Bab 6
Tiba di depan pintu, Deswinta mengeluh saat melihat Adinda duduk di sofa ruang tengah. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia merasa enggan menyapa perempuan itu. Seandanya bisa terbang, ingin rasanya ia melayang langsung ke jendela kamarnya, agar tidak bertemu muka dengan Adinda. Sayangnya, ia tidak mungkin melakukan itu.
"Lihat, orang sibuk baru pulang!"
Adinda berkata sinis saat melihatnya. Deswinta mengabaikannya.
"Aku saja, yang mengurus perusahaan besar, paling lambat jam delapan sudah di rumah. Dari mana kamu, jam segini baru pulang?" Deni bertanya keras.
Deswinta menghentikan langkah di anak tangga paling bawah, menatap sang kakak dan Adinda.
"Apa di rumah ini aku nggak punya privasi lagi? Sampai-sampai jam pulang pun dibatasi?"
Deni mendengkus, meraih amplop dari atas meja. Berdiri dan menyorongkan amplop pada Deswinta.
"Buka dan baca baik-baik. Susah payah aku mendapatkan itu untukmu!"
Deswinta menerima dengan bingung. "Apa ini?"
"Kamu masih tanya? Buka aja! Jangan langsung pingsan!" teriak Adinda. "Kalau bukan karena aku mengenal baik pimpinan mereka, belum tentu bisa mendapatkan itu. Sekarang, terserah kamu bagaimana menjalaninya. Aku harap, kamu memakai otak kecilmu untuk bekerja."
Deswinta mengabaikan cacian mereka, membuka amplop dan membaca isinya. Di dalam ada lowongan pekerjaan di Food And Good, dan juga rekomendasi untuknya mengikuti interview. Deswinta merasa tidak asing dengan nama itu dan bertanya di luar kesadarannya,
"Food and Good bukannya milik Pak Marcello?"
"Kamu kenal Pak Marcello?" tanya Deni.
Deswinta mengangguk. "Bukan kenal secara pribadi. Tapi, perusahaannya sponsor utama ajang pencarian bakat di kampus. Pendar menang dan pernah magang di tempatnya."
Adinda bangkit dari sofa, mendekati Deswinta. "Bagus kalau begitu. Kamu ikut interview, bisa dikatakan dengan surat itu yakin lima puluh persen kamu pasti diterima. Sisanya karena kemampuanmu sendiri. Seharusnya kalau kamu mau berusaha, itu tidak sulit. Kamu bisa bertanya pada Pendar biar tahu banyak hal sebelum ikut interview."
Deswinta menatap Adinda dan Deni bergantian. Sepertinya ada hal yang tidak dimengertinya. Ia mengacungkan amplop di tangan dan bertanya.
"Kenapa aku harus ikut interview?"
"Kamu masih tanya?" Deni menjawab keras. "Tentu saja demi masa depanmu. Memangnya dengan lantang luntung menjadi EO, bisa menjamin hidupmu? Kami berencana untuk punya anak."
"Lalu?"
"Lalu, kamu harus mandiri dan keluar dari rumah ini. Kalau kamu di sini, sama saja menambah beban kami."
"Hah, kamu lupa kalau ini juga rumahku?" teriak Deswinta. "Kita berbagi orang tua yang sama!"
Deni mengangguk. "Memang, tapi aku bisa berunding dengan Papa dan Mama. Kalau kamu suah bekerja dan mandiri, aku akan memberimu uang untuk membeli rumah yang lebih kecil. Dengan begitu, kehidupanmu lebih terjamin."
Kata-kata kakaknya membuat Deswinta tercengang. Ia sama sekali tidak menyangka, kalau kakanya akan sanggup mengatakan hal gila seperti itu. Apa tadi dia bilang? Ingin mengusirnya dari rumah ini? Jangan harap Deni bisa melakukan itu padanya. Ia akan bertahan apa pun yang terjadi.
Menyodorkan amplop ke dada Deni, Deswinta berkata tegas. "Simpan sendiri lowongan ini untuk kalian. Aku tidak butuh. Kalian ingin mengusirku dari rumah ini? Berharap aja sampai matahari terbit dari barat. Nggak bakalan aku pindaah!"
Ia berbalik, melanjutkan langkah menaiki tangga. Di belakangnya, terdengar teriakan Adinda. "Gadis kurang ajar! Nggak ada rasa terima kasih!"
"Terima kasih. Tapi, lebih baik kalau kamu urus adikmu sendiri!" jawab Adinda.
"Adikku tidak seperti kamu!"
"Itu dia, aku juga nggak mau kayak dia!"
Ia membuka pintu, masuk dan membaringkan diri di ranjang. Setelah sebelumnya mengunci pintu. Percakapan dengan Deni dan Adinda tidak pernah berakhir dengan baik. Selalu dirinya yang dipojokkan. Sekarang mereka bahkan berniat untuk mengusirnya dari rumah ini. Deswinta tersenyum pahit, menatap langit-langit kamar.
Ia dan Deni adalah saudara kandung, tapi rasa persaudaraan itu tidak ada sama sekali. Semua karena uang. Kakanya yang menikah dengan Adinda yang lebih kaya, kini berubah menjadi arogan. Deswinta menghela napas panjang, menatap nanar pada langit-langit kamar. Rasa puas dan bahagia yang baru ia rasakan karena bercinta dengan Marcello, menguap karena pertengkaran dengan saudaranya. Ia tidak tahu, sampai berapa lama sanggup bertahan dalam keadaan ini.
**
Cerita panas ini sedang open PO bersamaan dengan Kutunggu Dudamu. Ada dua cerita dalam satu buku. Jangan sampai ketinggalan.
Edisi istimewa, hard cover.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro