Bab 9
Adinda dan Deni dibuat heran saat Deswinta pulang dengan senyum terkembang. Gadis itu mengatakan, sudah diterima kerja oleh perusahaan Good and Food, dan akan mulai bekerja bulan depan. Setelah event besar di EO miliknya selesai.
"Kamu diterima?" tanya Adinda sekali lagi.
Deswinta mengangguk. "Iya."
"Mereka menunggumu selesai menangani EO?"
"Benar lagi."
"Mana mungkin? Mereka perusahaan besar, masa, iya, mau nunggu lulusan baru kayak kamu. Emang kamu bisa kerja apa? Punya kemampuan apa?"
Deswinta tersenyum, mengangkat bahu. Merasa geli dengan raut wajah Adinda yang tidak percaya. Di sampingnya, Deni bahkan melongo.
"Kenapa kalian nggak tanya langsung sama siapa saja. Pasti akan terkonfirmasi langsung. Udah dulu, aku capek."
Deswinta berniat untuk langsung ke kamar dan langkahnya terhenti karena teriakan Adinda. "Tunggu! Jangan pergi kamu. Kami masih tidak percaya kalau kamu bisa lolos dari interview ini."
Deswinta menoleh heran. "Sebenarnya, kalian memintaku pergi interview untuk apa? Hanya datang biar nggak malu, atau berharap aku lolos? Kenapa malah kayak orang nuduh!"
Deni berdehem. "Bukan kayak orang nuduh. Hanya untuk meyakinkan kalau kamu nggak—"
"Bohong? Telepon aja buat pastiin. Aku tunggu di sini. Jangan lama-lama, aku capek!"
Deswinta melangkah ke meja makan, duduk di sana dan membuka kaleng kerupuk. Sebelum pulang, Marcello mentraktirnya makan enak. Entah memesan dari restora mana, tapi sushi dan sashiminya sangat enak. Lumayan menambah tenaga yang terkuras karena percintaan mereka.
Deswinta tidak habis pikir dengan gairah laki-laki itu yang meledak setiap kali mereka bertemu. Seolah satu sentuhan saja bisa membuat kejantanan Marcello menegang. Padahal, yang dilakukannya hanya bicara secara sopan. Pakaiannya hari ini pun sangat sopan, berupa kemeja dan rok, tidak sexy seperti saat di klub malam itu. Tetap saja, tidak mengurangi hasrat Marcello untuk bercumbu. Setelah bersetubuh secara liar di depan jendela, mereka kembali melakukannya di sofa ruang tamu. Bergulat sambil telanjang, dan seolah saling ingin menaklukkan. Sampai akhirnya, Deswinta menguasai tubuh laki-laki itu denga bergerak liar di atas pinggul Marcello.
Dipikir lagi, belum pernah Deswinta merasa secandu ini dengan sex. Ia pernah punya pacar dulu saat SMU dan berakhir dengan hanya ciuman di bibir. Awal kuliha pernah jalan bersama dengan seorang manajer, tempatnya menjadi SPG dan sama, hanya sekadar ciuman. Lalu ada Marsel. Itu pun sama. Hanya dengan Marcello dirinya menggila. Tidak menolak setiap kali laki-laki itu menelanjanginya. Ia memang sudah gila.
Deswinta memukul kepala, berusaha untuk menghilangkan pikiran erotis tentang Marcello dan kembali mendengarkan percakapan Adinda di telepon.
"Jadi gitu, Pak? Udah yakin? Nggak ada masalah? Terima kasih sebelumnya."
Setelah menutup telepon, Adinda menatap bagian belakang kepala Deswinta sambil menggeleng. Gadis itu tidak berbohong saat mengatakan diterima kerja. Memang itu benar adanya dan makin aneh saat mendengar kalau direktur langsung yang mewancarainya.
"Kenapa kamu nggak bilang, kalau yang interview kamu langsung itu Pak Marcello!"
Adinda menghampiri meja makan, berdiri dengan mata penuh tuduhan pada Deswinta.
"Kakak nggak tanya," jawab Deswinta.
"Kamu harusnya bilang. Ingat, ya, pekerjaan ini kami yang rekomendasikan!"
"Iya, iya, sekarang Kakak udah tahu'kan? Mau apa lagi?"
Deni mengernyit heran. "Kok bisa Pak Marcello turun tangan langsung?"
"Susah kubilang, kami saling kenal. Maksudku, Pak Marcello sering jadi sponsor di event kampus."
"Tapi, terima kamu kerja, nunggu sampai kamu longgar, trus tadi apa aku dengar? Kamu hanya freelance?" tanya Adinda.
Deswinta mengangguk lagi. Berpikir lama-lama kepalanya bisa copot karena keseringan mengannguk. "Benaaar, hanya freelance. Pak Marcello tahu kalau aku punya bisnis yang nggak bisa ditinggal."
Adinda mendengkus frustrasi. Ia merasa kalau cerita Deswinta terlalu berlebihan. Tapi, sudah membuktikan sendiri dari manajer yang memberi jadwal interview. Yang dikatakan Deswinta benar adanya. Ia tidak habis pikir, kenapa Deswinta bisa begitu beruntung dalam hidup dan pekerjaan.
Deni yang penasaran, duduk di depan adiknya. Menatap tajam sambil memiringkan kepala.
"Coba kamu jujur, kenapa udah buat kamu kerja di sana? Apa Marcello sedang pusing atau buta mata hati?"
Deswinta kesal sekarang.Ia susah mengatakan pada mereka tidak mau datang untuk interview dan mereka memaksa. Sekarang, setelah dirinya diterima, mereka sendiri yang keheranan. Ia tidak suka cara bicara mereka yang merendahkan, menganggap dirinya tidak cukup berharga.
"Kamu pinginya adik Kak Adinda kerja di sana? Dari awal harusnya jangan masukin aku. Sekarang, aku diterima, kalian heran." Deswinta mengulurkan tangannya. "Mana kunci mobil. Aku perlu kendaraan untuk kerja."
Deni berdecak kesal. "Di dalam rak ruang tengah. Bukannya nggak percaya sama kamu, hanya terlalu—"
Perkataan Deni terputus saat Deswinta bangkit dari kursi. Menyingkirkan tubuh Adinda yang menghalangi dan membuka rak ruang tengah, menemukan kunci mobilnya di samping guci kosong. Ia mengambil dan tersenyum cerah.
"Kalau sudah ngomongnya, aku naik dulu. Capek."
Menaiki tangga dengan senyum tersungging, Deswinta tidak dapat menyembunyikan rasa senangnya karena berhasil membungkam Deni dan Adinda. Mereka pantas mendapatkan itu. Harusnya, dari awal mereka tidak mengikutkannya interview.
Sampai kamar, Deswita bergegas ke kamar mandi. Melucuti pakaiannya dan membuka kran air hangat. Ia perlu mandi setelah dua sesi bercinta menggebu-gebu dengan Marcello. Ia menatap bayangannya di cemin, ada tanda merah di dadanya. Marcello suka sekali mengisap bagian itu.
"Dasar vampire!" gumamnya pada kamar mandi yang lengang.
Saat menyabuni tubuh, ia berpikir untuk membalas perlakuan Marcello. Lain kali, ia yang akan menggigit laki-laki itu sampai merah kebiruan kalau perlu.
**
Tersedia di google Playbook, buku di olshop dan Karyakarsa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro