menepuk-nepuk memerintah.

"Let's go to the copa!" Agustus berseru mengikuti gaya bicara Arnold Schwarzenegger.

Untuk sesaat Tristan ingin menolak. Bukan tugasnya untuk mengantar pulang. Dia bukan ojek yang bisa dipesan lalu diantar sampai tujuan. Lagipula mereka baru kenal kurang dari delapan jam! Kehadiran Agustus bagai angin yang datang tanpa diperintah.

"Emang rumah lo di mana?" tanyanya setenang mungkin sambil mengenjot sepeda bergabung bersama kemancetan sore itu.

"Oh. Enggak jauh daerah Mangga, masuk gangnya. Sesudah rel kereta api. Nah, depannya kan ada gang kecil, lewat situ. Nanti aku turun di depannya aja," jawab Agustus.

Tristan mengangguk-angguk. Sama sekali tidak tahu harus merespons apa lagi. Mengingat daerah Mangga adalah tempat Alan akan berantem. Dan kemungkinan dia juga akan bertemu dengan Amelia.

"Tapi kalau lo mau mampir dulu ke rumah juga boleh, kok," lanjut Agustus ceria.

Dia mendengus, sama sekali tidak menyukai gagasan tersebut. Namun bingung juga harus melakukan apa kalau bertemu Amelia nanti.

"Tapi, cowok gentle tuh enggak cuma nganterin sampai depan gang doang," sambung Agustus antusias.

Memang seluas apa daerah Mangga sampai dia yakin benar akan bertemu Amelia? Eh? Tristan menggeleng. Mengusir kerumitan di otaknya. Seharusnya bertemu Amelia biasa saja, tidak perlu sampai berpikir panjang begini. Tristan bergulat dengan pikirannya. Sampai guncangan di bahu dari Agustus membuatnya tertarik ke kenyataan.

"Astaga. Lo mau bikin kita masuk got?" kata Tristan ketus sambil mengendalikan lajur sepedanya yang sempat limbung ke kanan.

"Enak aja!" Agustus mengomel. "Justru gue menyelamatkan kita dari tempat bau itu! Lo bawa sepeda kok bengong gitu? Mikirin apa, hayo? Sini gue aja yang bawa sepedanya deh."

"Hah? Lo yang bawa sepedanya? Apa kata dunia?"

"Takut kalau disaingin, ya?" Agustus nyengir kuda.

"Hmm..." Tristan menenangkan dirinya. Ada banyak alasan untuk tidak pulang bersama cewek, percakapan ini salah satunya. Dia tidak perlu membuang energi untuk berdebat.

"Lo lagi mikirin apaan sih?" tanya Agustus akhirnya setelah berdiam diri sepuluh menit.

Tristan mengangkat kedua bahunya. "Enggak mikirin siapa-siapa. Oh iya, kok lo bisa kenal Amelia?"

"Kita teman sebangku waktu SMA kelas satu dulu. Kan gue pindah lebih dulu dari dia ke sini. Terakhir gue dengar sih, Alan itu sampai minta tolong guru supaya bisa sekelas sama Amelia pas kelas dua. Maniak banget, kan?" kata Agustus antusias.

"Oh." Tristan mencelus.

"Waktu tahu di mana Amelia pindah, Alan sampai nyusul, loh. Orangtua Alan kerja di Australia, jadi Alan tinggal sama pembantunya. Anak tunggal. Hm. Mereka sebenarnya udah putus, tapi Alan masih aja ngejar-ngejar Amelia," cerocos Agustus, "kayak enggak ada cewek lain aja. Kasihan Amelia udah tertekan banget. Beruntung Amelia ketemu kamu."

"Hah?" Tristan tercengang. Di mana letak keberuntungannya?

"Kita kan sempat telepon-teleponan. Dia cerita banyak tentang lo. Dan lo tahu enggak? Suaranya itu bahagia dan tanpa beban banget. Beda kalau cerita soal Alan, pasti suaranya sedih mulu," kata Agustus sebelum pikiran Tristan semakin ngawur. "Nah, Amelia beruntung ketemu lo karena bisa bikin moodnya membaik. Walau sekarang Alan datang lagi. Lo juga beruntung ketemu dan dekat sama Amelia."

"Kenapa beruntung?" tanya Tristan datar.

Agustus tak langsung menjawab. Terlalu sibuk memberi petunjuk ke arah rumahnya. Melewati jalan raya dan berbelok ke kanan arah rel kereta api. Di seberang berjajar rumah, warung, gang dan pos ronda yang sudah ambruk di makan usia. Agustus mengarahkan untuk berhenti di depan gang.

"Oh, iya, lo tahu kenapa lo beruntung ketemu Amelia?" tanyanya tenang.

Tristan menggeleng.

"Karena, sekarang lo berubah," jawabnya sambil tersenyum.

Sebelum Tristan sempat membuka mulut, Agustus sudah melompat-melompat masuk gang. Mirip kelinci memasuki tempat persembunyiannya. Sama sekali tidak menggubris pertanyaan Tristan yang kini menguap di udara. Apa yang sudah berubah dari dirinya?

Namun keuntungan hari ini yang harus disyukuri, diperjalanan pulang dia tidak bertemu Amelia bersama Alan. Itu saja cukup untuk mengurangi rasa aneh yang menjalar di dadanya.



Tim apakah kamu?

#AmeliaAlan

#AmeliaTristan

#AgustusTristan

Sampai ketemu di bab selanjutnya....

Agustina Febiola Julyana atau biasa dipanggil Agustus

Alan Aldin Putra atau biasa dipanggil Alan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro